Bangkai!
jika matahari tak membakar bulan malam ini
saat kata melemah lelah menjerat arti
atau malam telah terlalu malas bermimpi
dan anak adam menjelma pendosa yang memburu mati
maka lidahku tak perlu lagi bergerak
pun jiwa yang membara tak perlu lagi menghitung-hitung
biar lepas napasku menelan lantah semua jarak
diam sendiri meludah pintu tempat tuhan digantung!
***
Aku ingin meludah di depan tuhan! Apa yang membuatnya berfikir, aku rela menghembuskan napas terakhirku di selokan pengap ini? Sejak dulu aku memang curiga, dia hanya iseng menciptakanku. Seperti orang yang sedang mengupil, cari, dapatkan, lalu buang saja ke bawah meja atau ke tembok kamar. Dia adalah orang yang suka mengupil itu, dan aku adalah tahi hidungnya.
Air selokan ini bercampur dengan darahku, menambah ketidakjelasan aroma di tempat ini. Rupanya peluru terakhir yang ditembakkan Darman berhasil menggigitku, menghasilkan lubang di perutku yang mulai memanas.
***
Sore itu aku menemuinya. Seperti biasa, dia sedang duduk-duduk di warung kopi dekat kantor desa. Warung itu berdiri di sebelah pohon beringin yang usianya aku kira lebih tua dari diriku. Perasaanku sedang tidak enak saat ini, aku datang mencari Darman untuk meminjam uang, dan untuk alasan-alasan itu, aku membenci pohon beringin yang menambah angker suasana ini, atau Mbok warung yang bercanda dengan suara melengkingnya itu, atau tawa para bapak-bapak yang tak tahu pekerjaan lain selain minum kopi sembari melihat dada si Mbok. SETAN!
Profesiku adalah seorang penuli. Dahulu, aku berfikir aku ini orang yang hidup untuk menulis. Setelah beberapa pikiran sampah yang terus-terusan ditolak penerbit, aku mulai membenci pikiran manja itu sampai keakar-akarnya. Hidup tambah sulit dan apa pula yang membuatku berfikir bisa hidup dari kesulitan-kesulitan itu?
Aku membenci jalan yang pernah ku lewati, menurutku, jika aku berbelok di tikungan pendidikan dahulu, aku tak akan seperti ini. Harusnya aku rajin sekolah, mengambil gelar di Fakultas Hukum atau Ekonomi. Menjadi Pengacara atau seorang Akuntan, pegawai Bank juga boleh, mereka semua selalu terlihat bahagia. Bukannya malah melantung belajar menulis kesulitan-kesulitan hidup orang lain seperti ini.
Aku meminta Darman ke rumah. Setelah menyebutkan nominal dan memberikan beberapa syarat padaku, dia bersedia meminjamiku uang sekali lagi. Bunga 60% dengan tempo pengembalian selama 6 bulan, katanya karena hutang yang kemarin belum lunas juga. Sebenarnya, syaratnya kali ini sangat mencekik, bahkan menurutku, orang mati akan mati lagi jika diberi syarat seperti itu. Tapi harus bagaimana lagi? Aku pikir ini hanyalah masalah takdir tuhan.
Mati juga tak menjadi soal lagi. Toh aku memang sering berfikir akhir-akhir ini, hidup atau mati sama saja rasanya. Tak akan benar-benar ada yang aku tinggalkan ataupun merasa ditinggalkan olehku, jadi menurutku, rasa sakitnya bisa berkurang.
Aku tidak pernah benar-benar perduli. Syarat yang Darman berikan, aku hanya mengiyakannya saja. Otaknya yang hanya berisi uang dan bunga hutang itu rupanya tak pernah mengira-ngira apakan aku benar-benar bisa mengembalikan uangnya atau tidak. Persetan degan Darman, yang penting dia mau memberiku uang.
***
6 bulan sudah berlalu. Benar saja, aku bahkan lebih kesusahan dari sebelumnya, bahkan untuk membeli makan sekalipun. Apalagi mengembalikan uang Darman, sebut saja itu mimpi.
Tentu saja Darman tidak menerima hal seperti itu. Sudah sejak seminggu yang lalu dia mengejar-ngejarku namun aku selalu berhasil menghilang. Ini membuatku merasa seperti hantu, benar-benar tak ada lagi di dunia ini. Bahkan untuk masalah perhatian, yang memperhatikanku hayalah Darman, itupun atas dasar menagih hitung. Di mana kasih sayang? Ah, persetan!
Suatu pagi, aku berfikir untuk kabur saja dari tempat ini. Bersembunyi mulai membuatku muak! Jiwaku menjadi seperti anjing yang terus menggong-gong, bahkan suara decitan pintu kamar mandi atau suara adzan di masjid bisa membuat batinku menggong-gong seharian. Aku membulatkan niatku, aku akan pergi malam ini.
Jam di dinding menunjukkan pukul 3 pagi. Mungkin hanya setan dan beberapa tukang ronda yang masih berkeliaran di luar sekarang. Aku membawa tas ransel kecil berisi barang-barang terakhir yang tak cukup berharga, hanya saja memang ini barang-barang terakhirku.
Lampu di jalan berkedip-kedip. Larong yang berterbangan di sana membuat pencahayaan bertambah muram. Aku melihat sekeliling, sepi. Dengan pasti aku melangkah, sampai akhirnya terdengan seseorang berlari dari belakang. Darman sialan! Rupanya dia menungguku sampai sepagi ini, dia mengejarku meneriakkan sumpah serapah yang perduli setan aku mau mendengarkannya. Aku terus berlari, menyusuri setapak gelap yang bahkan aku lupa menuju ke mana.
Sejenak Darman berhenti berteriak. Beberapa detik kemudian serapahnya digantikan suara desingan peluru. Anjing! Dia menembakiku, aku berusaha menghindar sebisa mungkin. Di depan ada jembatan Palawurung, setapak di sana belum dipasangi lampu. Mengingat itu aku mempercepat lariku, berharap dapat bersembunyi dalam kegelapan yang hitam. Aku berhasil sampai di jembatan, sejenak rasa aman menyelimuti detak jantungku yang tak teratur karena terus berlari. Selanjutnya aku mendengar desingan terakhir itu, diikuti rasa terbakar di dadaku. Aku rubuh jatuh tepat ke bawah jembatan. Darman belum menyadari itu.
Dengan sisa-sisa tenaga aku merayap bersembunyi lebih dalam. Menekan lubang di dadaku. Pikiran-pikiran itu mulai kembali, aku pikir inilah akhirnya. Sekarang aku bisa tenang, tak perlu lagi ada masalah-masalah hidup itu. Bukankan dari dulu aku memang berfikir hidup atau mati sama saja?
Pandanganku mulai kabur. Inilah detik terakhirku. Di dalam selokan pengap dan luka tembak dari seorang deep collector yang isi kepalanya hanya uang dan bunga hutang. Sosok putih itu terlihat mulai mendekatiku. Aku pikir, inilah tarikan napas terakhirku. Anjing! Aku masih ingin hidup.