Aku dan Langkah Kaki Adikku
Siang itu matahari tak menampakkan wujudnya dengan sempurna. Rintikan hujan menemani langkah kakimu. Sering aku berpikir, mengapa langkah kaki kecil itu selalu mengekor di belakang langkahku. Tapi ketika hujan, kedua pasang kaki kita akan sejajar. Mencoba melindungi tubuh masing-masing dari derasnya air yang turun dan membasahi tanah tempat banyak kaki-kaki berpijak.
Kadang diam-diam, aku sering memerhatikan gaya berpakaian dan rambutmu. Baju-baju yang kau kenakan, sama seperti baju yang ku kenakan dulu ketika usiaku sepertimu. Aku selalu mengagumi switer biru yang dibuat nenek ketika usiaku empat tahun. Dan kau, kau juga memiliki selera yang sama denganku. Switer biru itu sering kau kenakan ketika ke sekolah.
Kau bukan cermin, bukan juga bayanganku. Kau hanya adik perempuanku. Tapi aku selalu melihat diriku padamu. Walaupun sering juga aku menampik perasaan yang memang juga selalu diutarakan Ibu padaku. Kau begitu mirip dengan adikmu.
Banyak orang yang merasa bahagia memiliki saudara perempuan yang menggemaskan. Kau juga menggemaskan, tapi entahlah, kau masih terlihat menyeramkan di hadapanku. Kau ingat? Ketika kau melihat fotoku sewaktu di taman kanak-kanak? dengan rambut yang dikuncir dua, dan poni yang persis menutupi sepasang alisku. Kau menarik-narik Ibu seraya merengek seperti kucing yang menjengkelkan. Dengan tatapan yang mampu menangkap hati Ibu, kau memintanya untuk mendandanimu seperti aku di fotoku.
Saat itu, aku hanya menatapmu lurus. Tidak ada respon dariku melihat ibu yang segera menuruti kemauanmu yang mengerikan itu. Kau, kau dan aku berbeda. Walaupun terlahir dari rahim yang sama. Tapi tidakkah kau ingin menjadi dirimu sendiri? Aku yang semula asyik menonton acara TV, segera beranjak ke kamar dan menenggelamkan pikiranku pada buku PR yang belum selesai ku kerjakan.
Belum lama otakku berpikir dan bergumam karena rumus-rumus yang coba ku putar balikan dihadapanku, kau mengetuk pintu kamarku dan masuk perlahan dari pintu kamar yang memang selalu tak terkunci. Dan saat itu, aku menyesali kebiasaanku yang tak pernah mengunci kamar. Kau bertingkah seolah memperlihatkanku bahwa rambutmu yang biasanya tergerai kini terkuncir rapi seperti aku, ya sepeti aku yang dulu.
Pandangan mataku kosong saat melihat senyum renyahmu, tidakkah kau tahu betapa aku tidak berminat memberimu senyum saat itu? hanya atas nama kau saudara kandungku, ku paksakan senyum itu simpul. Detik itu, entah setan apa yang merasukimu, kau ingat saat tiba-tiba kau memelukku? Saat sepasang tangan kecilmu melingkar di pinggangku?
Sungguh aku tidak menyukai saat-saat seperti itu, refleks tanganku mendorongmu. Sepertinya keseimbanganmu sedikit goyah, tapi beruntung kau tidak terkapar di lantai karena doronganku, aku tidak melihat raut kekecewaan pada wajahmu saat itu. Kau hanya tersenyum seraya berbalik badan dan pergi dari kamar.
Aku tak habis pikir. Bagaimana kau tetap menganggap aku menyukai tingkahmu? Atau kau dilahirkan tanpa rasa peka terhadap perasaan orang lain?
Jalan itu masih basah, hujan yang masih berderu tak membiarkan tanah kering seperti biasanya. Aku melihat kaki kecilmu mencoba menyeimbangkan langkah besarku. Kau tak berkata apa-apa ketika langkah kecilmu tak dapat menjangkau langkah besarku. Kau percepat langkah kecilmu sehingga dapat menyeimbangi langkahku.
Sesampai di rumah, aku mendapati ibu yang baru selesai masak di dapur. Hidangan makan siang sudah tertata rapi di meja makan. Setelah mengganti seragam SMA dengan kaos putih dan celana seperempat. Aku duduk di meja makan seperti biasanya. Kau mempunyai kebiasaan buruk lain yang tak ku suka. Ketika jam makan siang, kau selalu makan seraya bercerita panjang lebar pada ibu, apa kau membeberkan tingkahmu yang mengerikan di taman kanak-kanak? entahlah apa yang kau ceritakan, aku tak pernah beruasaha menyimak ceritamu dengan benar.
Setelah makan siang, aku menghabiskan waktuku membaca komik di ruang tamu. Aku memang tidak biasa tidur siang, dan kau tahu? Aku kembali menyesali kebiasaanku yang sama denganmu. Tapi untungnya, kau tidak mempunyai ide untuk mengganggu acara membacaku saat itu.
Tidak lama kemudian, ibu mendekatiku dan duduk tepat di sebelahku. Di kursi ruang tamu sepanjang satu setengah meter itu, ibu dengan tenang mengusap kepalaku, membuat pandanganku teralihkan kepadanya.
“Tidak bisakah kau mencoba menyayanginya seperti ia menyayangimu?”, aku tidak menjawab mendengar pertanyaan ibu. Aku kembali mengalihkan pandanganku pada komik yang tadinya sempat aku tinggalkan.
“Ayahmu meninggal bukan karena adikmu, jangan kau jadikan dia kambing hitam atas kejadian lima tahun yang lalu, adikmu tidak tahu apa-apa”. Mendengar perkataan ibu tadi, aku langsung beranjak dari tempat dudukku seraya menuju ke kamar. Sepertinya aku membanting pintu kamarku lebih keras dari biasanya.
Aku tidak menginginkan ibu membahas masalah itu lagi. Aku tidak berpikir untuk menyalakan lampu pada hatiku yang gelap terhadapmu. Kau tahu mengapa banyak orang yang terlalu menyepelekan hal yang sebenarnya aneh? Karena mereka selalu mengangap itu merupakan hal yang biasa.
Sama halnya ketika manusia bernafas, tidak banyak yang berpikir mengapa manusia hanya bisa bernafas denga oksigen? Karena mereka menganggap bernafas dengan oksigen itu hanya hal yang biasa dilakukan, jadi tidak ada yang perlu ditanyakan dan diperdebatkan. Dan aku benci itu, bukankah tidak ada asap jika tidak ada api? Dan kau, masih menjadi alasan atas kekecewaanku yang sekarang tidak memiliki ayah lagi.
Kau ingat peristiwa lima tahun yang lalu? Oh mungkin kau tak mengingatnya, karena kau masih dalam rahim ibu yang menyenangkan. Di minggu pagi itu, ayah dan ibu terlihat bahagia, tidak seperti biasanya. Kemudian dengan hangatnya ayah mengajakku menari-nari dan berkata bahwa aku akan memiliki seorang adik. Aku tidak merasakan kebahagiaan apapun saat itu, mengapa harus ada adik? Bukankah menjadi anak satu-satunya lebih menyenangkan?
Siangnya, ayah mengajak kami jalan-jalan sekeluarga. Aku bersikukuh mengajak ayah dan ibu ke toko buku, walaupun saat itu ayah sangat berkeinginan membawa kami ke pusat perbelanjaan. Kata ayah, ia harus mendapatkan grobak bayi yang baru untuk calon adikku. Aku tentu menolak tawaran itu, bukankah kau teramat dini untuk dibelikan tempat istimewa itu?
Karena tidak ingin aku kecewa, ayah dan ibu mengikuti permintaanku. Aku benar-benar merasakan kebahagiaan saat bisa menggandeng tangan kiri ayah dan tangan kanan ibu, tidak boleh ada tangan lain yang mengambil bagianku itu, tidak siapapun, termasuk kau!
Kebahagiaanku sedikit terusik ketika di toko buku, ayah ternyata membeli dua buah diary berwarna coklat dengan gambar beruang di sampulnya. Kata ayah satu diary itu untukku, dan satunya lagi untukmu. Itu sangat konyol, bagaimana bisa ayah berpikir begitu panjang? Kau tahu? Sebelum kau lahir saja, kau sudah merebut perhatian ayah dariku.
Ketika menyeberangi jalan menuju mobil yang terparkir, aku sengaja menjatuhkan satu diary itu, karena ku anggap kau masih terlalu dini untuk mendapatkan hadian dari ayah. Saat menaiki mobil, ekor mata ayah sepertinya melihat sebuah benda coklat tergeletak di sisi jalan. Dan ia menyadari itu, dengan sedikit berlari, ayah berniat mengambil diarymu yang sengaja ku jatuhkan, tapi sepeda motor jahanam itu tiba-tiba melesat membentur tubuh ayah!
Kau tahu apa yang lebih menyakitkan dari kematian diri sendiri? Sesuatu itu adalah kematian juga, tapi kematian orang yang sangat kita cintai.
Pagi itu ketika hendak ke sekolah, aku mendapati rumah kosong. Tidak ada ibu dan kau. Aku tak perduli. Ku langkahkan kakiku menuju gerbang, tak lupa payung kuning itu ku masukkan ke dalam tas, karena memang akhir-akhir ini sering kali hujan di siang hari. Kakiku terasa ringan pagi itu, tidak ada sepasang kaki kecil yang mengekor di belakangku.
Begitu juga saat pulang sekolah. Ketika tanaman-tanaman mulai menari dengan rintikan hujan. Aku merasakan keringanan itu lagi. Hanya ada satu kepala dibawah payung kuning ini. Hujan masih saja mengalun dengan semilir angin yang terkadang menimbulkan sensasi dingin yang luar biasa. Dering telpon dari Ibu membuyarkan lamunanku di jalan. Dan kau tahu? Entah perasaan apa yang bergejolak dihatiku saat itu.
Aku mencoba untuk mencerna kembali kata-kata ibu, adikmu meninggakan kita. Aku rasa aku tak perlu merasa kehilangan. Tapi entahlah, mataku terasa perih dan mengeluarkan cairan. Apa aku menangis untukmu? Aku ingin menghilangkan perasaan itu, tapi kau seperti memaksaku untuk merasakan rasa kehilangan yang luar biasa untuk kedua kalinya!
Hujan masih turun menerpa payung kuningku. Tak ada sepasang kaki kecil yang mencoba menyeimbangkan langkahku. Tak ada genggaman tangan yang biasanya meremas erat lengan kiriku. Semua kosong, terbawa angin yang hanya berhembus dan tak tahu hilang kemana.
Sesampai di rumah, aku belum berniat melihat jasadmu di rumah sakit. Perlahan, untuk pertama kalinya aku memasuki kamarmu. Tak ada yang istimewa. Hanya ada ranjang sedang di ujung kiri, dengan sprai bergambar beruang, lemari hitam yang tidak begitu tinggi, dan meja kecil yang sepertinya tempatmu menghabiskan waktu ketika di dalam kamar.
Aku baru tahu, kau memiliki hoby yang sama denganku, menulis. Ku lihat buku diary kecil berwarna coklat dengan sampul bergambar beruang di atas meja kecil itu. Ingatanku kembali pada kejadian lima tahun yang lalu. Perasaan kesalku tiba-tiba muncul. Tapi entah apa yang membuat tanganku tergerak untuk membuka diarymu.
Halaman pertama, ada gambar tiga wanita yang kau beri nama pada bagian bawahnya, “Ibu, aku dan kakak” ku balik halaman berikutnya, dan ku baca tulisan yang terlihat acak-acakan itu, sekarang aku tahu perbedaan kita, kau tidak memiliki tulisan seindah tulisanku, diusiaku yang ke empat, kata ibu tulisanku bisa dikatakan rapi.
Lembar I
Hari ini hujan, aku senang sekali. Soalnya aku bisa jalan di samping kakak, nggak di belakangnya lagi. Aku senang bisa pegang lengan kakak, lengannya hangat.
Lembar II
Tadi rambutku dikuncir ibu loh, mirip sama kakak waktu kecil. Aku senang sekali. Aku ke kamar kakak buat ngeliatin rambutku ke kakak, aku peluk kakak, tapi kakak dorong aku, mungkin kakak lagi sibuk, lain kali aku gak ganggu kakak lagi deh kalau lagi sibuk.
Lembar III
Aku sayang kakak, kakak lucu kalau lagi makan. Kakak suka makan pakai kecap. Besok kalau aku besar, aku bakal masakin kakak makanan yang kecapnya banyak.
Lembar IV
Aku sering muntah-muntah darah, kata ibu aku sakit. Aku pengen bilang ke kakak, tapi aku takut nanti kakak marah. Tapi aku pasti sembuh, terus bisa ajak kakak main.
Aku tertegun memandangi deretan kata itu. Aku benar-benar hidup di ruang gelap. Hanya menyendiri. Tanpa sadar ada sepasang bola mata yang selalu memandangku dari jauh. Ada tangan yang ingin memasangkan bola lampu pada sisi gelapku. Kau tersenyum tapi aku tak pernah membalas senyummu, tapi kau tak pernah mengeluh. Kau hanya tahu senyum itu indah.
Apa yang pantas dibanggakan dari kakak sepertiku? Tuhan mengambil orang yang ku sayangi dan menggantinya dengan orang yang menyayangiku. Tapi aku tak pernah sadar itu. Bisakah kau lebih lama bersamaku? Tak akan ku biarkan langkah kakimu mengekor di belakang langkahku lagi. Tapi, waktu memang selalu menimbulkan penyesalan yang terlambat. Ketika aku ingin membalas senyum tulusmu, ketika tanganku ingin menggenggam tanganmu, langkahmu sudah tidak ada lagi di belakangku, langkah kaki adikku.