ANALISIS CERPEN LINGKAR SERIMPI KARYA TJUT ZAKIYAH ANSHARI DENGAN PENDEKATAN MIMETIK

Resensi

ANALISIS CERPEN LINGKAR SERIMPI KARYA TJUT ZAKIYAH ANSHARI DENGAN PENDEKATAN MIMETIK

Oleh: Fitri al-azhara (E1C011011)

  1. LANDASAN TEORI
  2. Pengertian Teori Mimetik secara Umum

Pandangan pendekatan mimetik ini adalah adanya anggapan bahwa puisi merupakan tiruan alam atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia di semesta raya ini. Sasaran yang diteliti adalah sejauh mana puisi merepresentasikan dunia nyata atau semesta dan kemungkinan adanya intelektualitas dengan karya lain. Hubungan antara kenyataan dan rekaan dalam sastra adalah hubungan dialektis atau bertangga. Dalam mimesis ada yang disebut kreasi. Perpaduan antara kreasi dan mimesis tidak hanya berlaku dan benar untuk penulis sastra, tak kurang pentingnya untuk pembaca, dia pun harus sadar bahwa menyambut karya sastra mengharuskan dia untuk memadukan aktivitas mimetik dengan kreatif mereka sendiri.

Pemberian makna pada karya sastra berarti perjalanan bolak-balik yang tak berakhir antara dunia kenyataan dan dunia khayalan. Karya sastra yang dilepaskan dan kenyataan kehilangan sesuatu yang hakiki, yaitu pelibatan pembaca dalam eksistensi selaku manusia. Pembaca sastra yang kehilangan daya imajinasi meniadakan sesuatu yang tak kurang esensial bagi manusia, yaitu alternatif terhadap eksistensi yang ada dengan segala kekurangannya atau lebih sederhana berkat seni, sastra khususnya, manusia dapat hidup dalam perpaduan antara kenyataan dan impian, yang kedua-duanya hakiki untuk kita sebagai manusia.

  1. Pengertian Teori Mimetik menurut Para Ahli
  2. Pandangan Plato

Pandangan Plato mengenai mimesis sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai konsep idea-idea yang kemudian mempengaruhi bagaimana pandangannya mengenai seni. Plato menganggap idea yang dimiliki manusia terhadap suatu hal merupakan sesuatu yang sempurna dan tidak dapat berubah. Idea merupakan dunia ideal yang terdapat pada manusia. Idea oleh manusia hanya dapat diketahui melalui rasio, tidak mungkin untuk dilihat atau disentuh dengan panca indra. Idea bagi Plato adalah hal yang tetap atau tidak dapat berubah, misalnya idea mengenai bentuk segitiga. Ia hanya satu tetapi dapat ditransformasikan dalam bentuk segitiga yang terbuat dari kayu dengan jumlah lebih dari satu. Idea mengenai segitiga tersebut tidak dapat berubah, tetapi segitiga yang terbuat dari kayu bisa berubah. (Bertnens, l979:13)

Berdasarkan pandangan Plato mengenai konsep Idea tersebut, Plato sangat memandang rendah seniman dan penyair dalam bukunya yang berjudul Republik bagian kesepuluh. Bahkan ia mengusir seniman dan sastrawan dari negerinya. Karena menganggap seniman dan sastrawan tidak berguna bagi Athena, mereka dianggap hanya akan meninggikan nafsu dan emosi saja. Pandangan tersebut muncul karena mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan hanya akan menghasilkan khayalan tentang kenyataan dan tetap jauh dari ‘kebenaran’. Seluruh barang yang dihasilkan manusia menurut Plato hanya merupakan copy dari Idea, sehingga barang tersebut tidak akan pernah sesempurna bentuk aslinya (dalam Idea-Idea mengenai barang tersebut). Sekalipun begitu bagi Plato seorang tukang lebih mulia dari pada seniman atau penyair. Seorang tukang yang membuat kursi, meja, lemari dan lain sebagainya mampu menghadirkan Idea ke dalam bentuk yang dapat disentuh panca indra. Sedangkan penyair dan seniman hanya menjiplak kenyataan yang dapat disentuh panca indra (seperti yang dihasilkan tukang), mereka oleh Plato hanya dianggap menjiplak dan jiplakan (Luxemberg:16).

  1. Pandangan Aristoteles

Aristoteles adalah seorang pelopor penentangan pandangan Plato tentang mimesis, yang berarti juga menentang pandangan rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato beranggapan bahwa seni hanya merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan emosi. Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuatu yang bisa meninggikan akal budi. Teew (1984: 221) mengatakan bila Aristoteles memandang seni sebagai katharsis, penyucian terhadap jiwa, karya seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan kekhawatiran dan rasa khas kasihan yang dapat membebaskan dari nafsu rendah penikmatnya. Aristoteles menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk menghasilkan kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru dari kenyataan indrawi yang diperolehnya.

Dalam bukunya yang berjudul Poetica (via Luxemberg. 1989: 17), Aristoteles mengemukakan bahwa sastra bukan copy (sebagaimana uraian Plato) melainkan suatu ungkapan mengenai “universalia” (konsep-konsep umum). Kenyataan yang menampakkan diri kacau balau seorang seniman atau penyair memilih beberapa unsur untuk kemudian diciptakan kembali menjadi ‘kodrat manusia yang abadi’, kebenaran yang universal. Itulah yang membuat Aristoteles dengan keras berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh lebih tinggi dari tukang kayu dan tukang-tukang lainnya. Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimesis dipengaruhi oleh pemikirannya terhadap Idea-Idea. Aristoteles menganggap Idea-idea manusia bukan sebagai kenyataan. Jika Plato beranggapan bahwa hanya idea-lah yang tidak dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh Aristoteles diklasifikasikan ke dalam dua kategori, bentuk dan materi. Bentuk adalah wujud suatu hal sedangkan materi adalah bahan untuk membuat bentuk tersebut, dengan kata lain bentuk dan meteri adalah suatu kesatuan (Bertens. 1979: 13).

  1. Pandangan M. H Abrams

Pendekatan ini bertolak dari pemikiran bahwa karya sastra merupakan refleksi kehidupan nyata. Refleksi ini terwujud berkat tiruan dan gabungan imajinasi pengarang terhadap realitas kehidupan atau realitas alam. Hal tersebut didasarkan pandangan bahwa apa yang diungkapkan pengarang dalam karyanya pastilah merupakan refleksi atau potret kehidupan atau alam yang dilihatnya. Potret tersebut bisa berupa pandangan, ilmu pengetahuan, religius yang terkait langsung dengan realitas. Pengarang, melalui karyanya hanyalah mengolah dari apa yang dirasakan dan dilihatnya. Itulah sebabnya ide yang dituangkan dalam karyanya tidak bisa disebut sebagai ide yang original. Semuanya hanyalah tiruan (mimetik) dari unsur-unsur kehidupan nyata yang ada.

  1. Analisis Cerpen Lingkar Serimpi Karya Tjut Zakiyah Anshari dengan Pendekatan Mimetik

Lingkar serimpi karya Tjut Zakiyah Anshari merupakan cerpen yang sukses meraih peringkat pertama dalam lomba menulis cerita pendek tingkat Nasional Aruh Sastra Kalimantan Selatan ke-IX tahun 2012 di Banjarmasin. Lingkar Serimpi bercerita mengenai percakapan dua orang penari serimpi, yakni Dasiyem sebagai ibu yang sudah lanjut usia dan Wiwik, seorang anak yang meneruskan profesi ibunya sebagai penari Serimpi. Cerpen ini mengulas sedikit tentang bagaimana kesederhanaan kehidupan seorang penari Serimpi, bisa dilihat dalam kutipan berikut.

Wiwik, anaknya yang sudah sepuluh tahun menjanda, sedang mencuci piring bekas makan mereka berdua seharian. Maklum, sudah sepekan ini, sejak pagi Wiwik harus melatih murid-muridnya karena seminggu lagi mereka akan meramaikan acara yang digelar di pendapa kabupaten. Sedang siang hingga sore, ia melatih anak-anak yang kesehariannya masih senang bermain lompat tali. Karenanya, urusan dapur baru bisa disentuhnya malam hari.

Tarian Serimpi merupakan tarian yang berasal dari Yogyakarta, tarian yang menjadi ikon kebudayaan kraton masyarakat Jawa. Seperti halnya dalam cerita pendek (cerpen), upaya merebut makna adalah persoalan serius, agar apa yang menjadi nilai-nilai dalam warisan budaya dapat tersampaikan dan termaknai dengan baik. Demikian juga dengan cerpen Lingkar Serimpi ini, mecoba mengungkapkan bagaimana watak-watak masyarakat Jawa yang masih menjunjung tinggi nilai budaya luhur mereka. Hal itu bisa dilihat ketika tokoh Dasiyem justru menari sebelum menyampaikan semua rahasia hidupnya, hidup keluarga mereka kepada Wiwik, demi menjujung tinggi profesinya sebagai penari serimpi.

Lalu tiba-tiba, dengan gemulai diliukkan lengannya, berirama, membentuk segurat pesan masa silam. Seperti menerima isyarat, Wiwik langsung bersimpuh di depan gênder, memukulnya dengan ritme senada gerak halus ibunya. Kini dengan tetap dalam posisi duduk, Dasiyem menggerakkan bagian tubuh lainnya, badannya, bahunya, leher dan kepalanya… Gerak gemulai melambai dalam serimpi ini telah diwariskannya dengan sempurna pada Wiwik yang selincah pengukir hidupnya dalam memainkan alat musik pukul itu, gender.

Tari Serimpi yang dimaksud adalah tarian yang ada di Yogyakarta yang kita ketahui bersama bahwa memang penari-penari Jawa yang terpilih adalah gadis-gadis yang berparas cantik dan anggun. Hal ini bisa terbaca melalui pesan simbolik dengan dimunculkannya lukisan yang menceritakan tentang diri Dasiyem di masa silam. Dalam lukisan itu ia digambarkan sebagai perempuan ayu, anggun dan seksi dengan menggunakan busana pengantin puteri keraton Yogyakarta.

Dipalingkan wajahnya hingga pandangannya terhenti pada sebingkai kenangan masa silam. Bentuk dan warna-warna di atas kanvas itu telah rapat menyimpan kisah hampir setengah abad. Hanya dengannya Dasiyem saling berbagi kabar dan kisah selama ini. Perempuan ayu, anggun dan seksi dengan menggunakan busana pengantin puteri keraton Yogyakarta, dengan dodotan dan gelung bokor, sambil menggendong mliwis putih.

Pada cerpen Lingkar Serimpi, diketahui bahwa Wiwik, Jumilah dan juga Ibunya Dasiyem pernah melakukan upaya bunuh diri. Namun, Wiwik dan Dasiyem bisa terselamatkan, sementara Jumilah, tidak. Bagi Dasiyem, bunuh diri sudah seperti pilihan ketika keluarga mereka mengalami permasalahan pelik yang diwariskan oleh pendahulu mereka. Terlihat jelas bagaimana kehidupan seorang penari pada saat itu yang mungkin tidak pernah mengenyam pendidikan, sehingga mereka cenderung berpikir pendek untuk keluar dari masalah-masalah yang dihadapinya, berikut kutipan cerpennya.

“Jumilah Alhamdulillaah selamat. Ia berusaha bunuh diri. Ia sangat takut Pujo akan kembali padaku. Melihat Jumilah nyaris menjemput maut, aku sadar, harus melawan kelemahan yang diturunkan oleh orang tuaku. Kau pasti belum tahu, kalau mbah putrimu meninggal karena bunuh diri.”

Jika Tari Serimpi Sangupati sendiri konon dimaksudkan sebagai tari peperangan dalam arti sesungguhnya, perang melawan Belanda. Melalui Dasiyem, si penulis menitipkan perluasan makna Sangupati untuk dimaknai pada zaman sekarang ini, bahwa harus memiliki rasa ikhlas untuk kehilangan. Karena kehilangan adalah suatu hal yang pasti, dengan atau tanpa kematian. Tapi perlu sikap positif untuk menerima kehilangan tersebut dengan ikhlas, seperti yang dicontohkan Dasiyem ketika mengetahui Pujo, kekasihnya itu telah berkhianat, ia tetap bisa bertahan tanpa bunuh diri.

“Aku tak bisa meneteskan air mata, sekalipun sangat ingin. Aku sangat menyayangi Jumilah, terlebih setelah nenekmu meninggal. Aku sangat memanjakannya. Dan aku harus tersenyum saat melepaskan Pujo untuknya.”

Berdasarkan kutipan cerpen Lingkar Serimpi karya Tjut Zakiyah Anshari di atas, penulis mencoba membandingkan realitas kehidupan masyarakat pada saat itu melalui tokoh Jumilah, dan pada masa sekarang dengan tokoh Dasiyem yang sangat berbesar hati mengikhlaskan laki-laki yang dicintainya bersama wanita lain yang tidak bukan adalah adik kandungnya sendiri.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. SIMPULAN

Lingkar serimpi karya Tjut Zakiyah Anshari merupakan cerpen yang sukses meraih peringkat pertama dalam lomba menulis cerita pendek tingkat Nasional Aruh Sastra Kalimantan Selatan ke-IX tahun 2012 di Banjarmasin. Cerpen ini ditulis dengan menggunakan alur mundur, yang menceritakan kisah masa lalu tokoh Dasiyen yang dibumbui dengan kisah pengorbanan cinta serta keputusasaan tokoh yang merupakan gambaran realita kehidupan penari Serimpi pada saat itu.

DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. 1979. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Luxemberg, Jan Van dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia (judul asli Inleiding in de literatuur Wetenschap. 1982. Muiderberg: Dikck Countinho B.V Vitgever. Diterjemahkan oleh Dick Hartoko).

Teew. A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                                                                   LAMPIRAN                           

 

 

 

 

 

 

 

LINGKAR SERIMPI KARYA TJUT ZAKIYAH ANSHARI

(Juara 1 Aruh Sastra Kalimantan Selatan IX)

Pesan Nabi jangan takut mati karena mati pasti terjadi

Setiap insan pasti mati hanya soal waktu kapan terjadinya

Pesan Nabi tentang mati, janganlah minta mati datang kepadamu

Janganlah engkau berbuat menyebabkan mati

~ Hidup dan Pesan Nabi, Taufik Ismail ~

———-

Dalung masih menyala. Dasiyem meneguk kopi encer yang masih tersisa sedikit dalam cangkirnya. Dengan pendengarannya yang kian berkurang kemampuannya, ia masih bisa mendengar suara beling yang saling beradu, meski samar. Wiwik, anaknya yang sudah sepuluh tahun menjanda, sedang mencuci piring bekas makan mereka berdua seharian. Maklum, sudah sepekan ini, sejak pagi Wiwik harus melatih murid-muridnya karena seminggu lagi mereka akan meramaikan acara yang digelar di pendapa kabupaten. Sedang siang hingga sore, ia melatih anak-anak yang kesehariannya masih senang bermain lompat tali. Karenanya, urusan dapur baru bisa disentuhnya malam hari.

“Aku tidur saja, Wik,” ucapnya lirih saat Wiwik memasuki kamarnya dengan sepiring ketela rebus yang masih mengepul.

“Sengaja kukukuskan ketela, agar kita bercerita dengan gayêng. Apa Ibu lupa kalau memintaku malam ini untuk mendengar ceritamu?”

Wiwik meletakkan piring berisi ketela rebus di atas meja yang ada di samping tempat tidur ibunya. Dasiyem terpaku sejenak, berdehem, lalu menyelonjorkan kakinya di atas kasur. Ia melihat kepenatan di wajah dan mata anaknya yang tampak berat terbuka. Setelah menutupi kakinya dengan selimut, disandarkan punggungnya di sisi tempat tidur yang sudah dialas bantal.

“Aku ingat. Tapi dengan keadaanmu sekarang ini, apa kau berminat mendengarkannya?”

Dipalingkan wajahnya hingga pandangannya terhenti pada sebingkai kenangan masa silam. Bentuk dan warna-warna di atas kanvas itu telah rapat menyimpan kisah hampir setengah abad. Hanya dengannya Dasiyen saling berbagi kabar dan kisah selama ini. Perempuan ayu, anggun dan seksi dengan menggunakan busana pengantin puteri keraton Yogyakarta, dengan dodotan dan gelung bokor, sambil menggendong mliwis putih. Esême nrênyuhake, senyum yang menggetarkan, meluluhkan, melepaskan semua ikatan sanubari, memerdekakan jiwa semua yang memandangnya. Dasiyem kembali merasakan getaran yang sama seperti saat mendengar untuk pertama kali dari pelukisnya.

Dasiyem merabai kulit tangan dan wajahnya.

“Semua akan beringsut melenyap, Bu. Tidak usah menghanyutkan hati. Beberapa tahun lagi, aku akan menyusul. Bedanya, ibu bisa memastikan aku sebagai penggantimu. Sedang aku harus menyampirkan selendang ini bukan ke darah dagingku.” Wiwik bisa meraba apa yang seringkali memenuhi pikiran Dasiyem, ibunya.

“Aku tidak mempermasalahkannya, Wik. Juga tak ada yang aku takutkan. Kehilangan adalah sesuatu yang pasti terjadi, sama dengan kematian. Setidaknya, aku sudah lebih dahulu merasakannya darimu. Entah, siapa yang lebih sering diantara kita,” tuturnya setengah berbisik, pelan dan berusaha mengatur napasnya yang sudah sering tersengal-sengal. Racun udut mungkin sudah membatikkan paru-parunya. Ia tak peduli, mati karena rokok jauh lebih ringan ketimbang mati dengan memikul rahasia, yang lebih menyarati dadanya, dan membuat gelembung-gelembung di sepanjang jalan napasnya. Menyesakkan.

Lalu tiba-tiba, dengan gemulai diliukkan lengannya, berirama, membentuk segurat pesan masa silam. Seperti menerima isyarat, Wiwik langsung bersimpuh di depan gênder, memukulnya dengan ritme senada gerak halus ibunya. Kini dengan tetap dalam posisi duduk, Dasiyem menggerakkan bagian tubuh lainnya, badannya, bahunya, leher dan kepalanya… Gerak gemulai melambai dalam serimpi ini telah diwariskannya dengan sempurna pada Wiwik yang selincah pengukir hidupnya dalam memainkan alat musik pukul itu, gender.

“Berapa muridmu sekarang?” Dasiyem melontarkan tanya dengan terus menggerakkan tubuhnya bagian atas. Suaranya nyaris tertelan tabuhan gênder.

“Tinggal 12 anak, Bu. Banyak yang tidak telaten. Kata mereka, ini tarian yang tida mereka, initelaten. Tarian yang sempurna pada Wiwik., leher dan kepalanya… seru, tidak enerjik,” balas Wiwik, yang bisa menangkap dengan jelas setiap kata ibunya, dengan suara agak lantang.

“Tidak apa-apa. Kamu sudah juga terbiasa kehilangan murid-muridmu. Kita bisa menerima dengan sikap biasa bukan karena tak ada cinta dan kasih. Tapi justru kita sangat menghargai cinta dan kasih, hingga setiap takdir yang dilekatkan di diri kita bisa kita rengkuh apa adanya.” Dasiyem meletakkan kedua tangannya di atas pahanya, begitu gênder mengisyaratkan kalau penari harus meninggalkan gelanggang.

Suasana kembali hening. Lamat-lamat kembali terdengar bunyi-bunyian malam. Wiwik menyeret kursi, mendekati ibunya. Tak dipungkirinya, ia sendiri sudah sangat lelah. Tapi ia tak pernah bisa menolak apa yang diinginkan ibunya. Terlebih setelah kehidupannya terjungkalbalik sepuluh tahun silam, hanya ibu yang bisa menyelamatkannya dari kematian. Pasti bukan kebetulan semata saat Dasiyem hari itu bertandang ke rumahnya, dan memergokinya tengah teler setelah meneguk cairan pestisida.

“Ibu mau bicara apa?”

“Sangupati.”

Jantung Wiwik meloncat hingga menghilangkan rasa kesat di kelopak matanya.

“Kita sudah mengenalnya, dekat dengannya, dan membungkus diri kita dengannya. Sekarang, kau tiap hari mengajarkan olah tubuhnya pada murid-muridmu, tapi aku ragu, apakah juga kau ajarkan olah batinnya seperti telah kuajarkan padamu. Apa kau pernah bertanya, nduk, mengapa aku tak memilih jalan lain untukku dan untukmu, dan memaksamu untuk mengikutiku, lalu kamu tak melepaskan diri dariku. Itu karena ruh dan makna serimpi sudah menyatu dengan jiwa kita.”

Hening. Wiwik menatapi sorot mata ibunya yang tak lepas dari lukisan penari serimpi yang memeluk mliwis putih dengan tangan kirinya.

“Setiap waktu, perpisahan pasti akan terjadi. Dengan atau tanpa kematian. Peristiwa yang selalu menggetarkan, memilukan, menyakitkan, bahkan mematikan.”

Derik jengkerik samar jauh di luar ruang dimana mereka berdua terpekur. Dasiyem berkata-kata yang seakan ditujukan pada lukisan dirinya dan pelukisnya.

“Lihat lukisan itu, Wik. Lukisan itu pada akhirnya menjadi kado perpisahan diantara kami,” gumamnya. Wiwik mengernyitkan kening, merasakan ada muatan lain dalam kalimat ibunya.

“Paklik Pujo kan yang melukisnya?”

“Perempuan dalam lukisan itu adalah aku. Itu pertama kali kurasakan perih dan nikmatnya makna sangupati. Keikhlasan akan kehilangan, seperti meloncatnya roh dari raga.”

“Paklik melukis ibu? Kalian berpisah? Ibu kehilangan paklik? Lalu… bulik Jumilah?”

“Tak terasa, sudah empat puluh tiga tahun lukisan itu bergantung di depan tempat tidurku, Wik. Selalu mengingatkanku pada malam yang hingar-bingar itu yang mendadak seperti gundukan tanah makam, menggulung dan menelanku. Lukisan yang hendak dijadikan mahar, malih wujud menjadi cundrik yang menikam jantungku.”

Tidak ada angin yang lewat, tapi Wiwik merasakan semribitnya, meremas-remas jantungnya hingga berdebar kencang.

“Aku tak bisa meneteskan air mata, sekalipun sangat ingin. Aku sangat menyayangi Jumilah, terlebih setelah nenekmu meninggal. Aku sangat memanjakannya. Dan aku harus tersenyum saat melepaskan Pujo untuknya.”

Samar dalam kenangannya, gending Kebogiro melantakkan hatinya, meloncatkan ruhnya melintasi bukit-bukit sunyi tak bertuan. Berhari-hari sebelumnya ia telah mendudah ulang ajaran serimpi yang telah diajarkan sang guru. Jumilah yang belum genap setengah tahun dinobatkan sebagai pesinden memang lebih lincah dibanding dirinya. Wajar sekiranya akhirnya Pujo membagi hati untuk dirinya dan Jumilah. Bukan itu sebenarnya yang menjadi masalah penyebabnya. Hingga Dasiyem merasa bagai ditelikung adiknya sendiri.

Usai pagelaran serimpi di pendapa kabupaten, Pujo menemuinya. Betapa berbunga hatinya saat Pujo menunjukkan lukisan dirinya yang dapat diselesaikan dalam 3 bulan saja. Mliwis putih yang tersangga pinggul kirinya senada dengan selendang putih yang menyampir di lengan kanannya.

“Dik Yem. Tak ada yang bisa memungkiri keindahan, kecantikan, dan terlebih kesucianmu. Lihatlah nuansa putih bayu hampir menguasai lukisan ini. Setiap tarikan tanganku adalah pujian keyakinanku dan rasa ketersanjunganku dapat menyanding hatimu.”

Dasiyem menundukkan wajahnya, menyembunyikan merah di pipinya, melempar pandang penuh arti kepada calon suaminya, sang penabuh gênder dan pelukis itu.

“Sekaligus… penuh kepedihan.” Dasiyem masih mengulum senyum, saat kata-kata Pujo meruamkan aroma masam yang mengerutkan lubang hidung dan keningnya.

“Mengapa begitu, Mas?”

“Adikmu… Jumilah…”

“Ada apa dengan Jumilah?”

“Tidakkah kau sebagai mbakyunya tahu?”

“Apa yang disembunyikan Jumilah dariku, Mas?”

“Dia hamil.” Suara Pujo sangat berat, hampir tak terdengar karena suara riuh yang tak jauh dari tempat mereka berada.

Lukisan di tangannya bergetar hebat. Tangan Pujo menggenggam tangannya yang masih rapat memegang gambar dirinya.

“Bagaimana kau bisa tahu, sedang aku tidak?”

Cahaya yang samar menyembunyikan wajah Pujo yang sebenarnya juga kian memucat.

“Aku juga tak tahu. Aku hanya mendengar ceritanya. Aku… aku tak yakin. Tapi… Jumilah mengatakan, aku… aku yang menghamilinya.”

Pujo menarik lukisan yang nyaris terlepas dari tangan Dasiyem. Dengan segera meletakkannya di tanah sebelum kemudian menangkap tubuh Dasiyem yang melunglai, ambruk.

Sepekan ia mengurung diri, membuat cemas bapaknya dan Pujo. Berulangkali Jumilah sesenggukan di depan pintu kamarnya sambil meminta maaf. Untuk menghiburnya, Pujo mengusung gênder ke rumah Dasiyem, dan memainkannya. Sikap Pujo menyayat hati Jumilah. Ia tahu betapa besar cinta Pujo pada mbakyunya, dan ia ingin mendapatkannya sebesar itu dari orang yang sama, Pujo.

Dasiyem melarutkan dirinya saat gending sabrangan, ageng dan ladrang mengalir. Air matanya tumpah bersama liukan tubuhnya seiring ingatannya pada pitutur gurunya tentang falsafah setiap gerakan serimpi. Ditahannya suara agar tak sampai menembus ketebalan dinding dan pintu kamarnya yang temaram, hanya selintas sinar surya menembus celah-celah jendela kayu dan ventilasi kamarnya.

“Bukan hanya untuk menyambut mati, saat masa pengantin pun penuh dengan ketakutan dan keraguan. Dunia setelah mati itulah yang menakutkan. Namun, semua orang pasti akan mati, tapi tak semua orang bisa menjadi pengantin dengan segenap keindahan dan kehangatannya.” Dilemparnya ke belakang selendang putih sambil menahan isakan dan tubuhnya yang gemetar. Lalu dimainkannya cundrik dalam genggaman tangan kanannya. Suara gending kian merapat.

Akankah kusambut kepastianku saja? Kematian?

Alunannya kian meleburkan dirinya.

“Segera bawa ke dokter!” teriakan keras sontak menghentikan gending, menghentikan gerak kaki dan tangannya, mendesirkan hatinya. Hening. Dasiyem berlari kecil membuka pintu kamarnya. Di depan kamar, sudah sepi…

Di pintu pagar depan, tampak bapak dan Pujo menggotong tubuh seseorang yang dikenalinya dengan baik, Jumilah. Dan, matanya menangkap ceceran darah di lantai semen rumah mereka. Ia memburunya. Tapi motor yang membawa mereka bertiga melaju menembus kelengangan jalan desa.

“Jumilah Alhamdulillaah selamat. Ia berusaha bunuh diri. Ia sangat takut Pujo akan kembali padaku. Melihat Jumilah nyaris menjemput maut, aku sadar, harus melawan kelemahan yang diturunkan oleh orang tuaku. Kau pasti belum tahu, kalau mbah putrimu meninggal karena bunuh diri.”

Wiwik merapatkan tengkuknya. Hampir setengah abad umurnya, namun cerita ini belum sekalipun ia dengar. Ibunya, Paklik dan buliknya, serta mbah kakungnya yang baru meninggal tiga tahun silam, pandai sekali membungkusnya. Lalu… mengapa malam ini Dasiyem membeberkannya?

“Aku harus hidup, Jumilah juga harus hidup. Bunuh diri itu seperti penyakit gila, diturunkan ke anak cucunya,” Dasiyem melanjutkan. Tanpa diminta, kenangan Wiwik yang hendak membayar keputusasaannya dengan putusan serupa.

“Mengapa ibu cerita padaku?”

Hanya sekilas pandangan Dasiyem ke arahnya, lalu kembali mematung menatap goresan mantan kekasihnya.

“Pada akhirnya seseorang harus mengetahui sejarah hidupnya dengan baik. Dan siapapun haram menyembunyikan sejarah hidup seseorang, dengan alasan apapun, rasa takut kehilangan, meskipun atas nama cinta.”

“Sepertinya, ada hubungannya denganku ya, Bu?”

“Kami semua menjaga janin Jumilah. Dan mbah kakungmu menikahkanku dengan Wardoyo, jejaka tua yang sudah PNS dan bekerja sebagai guru. Tapi… bapakmu tak pernah menyentuhku, karena dia tak bisa. Aku selalu menolak mengantar dia berobat, karena aku tak ingin dia menjamahku. Apalagi setelah Jumilah melahirkan, dan dia mengaku kalau anaknya ternyata bukanlah darah daging Pujo. Maka Pujo memintanya memilih, dirinya atau bayi itu. Jumilah memang tidak mengerti bahasa cinta ibu. Ia lebih memilih Pujo, saking cintanya, ia bersedia melepas anak yang tak pernah didapatkannya kembali.”

Pujo yang merasa ditipu, tetap meloloskan impian Jumilah namun ia tak pernah bersedia memuaskan hasrat adik Dasiyem itu. Ia memberi kebebasan Jumilah untuk menemukannya dengan caranya sendiri.

Wiwik mengeraskan hatinya untuk membendung air matanya. Ia mulai menata kepingan-kepingan cerita itu dalam sebuah bingkai tentang kehidupannya. Ini tentang dirinya.

“Lalu bayi itu, Ibu yang merawat dan membesarkannya,” gumam Wiwik lirih. “Artinya aku bukan anak ibu. Juga bukan anak bapak.”

“Aku sangat menyintai masa laluku. Dan aku bisa bertahan dengan itu. Sampai hadirmu, yang menyadarkanku ada masa depan yang harus kuperjuangkan. Aku bersyukur, Gusti Allah memberiku kesempatan mewariskan makna sangupati padamu, karena kematian adalah suatu hal yang pasti. Kehilangan adalah suatu hal yang mungkin terjadi.”

Sekelebat Wiwik sudah melenyap dari pandangannya. Dasiyem akan menunggu pagi untuk memberikan kisah apa yang akan terjadi malam ini. Dirapatkan kelopak matanya, sambil berharap masih panjang waktu sebelum kehilangan yang berikutnya…

–o0o–


Tinggalkan Balasan