Bahasa, Pemekaran Daerah, dan Bayang-Bayang Disintegrasi
Semenjak Presiden RI, BJ Habibie, memberlakukan Undang-Undang Otonomi Daerah pada 1999, di Indonesia terjadi gelombang pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) yang tidak bisa dibendung. Hingga kini sekurang-kurangnya jumlah Daerah Otonomi Baru yang lahir dari semangat desentralisasi tersebut tercatat mencapai kurang-lebih 205 daerah. Bahkan, semangat untuk membentuk Daerah Otonomi Baru tersebut masih berlagsung. Sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI yang digelar pada Mei 2014, menyetujui pembentukan 11 Daerah Otonomi Baru (DOB) di Indonesia. Pembentukan DOB terdiri atas dua daerah setingkat provinsi dan sembilan daerah setingkat kabupaten/kota. Hal ini menunjukkan bahwa betapa semangat untuk memisahkan diri yang dilakukan oleh masing-masing daerah di berbagai wilayah di Indonesia cukup tinggi.
Sebagai usaha untuk mempercepat pemerataan pembangunan di tiap-tiap daerah, semangat itu tentu patut diapresiasi. Namun, tatkala semangat otonomi daerah yang dilakukan oleh tiap-tiap daerah tersebut lebih menajam ke arah pembentukan dan atau pengintroduksian identitas diri mereka sebagai komunitas yang berbeda dengan komunitas lainnya, maka gerakan untuk memisahkan diri dan membentuk daerah (komunitas) baru ini patut diwaspadai sekaligus dicurigai, mengingat pengintroduksian identitas sebagaimana dimaksud tadi akan menjadi kontraproduktif dengan semangat otonomi daerah itu sendiri.
Hal lain yang perlu dikhawatirkan atas euforia pembentukan DOB tidak lain ialah terbangunnya konflik-konflik terbuka antarmasyaraat yang berasal dari daerah yang baru dengan masyarakat yang berasal dari daerah induk sebelumnya, sebagaimana telah terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Sesungguhnya, api apakah yang bisa begitu cepat menyulut suatu masyarakat untuk memandang dirinya berbeda dengan yang lainnya? Salah satunya, tidak lain adalah bahasa. Di daerah Jawa Tengah, misalnya, penduduk daerah Banyumas hendak memisahkan diri dari daerah induknya, Jawa Tengah, dan ingin membentuk provinsi baru hanya karena dialek bahasa mereka berbeda dengan dialek bahasa Jawa Solo/Yogya yang ditengarai berada di pusat kekuasaan keraton Yogyakarta dan Keraton Solo, sebagaimana pernah ditulis Nothofer (2012), pakar linguistik komparatif asal Universitas Frankfurt, Jerman.
Nothofer juga memperlihatkan, berkat Otonomi Daerah, varian bahasa Jawa regional (dialek Banyumas), yang tadinya dianggap sebagai bahasa yang inferior dan hampir tidak mau dipakai oleh penduduknya, justeru dihidupkan kembali sebagai dasar untuk membangun identitas baru yang berbeda dengan bahasa Jawa Yogya dan Solo. Adalah Sastrawan besar Indonesia, Ahmad Tohari, yang salah satu menjadi motor penggerak untuk menghidupkan lagi dialek Banyumas tersebut. Ahmad Tohari terlibat secara langsung dalam gerakan politik untuk mengupayakan pembentukan daerah Banyumas menjadi provinsi baru karena, menurutnya, logat Banyumas yang berbeda itulah yang menjadi pembeda antara masyarakat Banyumas dengan masyarakat Jawa secara umum. Bahkan, karena sikap politiknya yang demikian, Ahmad Tohari menerbitkan novelnya yang terkenal, Ronggeng Dukuh Paruk, dengan bahasa Jawa dialek Banyumas pada tahun 2007.
Hubungan mengenai otonomi daerah dan konstruksi identitas kelompok melalui fakta-fakta kebahasaan/linguistis dapat pula kita lihat pada kasus Papau, suatu wilayah yang notabenenya tidak pernah lepas dari terpaan isu disintegrasi pasca keberhasilan Timtim memisahkan diri dari Indonesia. Dalam Seminar Nasional yang diadakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada November 2013 di Jakarta, seorang peserta dari Papua, Marlon Athur Huwae, dari State Univercity of Papua, menyampaikan materi diskusi mengenai Linguage Use, Social Movement, Strategy and Worship of Etnicity in Karpus Pillage, Teluk Rendama Regecy. Dalam presentasinya, Marlon Athur Huwae, menceritakan bahwa di masa lalu mayoritas populasi yang tinggal di kampung Kaprus adalah orang-orang Wondama. Namun, sekarang ini mayoritas populasi yang menghuni kampung Kaprus, kabupaten Teluk Wondama, adalah orang-orang yang berasal dari suku Wepu dan Sough. Yang tersisa dari orang asli Wondama hanya dua keluarga. Menurut Marlon Athur Huwae, pergerakan sosial suku Wepu dan Sough yang merambah ke sistem birokrasi mengharuskan mereka untuk berbicara dan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Wamesa. Jangan lupa bahwa semua itu berawal dari diberlakukannya daerah Papua sebagai wilayah otonomi khusus.
Apa arti dari beberapa hal yang sudah kita bahas di atas? Artinya, otonomi daerah yang coba diberlakukan oleh pemerintah sejak 1999 sampai sekarang sebetulnya banyak membawa problem kebangsaan dan karena itu butuh perhatian dan pengkajian ulang yang lebih serius. Sekurang-sekurangnya, persoalan otonomi daerah tidak bisa hanya dianggap sebagai persoalan kepentingan politis-pragmatis saja, tidak bisa hanya danggap sebagai jembatan pintas untuk mempermudah pemerataan (hasil-hasil) pembangunan. Lebih dari itu, persoalan otonomi daerah juga patut dilihat sebagai persoalan identitas-kebangsaan.
Konteks NTB
Sudah menjadi rahasia umum bahwa di NTB telah lama terdapat upaya untuk melakukan gerakan pembentukan DOB, yaitu pembentukan Propinsi Pulau Sumbawa (PPS), pembentukan Kabupaten Lombok Selatan (KLS), dan Kabupaten Bima Timur (KBT). Yang disebut terakhir memang belum begitu ramai diperbincangkan di media cetak tetapi di media sosial, diam-diam, telah cukup lama menjadi bahan diskusi. Secara historis, kelahiran Kabupaten Lombok Utara (KLU), Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) sepertinya cukup menginspirasi bagi semangat untuk membentuk kabupaten/kota lainnya di NTB. Menariknya, dalam beberapa dinamika pemekaran daerah yang terjadi di NTB (dan juga beberapa daerah di Indonesia) kita luput untuk memperhatikan bahawa terdapat relasi antara fakta lingusitis dan realitas politis.
Dalam kasus KSB, misalnya, kita melihat bahwa batas wilayah antara KSB dengan Kabupaten Sumbawa (KS) dipisahkan oleh varian dialek dalam bahasa Sumbawa. Wilayah yang termasuk dalam Kabupaten Sumbawa Barat adalah wilayah dengan penutur bahasa Sumbawa Dielak Taliwang, sementara kita tahu bahwa Kecamatan Alas, yang menggunakan Bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar, yang secara geografis-teritorial berdekatan dengan kota Kabupaten Sumbawa Barat, justeru tetap menjadi bagian dari Kabupaten Sumbawa, bukannya mengikuti Kabupaten Sumbawa Barat. Selain itu, dalam kasus Kabupaten Lombok Utara, yang telah lama memisahkan diri dari Kabupaten Lombok Barat, sebagian besar penuturnya menggunakan bahasa Sasak dialek Bayan (konstruksi a-a), sementara bahasa yang digunakan oleh penutur di Kabupaten Lombok Barat saat ini sebagian besar menggunakan bahasa Sasak dialek Pejanggik (konstruksi a-e).
Hari ini, dalam upaya pembentukan DOB KLS, kita melihat fenomena serupa. Wilayah-wilayah yang diklaim sebagai bagian dari rencana pembentukan KLS, sebagian besar berpenutur bahasa Sasak dialek Pejanggik (a-e), sementara wilayah yang dianggap akan masih tetap menjadi bagian Lombok Timur saat ini sebagian besar berpenutur bahasa Sasak dialek Selaparang (konstruksi e-e). Selanjutnya, mengenai PPS, persoalannya bukan hanya perbedaan bahasa dengan kabupaten/kota lainnya di pulau Lombok, tetapi juga perbedaan suku dan wilayah geografis. Secara politis, jalan menuju PPS mungkin terlihat agak mulus mengingat faktor geografis tadi, namun begitu diperhadapkan dengan masyarakat yang berpenutur bahasa Bima dari kumunitas Mbojo, lagi-lagi persoalannya menjadi agak problematik, paling tidak mengenai pertentangan letak atau posisi kota provonsi PPS nantinya. Bukahkah sering kita mendengar seloroh: masyarakat Sumbawa punya bahasa (bahasa Sumbawa) dan punya pulau (pulau Sumbawa); masyarakat Bima hanya punya Bahasa (bahasa Mbojo) tapi pulau numpang di Sumbawa; sementara masyarakat Dompu tidak punya bahasa dan tidak punya pulau, karena masing-masing dapat meminjam dari Bima dan Sumbawa?
Walaupun berupa seloroh, identitas kebahasaan kerap menjadi pelumas yang digunakan oleh kelompok elite tertentu untuk mencapai tujuannya. Pada saat yang sama, sewaktu-waktu, seloroh pun bisa menjadi kayu dan minyak dalam menyiapkan konflik terbuka antarmasyarakat yang dikonstruksi berbeda (bahasa). Di samping itu, dalam tempo tertentu, konstruksi identitas kebahasaan dan atau kesukuan, yang pada mulanya dipicu dan dipakai untuk membangun sentimen kelahiran DOB, tidak mustahil, kelak, lamat-lamat, pun akan menghapus jejak dan narasi kebangsaan yang mengarah pada disintegrasi. Siapa tahu?
(Pernah Dimuat di Suara NTB 25/03/15)