CATATAN HARIAN SEORANG PENELITI

Artikel, Non Fiksi

CATATAN HARIAN SEORANG PENELITI

Pendaratan yang Tertunda

Dari Jogja aku harus menempuh penerbangan tiga kali untuk tiba di Nunukan, Kalimantan Timur, daerah tujuan penelitianku. Artinya aku harus transit dua kali, di Balikpapan dan Tarakan. Siang itu, Senin 24 Juli 2007, Mandala Airlines berhasil merayap mulus di bandara Sepinggan, Balikpapan. Tapi, tidak demikian dengan keesokan harinya, Selasa (25/70/07) ketika Mandala bertolak pukul 10.00 pagi hari menuju Tarakan. Sudah satu jam lebih di udara, aku memperhatikan pinggir pulau Tarakan dari jendela pesawat, hanya garis-garis kecil memanjang, kadang saling menyilang satu dengan yang lainnya, selebihnya hanya hamparan hijau. Belum ada tanda-tanda ada permukiman dari ketinggian kurang lebih 3000 kaki dari permukaan air laut. Awak kapal memang dari tadi menginstruksikan untuk mengenakan seat belt untuk siap-siap mendarat, tapi kurang lebih setengah jam berlalu setelah instruksi itu belum juga ada tanda-tanda kalau pesawat akan landing.

Memang posisi pesawat seperti sudah sejajar dengan awan, namun aku melihat gundukan bukit yang sama berulang kali. Rupa-rupanya, pesawatnya urung mendarat karena masih memutar di udara. Dugaanku benar, kini, sang navigator langsung angkat bicara, pendaratan akan ditunda sementara batas jarak pandang sudah sesuai dan cuaca membaik. Aku berusaha menenangkan diri dengan bercakap-cakap dengan teman duduk di sebelahku. Semula kekuatanku sedikit terjaga, namun ketika beberapa kali pesawat menabrak awan dengan benturan-benturan yang hebat, nyaliku tiba-tiba menyusut. Seseorang yang memberanikan diri hendak ke toilet tba–tiba terpelanting, orang-orang berteriak, kali ini sebuah gesekan dibarengi gejala turbulensi, sejenak badan pesawat terasa tersedot beberapa meter. Dalam keadaan demikian, biasanya aku akan mencari ketenangan di raut pramugari, yang nalurinya lebih tajam akan suatu peristiwa di udara, tapi sia-sia, justru aku makin panik karena dalam raut muka pramugari yang berdiri ada di belakangku tak kutemukan prinsip-prinsip pertanda yang baik. Beberapa orang tertunduk beku tanpa geming, hanya gumaman-gumaman bibir yang bergerak mohon perlindungan pada sang pencipta. Tuhan Maha Besar. Tak ada yang kuasa melawan kekuatannya, tidak juga navigator kita, ia pun mengasi informasi, pesawat akan diputar kembali ke Bandara Sepinggan Balikpapan.

Di Balikpapan, pesawat mendarat dengan selamat, orang-orang bersyukur, termasuk juga aku, memuji Tuhan tanpa henti, yang telah memberikan keselamatan. Memang, waktu itu pesawat akan diberangkatkan lagi setelah menunggu dua jam lagi  tapi nyaliku sudah terlanjur dikalahkan oleh cuaca. Akhirnya, aku dan sebagian orang berinisiatif untuk meng-­cancel perjalanan.

Malam rabu, aku menginap di Hotelarrow Sepinggan untuk menunggu gerangan apa yang hendak dikatakan oleh naluriku. Beberapa potong roti, segelas minuman, dan beberapa batang rokok kuajak untuk kusuruh untuk menghapus peristiwa tadi. Lumayan berhasil, besok pagi aku harus menanyakan jadwal keberangkatan lagi. Ini baru awal, aku tidak boleh menyerah. Sekitar pukul 09:20, hape-ku tiba tiba berdering.

“Halo… Assalamualaikum Pak Sirul.” Sepertinya suara Pak Ahmad, seorang teman yang diperkenalkan oleh teman satu program di Linguistik. Ia orang Nunukan yang jadi Dosen di Tarakan. Sempat aku bertemu di Jogja dan bersedia menerimaku tinggal di rumah orang tuanya di Nunukan. Pak Ahmad juga akan bersedia ditempati rumahnya untuk tempat singgahku di Tarakan sebelum menyebrang lagi ke Nunukan.

“Waalaikum salam. Ei, Pak Ahmad. Gemana?”

“Sekarang Posisi di mana? Kalau bisa perjalanan ke Nunukan ditangguhkan dulu. Sekarang orang tuaku sendiri aku ungsikan ke Tarakan. Sekarang mereka masih di rumah sementara situasi menjadi aman. Tanpaknya perang antaretnik (Bugis vs dayak-Nunukan) di Nunukan tak terhindarkan.”

“Trimakasih infonya, Pak. Gemana-gemana, tolong saya dikabari lagi ya? Tapi ntar sementara waktu kondusif aku tinggal di tempat pak Ahmad dulu ya di Tarakan?”

“Oke Pak Sirul. Tapi, maklum dengan kondisi rumah sekarang, lagi ramai sama pengungsi. Hehe.”

“Oke Makasi.”

Malamnya, aku mulai menimbang-nimbang. Ini adalah suatu tantangan, demikian aku menenangkan hati. Ini baru permulaan. Belum apa-apa.

            Rabu, 26 juli 2007.

Pagi hari setelah menghabiskan service sarapan di restoran Hotel Sepinggan, aku menunju bandara yang tidak jauh dari Hotel tempatku menginap. Jaraknya kurang lebih 10—15 menit jalan kaki. Aku bermaksud menanyakan keberangkatan ke Tarakan. Tapi sempai lima hari ke depan, tidak ada seat yang kosong di Mandala, sementara aku hanya punya depositarrow tiket di Mandala, yang aku cansel kemarin, itu pun sudah dipotong 25%. Aku tidak ingin menyesali kenapa aku menunda keberangkatan yang kemarin. Tapi aku juga tidak bisa berlama-lama menginap di Balikpapan sampi lima hari tanpa kepastian situasi di Nunukan. Setelah menimbang dan seterusnya, memikirkan dan seterusnya, aku memutuskan untuk ke Samarinda, hari itu juga.

 

Mencari Pak Lutfi

Gerimis masih menitik di senja itu tatkala mobil yang membawaku ke Samarinda melintasi jembatan Mahakam. Tepat di jalan Cendana, gang sebelas, aku menuntaskan perjalanan dari Balikpapan yang telah ditempuh kurang lebih tiga jam.

“Samarinda adalah kota besar, namun tidak terawat,” demikian sopir kijang itu bercerita di dalam mobil tadi. Menapakkan kaki di Samarinda saat gerimis kian terasa deras membuatku kebingungan hendak ke mana aku mencari rumah pak Lutfi, seorang teman yang dikenalkan oleh teman waktu masih di Balikpapan tadi.

Aku menyusuri gang sebelas dan mencari-cari rumah yang bernomor 54. Namun, sampai mentok dengan gang berikutnya, tidak ada rumah bernomor itu. Sejenak aku berhenti di depan kios milik salah seorang warga dan bertanya, apakah ia tahu namanya pak Lutfi.

“Maaf, Bu. Mau tanya, apakah ada namanya pak Lutfi di sini, rumahnya sebelah mana ya?”

“Lutfi yang mana, kah? Nama pak Lutfi banyak di sini. Sampean nyari pak Lutfi yang kerja di mana?”. Tentu aku tak bisa menjawab, aku ndak tahu pak Lutfi itu kerja di mana, ciri-cirinya bagaimana, anaknya berapa karena aku sendiri belum pernah melihatnya.

“Yang jelas namanya pak Lutfi. Kalau pak Lutfi yang rumahnya deket sini di mana ya?”

“Kalu gitu, coba aja masuk ke belakang, lewat gang sempit itu. Di sana ada namanya pak Lutfi, siapa tahu bener.”

“O, ya. Terimakasih, boleh titip tas di sini dulu ya bu.”

“Tinggalin aja.”

Aku memasuki gang sempit, menuju arah yang ditunjukkan oleh ibu tadi. Di belakang rumah-rumah kayu berderet. Beberapa ibu rumah tangga kelihatan asyik mencuci di depan rumahnya yang berhimpitan dengan rumah tetangganya. Anak-anak bermain dengan suara ketawa yang sesekali meledak. Ragu-ragu aku menyapa seorang ibu yang sedang mencuci.

“Maaf. Bu. Mau tanya, rumah pak Lutfi yang mana, ya?”

“O itu tu. Di tempat suara anak-anak yang bermain itu.”

“Terimakasi, Bu ya.”

“Monggoo.” Sepertinya tempat ini, banyak orang Jawa.

Aku lantas menuju rumah yang ditunjuk ibu tadi.

“Permisi, Bu. Apa betul ini rumah pak Lutfi?”

“Oya betul, Mas. Memang ada perlu apa?”

“Tadi pak Lutfi nyuruh saya nunggu di rumahnya. Saya temannya dari Jogja. Katanya sudah dia bilang sama ibu kalau saya mau datang.”

“Kapan dia bilang? Dia ndak pernah kontak ke saya. Udah dua hari ini ia sibuk kerja di luar.”

“O, berarti bukan pak Lutfi yang suami ibu. Ada yang namanya pak Lutfi yang lain gak di sini?”

“Sampaian nyari pak Lutfi yang mana? Di sini namanya pak Lutfi?

“Yaitu,  katanya sih rumahnya deket pagar PDAM.”

“O kalau gitu coba ke arah barat sana. Pas mentok di pagar PDAM itu, lalu belok kanan kira-kira lima puluh meter.”

“Oke, terimakasi Bu. Mari.”

“Monggo..”

Aku mengambil tas yang dititipkan kemudian mengikuti arah yang ditunjuk oleh istri pak Lutfi tadi. Aku kemudian bertanya pada orang-orang yang duduk di depan rumahnya, di pinggir gang.

“Itu dah yang pintunya kuning.” Demikian mereka mengasi tahu.

Akhirnya, aku melihat rumah bernomor 54. Tidak salah lagi. Ini memang rumah pak Lutfi yang aku cari. Aku mengetuk pintu dan disambut dengan seorang ibu-ibu yang sambil menggendong anaknya. Ia tersenyum dan menyuruhku masuk.

“Cari pak Lutfi to mas?”

“Betul, bu. Memang ini rumah palk Lutfi, ya?”.

“Ya, tadi bapak pesen kalau ada tamu datang disuruh nunggu.” Akhirnya…..

********

Suatu Keputusan yang Sulit

Kurang lebih lima hari aku menginap di rumah pak Lutfi. Selama itu pula aku masih menunggu kabar dari pak Ahmad di Nunukan. Hari-hari menunggu di rumah pak Luthfi, jalan Cendana gang 11 no 24, aku habiskan untuk memutar-mutar kota Samarinda bersama pak Luthfi, atau kadang-kadang sendirian. Pak Luthfi adalah orang Jawa yang sudah menetap di Samarinda semenjak kuliah S-1, sekarang ia seorang guru honorer di SMP 1 Samarinda. Di komplek tempat tinggalnya didominasi orang-orang Jawa.

Suatu hari, Pak Luthfi juga cerita kalau ia punya teman di Nunukan. Aku minta tolong padanya, siapa tahu temannya bisa mengasi kabar situasi Nunukan saat itu. Pak Lutfi mencoba menguhubunginya via telfon seluler. Setelah beberapa saat memang terhubung tapi temannya itu pun kini lagi mengungsi di Tarakan.

“Gini, Mas. Orang asli sana sendiri ngungsi ke Tarakan. Dia seorang guru di sana, yang udah tahu seluk beluk Nunukan, tapi ia pun ngungsi. Kayaknya situasinya memang menar-benar tidak kondusif.”

“Yah, saya juga bingung, Mas.”

Aku masih berharap bisa ke Nunukan untuk bisa meneliti hubungan Dayak Tidung dan Bugis yang ada di Nunukan. Aku berasumsi, ada representasi-representasi yang bernuansa sara, prasangka-prasangka etnis, atau wacana yang tidak sehat yang terjalin antar-kedua etnis tersebut yang mengarah pada Dominasi sosiokultural: “superioritas” Bugis atas Nunukan. Asumsi saya didukung oleh cerita Pak Ahmad beberapa waktu sebelum keberangkatan di Jogja. Itulah yang ingin saya teliti sebenarnya, bagaimana representasi etnis tertentu atas etnis yang lain yang menciptakan wacana yang asimetris, dalam hal ini Bugis yang ditengarai sebagai pendatang dan Dayak Tidung sebagai etnis penduduk asli. Dalam situasi konflik seperti itu, aku berpikir penelitianku justru sangat relevan tapi aku juga sangsi bisa leluasa dapat data dalam situasi demikian.

Keesokan harinya aku dapat kabar dari pak Ahmad. Katanya, orang tuanya kembali ke Nunukan keesokan harinya. Walau dia tidak menjamin keamanan, Aku disuruh hari itu terbang ke Tarakan agar bisa berangkat sama-sama orang tuanya ke Nunukan. Mendengar kabar demikian, semangatku kembali merebak. Aku mengepak barang-barang lainnya untuk persiapan berangkat. Aku langsung menghubungi agen Mandala di Airport Sepinggan Balikpapan apakah ada kursi kosong. Dia tidak memastikan namun aku disuruh datang ke Airport besok siangnya untuk stand by. Dalam hatiku, tidak masalah, yang penting situasi Nunukan kuanggap sudah membaik. Hal itu kukabarkan pada pak Luthfi, dia mengamini saja.

Malam hari, sepulang mengikuti acara salawatan di rumah tetangga, aku melihat beberapa kali panggilan tak terjawab di layar hape-ku. Rupanya nomor pak Victor, salah seorang anggota DPRD Nunukan. Pak Victor juga salah seorang akses tujuan saya di Nunukan. Aku mengenalnya di Jogja waktu beliau mendaftar di Magister Manajemen UGM. Nomornya masih kusimpan. Selama di Jogja aku sering menghubunginya untuk menanyakan situasi di Nunukan. Aku juga minta kesediaannya untuk mencarikan tempat tinggal yang aman di Nunukan kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Pak Victor pasti akan menghubungiku lagi beberapa saat lagi, aku menunggu.

Tidak beberapa lama. Hape-ku kembali berdering. Nama Victor muncul di layar langsung kutekan menuarrow OK.

“Selamat Malam Pak Sirul. Apakah jadi rencananya berangkat ke Nunukan? Sekarang ini aku di Jakarta bersama beberapa anggota dewan lainnya untuk membahas situasi di Nunukan. Tadi pagi beberapa pasukan Dayak sudah siap-siap berperang kalau syarat menyediakan kerbau tidak mampu dipenuhi.”

“”Kerbau untuk apa, Pak?” Aku bertanya.

“Adat orang Dayak kalau sudah hunus senjata, pantang untuk dimasukkan lagi, harus ada darah berhasil ditumpahkan. Kalau tidak manusia, bisa digantikan dengan kepala kerbau 30 ekor. Itulah yang sedang kami bicarakan di pusat bagaimana cara menyediakan kerbau sebanyak itu. Tapi yang jelas, kalau bisa keberangkatan ke Nunukan ditunda dulu. Saya tidak menjamin keamanan.”

“Trimakasi banyak, pak Victor. Saya tunggu kabar berikutnya.”

Huhh.. ini benar-benar tantangan yang luar biasa. Aku memang pernah beberapa kali penelitian lapangan waktu diajak rekan-rekan dosen di Unram. Tapi dalam situasi konflik seperti ini, aku sama sekali tidak punya pengalaman. Antara obsesi ingin menjadi peneliti yang baik dan jiwa yang kecut karena medan yang panas. Akhirnya kembali menghitung dan menimbang: pesawat yang kembali ke Balikpapan karena cuaca buruk; cerita pak Ahmad yang orang taunya mengungsi ke Tarakan; teman pak Lutfi yang juga mengungsi ke Tarakan; telfon pak Victor. Ah aku meneliti di Smarinda saja dengan konsekuensi perubahan orientasi pada proposal dan tanpa mengantongi surat izin.

Perubahan Orientasi Penelitian

Aku sudah membulatkan tekad untuk meneliti di Samarinda saja. Beberapa orang sudah mulai aku wawancarai, termasuk Pak Luthfi. Untuk melihat-lihat bagaimana hubungan antaretnis yang ada di Samarinda, aku sengaja naik taksi (sebutan angkutan umum di Samarinda) dan duduk di samping sopir. Sepanjang jalan aku memancing-mancing. Berharap menemukan satu titik yang bisa dijadikan asumsi berikutnya. Seperti tidak ada relasi dominasi. Menurutnya konflik etnis pun hampir tidak pernah terjadi karena memang tidak ada etnis mayoritas di Samarinda. Menurut pengakuan beberapa orang, tidak ada yang bisa diklaim sebagai penduduk asli di Samarinda karena masing-masing merupakan pendatang yang sudah tinggal beratus-ratus tahun di sana. Kalaupun Banjar disebut-sebut sebagai penduduk asli, mereka pun datang dari Kalimantan Barat.

Menurut cerita memang ada suku asli pedalaman yang tidak jauh dari kota Samarinda. Namanya daerah Air Putih kira-kira jarak 30 menit ke arah barat dari Kota Samarinda. Sempat aku ke sana untuk memastikan. Tapi justru aku menemukan di sana banyak pendatang dari Lombok. Penduduknya pun kurang lebih 10 KK dengan rumah yang berjarak cukup jauh satu dengan yang lainnya di pinggir-pinggir jalan.

Ada juga kabar bahwa di desa Pampang, kurang lebih satu jam perjalanan kendaraan, ada penduduk asli Dayak. Namanya Dayak Kenya. Bersama Pak Lutfi aku ke sana hari minggu hujan-hujan karena menurut pak Lutfi mereka menggelar acara adat pada hari Minggu. Sesampai di sana kami membeli tiket masuk Rp 5 ribu per orang. Di dalamnya terdapat aula pertunjukan berbentuk rumah panggung has Dayak. Beberapa saat beberapa barisan anak-anak dengan kostum perang mulai masuk ruang pertunjukan diiring dengan musik tradisional. Mereka rupanya menggelar sebuah tarian perang.

Di sela-sela pertunjukan aku mewawancarai beberapa tokoh adat yang pakai anting di telinganya yang panjang. Kalau mau berfoto dengan mereka harus bayar Rp 15 ribu sekali jepret. Beberapa bule juga terlihat asyik menonton dan memotret. Pertunjukan mereka bukanlah semata-mata untuk mempertahankan tradisi turun temurun yang ada di sana. Orang-orang Dayak yang ada di Pampang ternyata bukan penduduk asli yang ada di sana mereka sengaja didatangkan ke sana untuk dijadikan komoditas pariwisata oleh orang-orang tertentu. Anak-anak dilatih untuk bisa menarikan tarian perang untuk mendapatkan uang. Tidak ada suatu yang sakral di sana. Bukan ritual tapi performa yang  ditunjukkan. Setelahnya mereka bubar seperti habis pertunjukan konser.

Sejauh ini aku tidak menemukan hal yang relevan dengan isi proposal awalku. Barangkali ada citra-citra negatif tertentu yang dikonstruksikan pada orang Dayak oleh etnis yang lainnya di Samarinda. Tapi orang dayak justru lebih modern demikian penuturan salah seorang guru SMA keturunan Jawa. Tidak heran karena Samarinda adalah kota besar, yang banyak melahirkan Supermarket dan Mall-Mall. Jarang sekali ada bisa ditemukan penduduk jalan kaki seperti banyak kita lihat di Jogja. Di ruas-ruas jalan tertentu sering terjadi kemacetan.

Aku masih menunggu dan mencari tema-tema yang menarik. Namun, dari teman program linguistik di Jogja aku mendapat kabar kalau bisa proposal segera masuk ke Prodi sebelum perkuliahan semester ganjil dimulai agar jadwal presentasi segera ditentukan sekalian distribusi dosen pembimbing. Setelah menimbang-nimbang lagi, aku berpikir proposal awalku tentang wacana representasi etnis tidak relevan untuk diterapkan di Samarinda, akhirnya aku memilih “aman”, dengan sedikit membanting setir dari representasi etnis ke representasi perempuan; dari wacana teks oral ke wacana teks tulis. Aku memilih untuk melihat bagaimana perempuan direpresentasikan dalam Harian Samarinda Pos. Terasa disayangkan tapi tuntutan proposal seminar harus segera dikirim. Lagi pula, aku juga punya ketertarikan untuk meneliti media lokal.

 

Ladies Rp 60 Ribu

            Kurang lebih dua  minggu di Samarinda, membuatku sedikit menghafal sebagian jalan dan jalur-jalur tertentu. Cuaca di kota ini tidaklah menentu. Hujan dan panas tidak bisa diprediksi. Pagi bisa terasa begitu cerah, siang atau sore, hujan sudah mulai mendera. Satu hari hujan, tiga hari berikutnya hanya panas yang menyengat. Demikian sebaliknya. Tidak heran kalau kota ini dijuliki kota semerawut oleh penduduknya. Sisa-sisa lumpur, masih menempel di jalanan dan sepanjang trotoar. Sepertinya tidak ada petugas kebersihan di kota ini. Taman yang ada di tepian sungai Mahakam, tidak menarik minat warga untuk berkunjung atau bersantai, baik pagi atau sore hari. Padahal, menurut cerita warga, ratusan penduduk telah direlokasi untuk membangun taman itu. Taman itu masih baru-baru selesai dibangun. Namun, rumput-rumptnya tidak terawat. Kubangan air bekas hujan terlihat di sana sini. Demikian juga sampah-sampah yang ada. Di sore hari, memang banyak pedagang kaki lima yang nangkring di sana. Barulah terlihat ada orang-orang yang duduk di beberapa sudut. Ada juga anak-anak yang asyik bermain bola.

Masih di tepian taman Mahakam yang panjangnya kurang lebih satu atau dua kilo meter, dari ujung jembatan Mahakam hingga depan kantor gubernur Samarinda. Pada suatu malam, aku bermaksud melepas lelah dan ingin menikmati suasana sungai Mahakam di malam hari sambil mencari jagung bakar, secangkir kopi pahit, dan juga sebungkus rokok. Siapa tahu juga bisa dimanfaatkan untuk mencari data lapangan.

Aku berhenti tepat di depan pedagang kakilima yang sedang asyik membakar jagung. Kuparkir sepeda motor mepet di trotoar dan langsung memesan jagung bakar, kopi pahit, dan sebungkus rokok.

“Silakan Mas, duduk di sini aja.” Dua orang perempuan langsung menghampiri. Yang satunya masih agak muda tapi sudah kawin, satunya lagi berumur empat puluhan tahun dan sudah menjanda. Mereka adalah penjual jagung bakar. Sembari mempersilakan duduk, mereka langsung menemani aku ngobrol. Ngobrol sambil menikmati jagung bakar di tepian Mahakam pada malam hari, sangat mengasyikkan. Apalagi setelah seharian berkutat dengan sesaknya jalan raya, macetnya ruas-ruas jalan tertentu. Dengan begini, semua akan segera terlupa.

“Sampean ini orang jawa, kah?” Ciri khas bahasa di Samarinda memakai partikel kah untuk untuk penegasan satu pertanyaan.

“Ya, kenapa, Mbak?”  jawabku berbohong untuk berjaga-jaga.

“Orang jawa itu lembut-lembut,” katanya “dan paling disenangi di Samarinda,” tambahnya.

“O, gitu ya.  Kalau Mbak ini orang mana, kah?”

“Aku ini asli Banjar,” katanya

“Orang Banjar banyak juga yang berdagang kaki lima, kah?” tanyaku. Karena setahuku yang banyak jadi pedagang kaki lima di Samarinda adalah orang-orang Jawa.

“Gak banyak, aku sendiri sebenarnya malu.”

“Emang kenapa?”

“Orang Banjar itu gengsi-gengsi. Gak mau kerja begini-begini. Mereka itu mendingan disuruh ngerampok daripada kerja jualan begini. Nggak seperti orang Jawa, mereka gak milih-milih kerjaan, apa aja dilakukan.”

“Trus kenapa Mbak jualan kaki lima?”

“Ini aja aku keluarnya pas udah malem jam sepuluhan. Kalau sore-sore belum pernah. Malu dilihat.”

“Kalau orang Dayak gemana orangnya,” tanyaku.

“Kalau orang dayak itu. Kalau kamu pacari, jangan sekali-sekali maenin dia.”

“Emang kenapa?”

“Mereka itu kalau sudah suka, Anda akan dikejar terus. Kalau orang Manado, kamu bisa habis diperasnya. Kalau sama orang banjar, kalau kamu lemah, kamu bisa dimakan sama perempuan Banjar. Perempuan banjar keras-keras,” katanya.

Perempuan itu terus saja bercerita. Ada kurang-lebih satu jam kami ngobrol ke sana ke mari. Aku puas karena banyak tahu tentang etnis-etnis yang ada di Samarida. Segera setelah selesai ngobrol-ngobrol aku langsung menanyakan bayaran belanjaanku. Secangkir kopi pahit, satu biji jagung bakar, dan sebungkus surya 16.

“Berapa semuanya, Mabak?” tanyaku sambil merogoh dompet.

“Tujuh puluh lima ribu rupiah.” Aku kaget, dan menanyakan kembali. Barangkali aku salah mendengar

“Tujuh puluh lima ribu.”

“Yoh, kok mahal sekali.”

“Ya emang segitu.” Perempuan yang agak muda menjawab sambil memandangku tajam.

“Kan cuma jagung, kopi, sama rokok?”. Aku masih bertahan.

“Ya, tapi ledis-nya dua.”

Ledis.?Makanan apaan tuh. Aku gak pernah mesen.”

“Anda kan ditemani ngobrol dua orang ledis, satu ledis 30 ribu. Jadi semuanya tujuh puluh lima ribu.”

“Emang bayar?”

“La iyalah.” Perempuan muda itu berkeras tapi yang janda mulai menengahi.

“Udah lain kali kalau ke sini, bilang caranya. Mau pakai ledis atau nggak.” Lama aku berpikir untuk mengerti ternyata maksudnya Lady, dua perempuan jadi Ladies.

 “O. Gitu. Tapi aku cuma bawa duit lima puluh ribu,” kataku.

“Ya udah gak papa,” kata si janda tua sembari mengasi tahu alamatnya dan menyuruhku sesekali main-main ke rumahnya. Gilla……

***********

Penutup

Ada beberapa jejak yang tidak bisa dihapus begitu saja oleh waktu. Ini adalah sepenggal kisah, coretan, atau apapun namanya, dari seorang peneliti pemula, yang tentu saja tidak akan dijumpai dalam lembar bab-bab tesis yang hendak ditulisnya, bahkan tidak juga pada catatan kaki. Ini lebih merupakan suatu memoriam, yang senyatanya cukup untuk konsumsi anak cucu kelak. Namun, ketika aku mengingat-ingat kembali, aku merasa diburu siang dan malam oleh ingatanku sendiri untuk segera menutul semua ini di atas kertas bagimu, untuk berbagi.

(Samarinda, Agustus, 2007)


Tinggalkan Balasan