bahasa dan kekuasaan

Bahasa dan Kekuasaan: Refleksi Kritis atas Narasi Politik Pilpres 2014

Non Fiksi, Opini

Ahmad Sirulhaq : Direktur Lembaga Riset Kebudayaan dan Arus Komunikasi (LITERASI)

 

Apa yang membedakan fiksi dengan kenyataan? Padahal, keduanya tak lain meminjam kehadiran bahasa sebagai pencetak narasi, baik fiksi maupun kenyataan itu. Demi logika ini, kiranya patut pula dipertanyakan mengapa fiksi dan kenyataan mesti dibeda-bedakan? Dunia akademis yang terlanjur menerima dikotomi dalam bidang ilmu akan tertawa mendengar pertanyaan ini, tetapi tidak bagi mereka yang telah lama masuk dalam jantung perdabatan sejarah pemikiran dalam memahami realitas. Realitas adalah fiksi yang dibangun dalam imajinasi kelompok dalam konteks historis tertentu yang direpresentasikan melalui media bahasa; begitupun fiksi, pada galibnya hendak merepresentasikan realitas yang hidup di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat, pun dengan media bahasa, betapa pun selama ini fiksi berusaha lari dari klaim akan kebenaran narasi yang dibangunnya. Dalam arti itu, tulisan ini hendak memberikan semacam refleksi kritis atas narasi politik hari ini (dalam momentum pilpres 2014) yang ditulis oleh para elit politik.

Becermin dari Narasi-Politik Golkar

Banyak cerita yang (ingin) ditulis oleh elit politik hari ini pasca pemilu legislatif, mulai dari cerita tentang koalisi poros Islam, poros Indonesia Raya, yang dikomandoi Amin Rais, hingga cerita-cerita lama tentang perpaduan (ideologi) nasioanalis-religius, Jawa-luar Jawa, sipil-militer. Cerita-cerita itu terlalu panjang untuk diuraikan di sini. Untuk itu, sebagai misal, cukup saja jika kiranya kita menengok kembali perjalanan Golkar berkoalisi dengan kubu Probowo-Hatta (Koalisi Merah-Putih).

Beberapa hari menjelang injury time penentuan deklarasi calon presiden RI, Abu Rizal Bakri (ARB) tampak gelisah, setidaknya jika dipandang dari tingkah polahnya memanggil tokoh penting macam Mahfud MD. Rupanya ARB masih bertahan pada keyakinan bahwa dia masih punya peluang untuk menjadi salah satu poros pengusung calon presiden (capres), yang dalam hal ini ialah dirinya sendiri. Padahal, pada saat itu, di internal Partai Golkar sendiri, ARB sudah diingtkan untuk tidak ngoyo menjadi capres dalam kondisi tidak layak jual (berdasarkan berbagai survei).

Entah apa yang terjadi, beberapa waktu berselang, ARB tiba-tiba kita ketahui bertemu dengan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto, dan juga calon presiden yang, konon waktu itu, diusung oleh PAN, PKS, dan PPP. Menurut ARB, program kerja atau visi-misi Prabowo berhimpitan dengan program kerja dan visi-misi Golkar. Pada kesempatan itu pula, ARB mengatakan bahwa baginya tidak penting siapa yang jadi nomor satu atau nomor dua, dia ataukah Prabowo. Yang penting adalah kesamaan visi ingin mebangun bangsa dan negara.

Jika nomor satu dan nomor dua tidak penting, mestinya tidak penting juga di nomor tiga. Namun, belakangan kita ketahui bahwa ARB tiba-tiba terbang ke Denpasar menemua Ketau Umum PDI Perjuangan, Megawati, di Denpasar, karena kalau berkoalisi dengan poros Gerindra, konon, hendak ditaruh di nomor tiga? Tidak banyak cerita yang kita dapatkan dari media mengenai hasil pertemuan itu, namun pada acara Apa Kabar Indonesia Pagi di TV One, Ketua DPP Partai Golkar Rizal Mallarangeng, mengatakan bahwa Gerindra menolak karena Golakar, yang perolahehan suaranya di pemilu legislatif berada di posisi kedua, ingin di posisi nomor satu (capres). Di samping itu, politisi Golkar itu menyampaikan dengan penuh semangat dan barangkali juga harap-harap cemas, bahwa negara ini adalah negara yang besar, butuh kepemimpian yang kuat. Dengan bergabungnya Golakar pada kubu Jokowi (waktu itu belum deklarasi dengan pasangan JK) maka pemerintahan bisa berlangsung dengan efiktif. Tidak lupa politisi itu menyampaiakan bahwa ARB pengagum berat Bung Karno. Lihatlah tiap kali ARB berpidato selalu Bung Karno, Bung Karno, Bung Karno, katanya. Pagi tu, fungsionaris partai PDIP pun hadir di acara yang sama, namun katanya keputusan menerima Golkar ada di tangan Megawati.

Besok paginya, di acara dan pada stasiun TV yang sama, Wakil Sekjen Partai Golkar, Nurul Arifin, mengaku lega dengan titik terang yang sudah mulai didapat oleh partainya, yang katanya selama ini tidak tahu mau dibawa ke mana. Lagi-lagi pada sata ini disampaikan bahwa Golkar memiliki kesamaan visi dengan PDIP.

Beberapa hari kemudian, tiba-tiba, ramai diberitakan oleh media, ARB kembali menemui Probowo dan secara terang-teranganmengatakan akan berkoalisi dengan kubu Prabowo, yang pada saat dukungan itu dilakukan Prabowo sudah menetapkan Hatta Radjasa sebagai wakilnnya kendati belum dideklarasikan. Kali ini, menurut ARB, sebagaimana disiarkan di stasiun televisi, khususnya TV One, sebelum melakukan koalisi dengan kubu Prabowo-Hatta, saya sudah berdiskusi dengan Prabowo, saya sudah bediskusi dengan Hatta Radjasa, kami memiliki visi yang sama untuk membangun Indonesia bukan atas bagi-bagi kekuasaan. Tentu tidak ada lagi pembicaraan nomor satu dan nomor dua.

Kabar koalisi Golkar dengan poros Prabowo-Hatta ini pun mengunci peluang partai mana pun yang coba-coba hendak membuat poros baru, termasuk mengunci langkah Demokrat pada posisi abu-abu, yang tadinya berjanji hendak memberikan kejutan. Ketua umum Partai Demokrat, SBY, memaklumatkan bahwa secara organisatoris partainya tidak akan memihak kubu Prabowo-Hatta, tidak juga kubu Jokowi-JK. Di sisi lain, kenyataan itu pula, seakan menabuh gendrang perang antar-media, terutama antara stasiun televisi berita, antara TV One di pihak Prabowo-Hatta dan Metro TV di pihak Jokowi-JK. Pertanyaan kita beriktunya, dalam menciptakan narasi, ada apa dengan media?

 

Media Sebagai Pusat (dan Mobilisasi) Narasi

Media adalah salah satu pusat kontestasi makna bagi kekauasaan yang tengah berupaya menciptkan narasi kelompnya. Tujuannya tidak lain adalah untuk merebut perhatian khalayak pemilih. Pola-pola produksi ruang dalam media dimobilisasi sebegitu rupa, sedemikian sehingga lagi-lagi menyulitkan kita membedakan antara fiksi dan kenyataan. Dengan segera, konstruksi makna dan polarisasi kelompok terpusat dalam dua kubu yang saling berhadap-hadapan, kubu Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK.

Yang menarik dari fenomena ini ialah, bagaimana kelompok ini melakukan produksi makna (narasi) dalam ruang media, baik media mainstream maupun media jejaring sosial. Narasi tentang kedua kubu ini pun serta-meta sudah meng-ada dan kita konsumsi melalui media. Sosok yang tegas versus sosok yang sederhana. Prabowo-Hatta disebut-sebut sebagai jelmaan Soekarno-Hatta; Jokowo-JK desebut-sebut sebagai duet dua matahari kembar. Cerita tentang kedua sosok ini tidak selesai pada narasi positif saja. Melalui media kita juga menyaksikan Prabowo adalah sosok yang penuh dengan luka masa lalu, tetang HAM; Jokowi diciptakan sebagai Sosok yang haus kekuasaan karena loncat sana sini dan juga sebagai sosok capres boneka.

Narasi diskursif politik hari ini, yang ditulis oleh elit politik maupun massa pendukung yang fanatik pada sosok tertentu, mengingatkan kita pada Baudrillard, pemikir posmo abad ini. Media hari ini mempertontonkan kepada kita tentang fiksi politik elit, untuk tidak menyebutnya sebagai hiperrealitas. Fiksi yang dibangun oleh media lebih indah dari kenyataan objektif tentang subjek yang dinarasikan, pada saat yang sama pun menciptakan subjek tertantu menjadi sosok buruk-rupa dari kenyataan sebenarnya.

Pantaslah bila Foucault memandang bahwa pada abad ini pola-pola produksi ruanglah, pengalaman tentang ruanglah, yang akan menjadi kunci untuk memahami peradaban kita hari ini. Dari sudut ini, mengutif (Sugiharto, 2002: 128), sejarah adalah strategi-strategi penguasaan yang mengungkapkan diri secara spasial. Maka menganalisis kekuasaan berarti mengaitkan pola-pola wacana dengan produksi dan distribusi ruang, melacak pola-pola konstruksi geografis peradaban manusia dan memahami pengalaman-pengalaman ruang dalam kehidupan kongkret. Per definisi di atas, dengan redaksi yang berbeda, kita bisa mengungkapkan bahwa dengan mengamati pola-pola hubungan wacana dengan produksi dan distribusi ruang, kita dapat melihat jalinan struktur kekuasaan di belakanya, yang senantiasa hidup dan menjelma sebagai narasi yang dipatuhi.

Bagi Sugiharto, bila identitas diri akhirnya adalah konstruksi naratif bagai cerpen, novel, maka ada bagusnya itu ditulis sendri, untuk dibaca sendiri sebagai proses lebih otentik ke arah pemahaman diri, tetapi juga untuk menegaskan sigifikansi peran diri atau kelompok-kelompok itu—yang sering terlupakan—dalam proses emansipasi demokratis peradaban yang lebih umum. Namun, apakah semudah itu? Individu atau kelompok, dalam relaitas historis, dalam ruang dan waktu, tidak pernah secara sadar menciptakan narasinya sendiri. Sebaliknya, individu atau kelompok, dengan segera tiba-tiba mengalir dalam arus ruang dan waktu yang bersifat diskursif, yang diproduksi, direproduksi, dan dimobilisasi oleh kelompok elit tertentu, yang penuh dengan motif atau agenda-agenda kekuasaan. Lagi pula, untuk apa penggambaran narasi sosok elit politik dengan citra yang protagonis, jika toh penggambaran yang protagonis maupun yang antagonis pada akhirnya makin menguatkan realitas personal atau keompok sebagai sosok imajinatif atau fiksi?

(Dimuat di Suara NTB 30/3/14, dimuat lagi di sini untuk keperluan pendidikan)


Tinggalkan Balasan