logo website tulismenulis.com header 2
Edit Content

Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Resensi Novel LELAKI TERAKHIR YANG MENANGIS DI BUMI Karya M. Aan Mansyur Oleh Rina Yulianti

lelaki terakhir yang menangis di bumi tulismenulis.com

Identitas Novel

Judul buku        : Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi

Penerbit            : Gagas Media

Halaman           : 276

Tahun Terbit     : 2015

ISBN                 : 9797808165

Baca Juga: Resensi Novel AMBA Karya Laksmi Pamuntjak

Sinopsis & Review Novel Lelaki Terakhir Yang Menangis di Bumi

Jiwa dan Nanti. Kisah percintaan dari dua nama ini adalah topik utama pada novel satu-satunya yang aku kenal dari penulis M Aan Mansyur. Buku ini diceritakan sebagai buku autobiografi Jiwa yang ditulisnya sebelum ia meninggal. Naskahnya ditemukan oleh salah seorang temannya yang kemudian menyerahkannya pada Nanti untuk meminta pendapat atau barangkali terdapat hal-hal yang ingin Nanti hilangkan. Karena bagaimanapun, meski seharusnya berupa autobiografi hidup Jiwa, buku ini justru lebih banyak menyoroti tentang kisah percintaan kedua tokoh utamanya.

Jiwa yang adalah seorang pemuda pendiam pecinta puisi jatuh cinta pada Nanti yang memiliki senyuman memikat. Mereka menjadi pasangan kekasih yang begitu saling melengkapi. Nanti selalu menjadi pembaca pertama karya-karya Jiwa. Jika karyanya bagus maka Jiwa akan mendapatkan ciuman, jika jelek maka tidak (Nanti mengakui betapa kesalnya ia jika Jiwa menulis karya jelek). Hal ini lah barangkali yang paling dirindukan Jiwa, bahwa Nanti selalu menjadi penyemangatnya dalam menulis.

Saya berusaha keras untuk tidak memberikan spoiler lebih jauh. Kira-kira begitulah apa yang diceritakan dalam buku tersebut. Sangat banyak kata-kata puitis dalam buku ini yang tentu membuat kita tidak bisa melupakan bahwa seorang Aan Mansyur memang berbasic seorang penyair.

“tetapi hidup selalu punya tetapi.”

menjadi kalimat quotable pamungkas dari buku ini, saya rasa.

Saya menyukai buku ini dari bagaimana mengalirnya bahasa yang digunakan. Juga betapa cerdasnya memilih bentuk sebagai “naskah buku yang diterbitkan”. Dengan bentuk yang seperti ini, kita akan temui banyak sekali catatan kaki yang berisi pikiran Nanti atas suatu kejadian yang diceritakan Jiwa. Atau sekedar mengatakan bahwa Jiwa terlalu berlebihan dan sangat subjektif menceritakan apa yang mereka alami berdua. Sehingga kita akan melihat bahwa sosok yang sebenarnya memainkan peran di sana adalah; Jiwa si penulis, Nanti versi Jiwa, dan Nanti yang Sebenarnya. Meskipun tentu saja kita bisa berasumsi bahwa saat Nanti yang Sebenarnya menyangkal apa yang dilakukan Nanti versi Jiwa pada catatan kaki, Nanti yang Sebenarnya bisa saja berbohong.

Bagi penggemar Aan, si penulis, pasti akan segera sadar mengenai kedekatan karakter Jiwa dengan si penulis itu sendiri. Bahwa Jiwa diceritakan sebagai pengidap penyakit jantung sebagaimana Aan. Jiwa yang seorang penyair. Jiwa (yang bersama nanti) membangun Perpustakaan Terakhir (dalam kehidupan Aan, ia membangun perpustakaan Kata Kerja) .

Ada banyak kemiripan yang membuat saya sendiri (atau mungkin sebagian besar pembaca) secara sepihak merasa bahwa buku ini adalah autobiografi dari si penulis. Hal ini menyenangkan mengingat bahwa saya adalah penggemar Aan, juga sekaligus mengerikan, karena beberapa bagian dalam buku ini yang tidak terbayangkan jika benar seorang Aan juga pernah melakukannya.

Kemiripan karakter ini, jika ingin berlaku adil, menurut saya (yang hanya seorang awam) membuat buku ini belum dapat kita sejajarkan dengan novel-novel lain. Dalam artian bahwa, tentu seorang pencerita ingin menceritakan sesuatu yang sangat dekat dengan dirinya sehingga mampu meyakinkan pembaca, namun bagaimanapun, ini bisa jadi menunjukkan kemalasan dan kekurangan ide untuk menggali dan mendalami sosok karakter yang lain yang jauh berbeda dari dirinya sendiri.

Apapun itu, saya melarang keras para perempuan-perempuan atau pria tipe Susah Move On untuk membaca buku ini. It’s a big NO! Kamu bisa baper berkepanjangan. Percayalah!

Tinggalkan Balasan