ANALISIS NOVEL NEGERI LIMA MENARA DARI SUDUT PANDANG PROSES KREATIF
Judul Buku : Negeri 5 Menara
Pengarang : A. Fuadi
Penerbit : Gramedia Pustaka
Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2009
Cetakan : Pertama, 1 Juli 2009
Tebal Buku : xiii + 416 Halaman
Sinopsis :
Cerita ini mengisahkan seorang bocah yang bernama Alif Fikri, berasal dari pinggiran Danau Maninjau Sumatra Barat, yang tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Alif bercita-cita menjadi orang yang cerdas layaknya “Habibie” dan melalui sekolah umum yakni Madrasah Tsanawiyah negeri ia dapat mewujudkan semua itu, dengan melanjutkan sekolah ke SMA Favorit di Bukit Tinggi apalagi nilainya cukup mendukung. Namun Ibunya menginginkan Alif menjadi seorang ulama besar seperti Buya Hamka. Pilihan yang sulit bagi Alif, hingga akhirnya dia memutuskan untuk mondok setelah mendapatkan surat dari pamannya di Kairo di suatu pesantren di Jawa Timur meskipun dengan keputusan setengah hati. Tiga hari tiga malam Alif bersama ayahnya melintasi punggung Sumatra dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur. Alif tidak mengira dia akan menjadi santri Pondok Madani yang terkenal dengan kegiatan belajar mengajar sedemikian padat dengan aturan-aturan kedisiplinan ekstraketat. Hari pertama, Alif terkesima dengan sebuah pepatah arab “man jadda wajada”, siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkannya. Akhirnya pepatah arab tersebut menjadi “mantera” ampuh untuk membangun mimpi masa depan dan mewujudkan cita-citanya.
Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai Alif dipertemukan dengan Baso dari Gowa yang berusaha mati-matian menghafal 30 jus Al-Quran sebagai syarat untuk menggapai impiannya bersekolah di Madinah, Atang dari Bandung, Raja dari Medan yang mempunyai hobi membaca buku tebal, Dulmajid dari Sumenep dan Said dari Surabaya. Di bawah menara masjid Pondok Madani yang berdiri kokoh, para Sahibul Menara sering berkumpul menunggu magrib sambil menatap awan lembayung yang bergerak ke ufuk. Awan itu mereka gambarkan seperti benua impian mereka masing-masing. Aturan berbahasa yang ketat membuat para Sahibul Menara harus berusaha keras menyesuaikan diri. Cobaan demi cobaan menghadang mereka mulai dari menjadi Jasus hingga menjadi Shaolin Temple. Namun Alif cobaan terberatnya adalah menahan keinginannya untuk bersekolah seperti Randai. Empat tahun berlalu para Sahibul Menara berpisah untuk menggapai cita-cita masing-masing. Akhirnya, para Sahibul Menara, yaitu Alif dari Washington DC, Atang dari Kairo, dan Raja dari London bernostalgia bersama di London, sebuah impian yang tak terduga.
PROSES KREATIF NOVEL NEGERI 5 MENARA
Ahmad Fuadi lahir di banyur Maninjau, Sumatera Barat, 30 Desember 1972. Ia merupakan seorang mantan jurnalis yang memiliki pengalaman kerja di dalam maupun di luar negeri. Kelihaiannya merangkai kata tidak diragukan lagi, misalnya saja pada setiap novelnya selalu dibubuhkan kata-kata motivasi berupa Al-Mahfudzat yang mampu menjadi intisari dari sebuah cerita yang dituangkannya. Novel Negeri 5 Menara merupakan novel yang diniatkan untuk menjadi ibadah sosial oleh A. Fuadi. Novel ini menyajikan cerita yang berbeda dengan novel-novel yang lain, yang biasanya menyajikan masalah percintaan sebagai hal yang diutamakan, tetapi novel ini lebih menekankan pada semangat untuk mewujudkan cita-cita dan kuatnya persahabatan antartokoh utama dan pendukung.
Proses kreatif novel ini bukan merupakan suatu yang singkat, tetapi melalui proses yang sangat panjang, yang tentunya banyak menyita waktu dan pikiran sang pengarang. Sang pengarang secara gamblang memaparkan di dalam novelnya bagaimana jerih payah dan usahanya menciptakan novel yang sangat luar biasa ini. Dalam proses kreatif novel ini tak luput dari peran serta dan bantuan dari orang-orang terdekat sang author, yang memiliki peran paling utama dalam proses kreatif novel ini tentunya ibu dari A. Fuadi yang memberikan inspirasi kepada anaknya untuk terus berjuang dan berkarya hingga ia menjadi penulis besar. Karakter utama di dalam novel Negeri 5 Menara ternyata terinspirasi dari tokoh nyata keluarga besar gontor yang notabenenya merupakan sahabat dan guru-guru sang pengarang.
Selain itu, istri dari sang pengarang yakni Danya, yang akrab dipanggil dengan nama “Yayi” merupakan sosok yang sangat berjasa dalam proses penciptaan novel ini. Inspirasi cerita juga banyak diberikan pada suaminya. Bahkan ia bermain di berbagai lini, mulai dari sebagai suporter, editor sampai manajer. Lebih dari itu, dia bahkan memesan buku menulis dari Amazon.com dan membubuhkan aneka ragam catatan di setiap manuskrip.
Tidak hanya melibatkan sang istri, tetapi pengarang juga melibatkan rekan-rekan dan teman-temannya alumni Pondok Pesantren Modern Gontor untuk memberikan semangat, ide, masukan serta informasi terbaru tentang Gontor sehingga mempermudah pengarang dalam memberikan gambaran dan imaji kepada pembaca mengenai keadaan asli Pondok Pesantren Modern Gontor sehingga pembaca merasa ikut hanyut dalam permainan latar yang diciptakan oleh sang pengarang.
Sebagaimana yang telah saya paparkan pada alenia pertama bahwa pada tiap novelnya A. Fuadi selalu memberikan satu pesan tersurat dan tersirat melalui sebuah kalimat yang sangat ajaib seperti kalimat “Man Jadda Wa Jada” yang berarti barang siapa yang bersunguh-sungguh maka dapatlah ia. Kalimat berbahasa arab ini biasa kita kenal dengan Al-Mahfudzat. Kalimat ini mampu memberikan gambaran dari seluruh cerita yang dialami oleh sang pengarang yang penuh perjungan, mampu memikat para pembaca dan memberikan inspirasi besar bagi siapa saja yang membaca novel ini. Pembubuhan kalimat-kalimat kiasan dalam proses kreatif novel ini merupakan daya pikat utama yang mampu membius jutaan pembaca di dunia ini.
Jadi, jelas sekali bahwa proses penciptaan novel ini membutuhkan waktu yang sangat lama dan peran serta dari orang-orang terdekat sang pengarang hingga novel ini menjadi novel best seller Indonesia sepanjang sejarah penerbitan Gramedia Pustaka Utama. Tidak heran jika pada bagian belakang banyak yang bekomentar positif terhadap novel Negeri 5 Menara ini, mulai dari pejabat tinggi negara, tokoh-tokoh besar, penulis, musisi hingga rakyat biasa.