Cerpen Lelaki Pemutar Gasing
Karya: Marlinda Ramdhani
Hentakan itu seketika menimbulkan kegaduhan di sekitarnya. Teriakan orang-orang yang mengelilingi arena di samping pasar itu membuat udara semakin panas. Entahlah, padahal matahari sudah hampir setengah jalan menuju peraduan. Tapi putaran hebat yang menjadi primadona itu membuat debu-debu di tanah kering itu tak bisa tertahan lagi.
Lelaki itu harap-harap cemas melihat “jagoannya” bertanding. Keringat yang bercucuran tak dihiraukan. Dengan tatapan tajam, lelaki itu seperti memaksa benda yang menjadi tumpuan matanya itu untuk terus berputar. Ia terus saja melihat gasing miliknya yang masih berputar, sesekali ia berteriak dengan histeris jika ada gasing milik peserta lain mendekati gasingnya.
“Bangsat ! jangan dekat-dekat !”
Hiruk pikuk penonton membuat darah lelaki itu semakin panas, apalagi ketika putaran gasing miliknya mulai tampak tak bergairah lagi. Selesai ! lelaki itu kalah lagi. Wajah frustasi terlihat jelas ketika lelaki itu harus merelakan uang dua puluh ribuannya raib dalam beberapa putaran.
“Sialan ! lagi-lagi si edan itu yang menang ! lihat saja, lain kali tak habisin kamu,” ucap lelaki itu seraya mengikat kembali gasingnya.
Suara azan magrib mulai terdengar dari surau yang tak jauh dari kerumunan orang itu. Lelaki itu pun bergegas jalan pulang dengan membawa rasa marah karena kekalahannya. Dibantingnya gerbang rumah yang terbuat dari pagar. Istri dan anak lelakinya yang sedang berada di teras rumah sudah tidak heran melihat kelakuan lelaki itu. “Kalau pulang marah-marah pasti baru kalah,” gumam anak lelaki itu.
Sepertinya lelaki itu mendengar gumaman anaknya. Matanya melotot seperti ingin mencekram anaknya sendiri. Rasa kesal sepertinya menjadi-jadi di benak leleki itu. diseretnya anak lelakinya, kemudian dengan kasar ia membuka baju anaknya itu. Entah setan apa yang sedang merasukinya. Dengan tanpa berpikir panjang, diambilnya sapu lidi yang tak jauh dari jangkauannya, dengan biadab ia memukul anaknya sendiri. Satu, dua, tiga, empat pukulan. Lelaki itu tampak belum puas. Satu, dua pukulan kembali ia berikan tanpa ampun pada anak lelakinya. Teriakan istrinya menghentikan gerakan tangan lelaki itu. Dibantingnya sapu lidi yang ada di tangannya, kemudian masuk ke rumah.
Anak lelaki itu tampak merintih kesakitan ketika ibunya secara perlahan mengoleskan minyak zaitun pada punggung dan lengan anak itu. tak ada suara keributan lagi di rumah itu. Bahkan anak itu terlalu takut untuk sekedar mengeluarkan rasa sakitnya dengan tangisan.
***
Tak banyak penumpang hari itu, sepertinya orang-orang yang pulang dari pasar itu lebih banyak memilih naik cidomo dibandingkan ojek. Lelaki itu tampak sedang menghitung penghasilannya. “Akh, yang penting cukup untuk taruhan hari ini.”
Seraya menunggu pegasing yang lain, lelaki itu duduk di warung kopi langganannya yang berada tak jauh dari arena adu gasing.
“Kemarin kalah lagi Par?” Tanya lelaki pemilik warung kopi itu.
“ Ia, gasingku kalah lagi sama punyanya si edan Jupri.”
“Wah, mantra-mantra si Jupri boleh juga tuh, buktinya sudah dua kali gasing kamu kalah terus Par.”
“Lihat saja nanti, hari ini Sapar pemenangnya,” ucap lelaki itu seraya melilitkan tali gasingnya.
Dari jauh lelaki itu melihat anak lelakinya yang sedang berjalan bersama dua temannya. Anak lelaki itu memang sering menyaksikannya taruhan gasing. Ketika melihat bapaknya, anak itu segera berlari menghampiri lelaki itu. “Pak, hari ini bawa uang ya,” ucap anak itu. Lelaki itu hanya mengacungkan jempol seraya dengan percaya diri memasuki arena taruhan gasing.
Tiga, dua, satu ! Suara lipri sudah ditiupkan. Dengan cekatan lelaki itu menghentakkan gasingnya di tanah berdebu itu. Sorak penonton mulai memenuhi arena pasar di sore hari itu. tidak ada aktivitas berdagang, hanya ada kumpulan orang yang tergila-gila dengan benda yang setiap putarannya bisa menghasilkan bahkan menghilangkan uang yang ada di kantong mereka.
Awalnya raut wajah lelaki itu tampak percaya diri melihat gasing miliknya yang paling keras berputar. Tapi senggolan dua gasing lain yang mendekati gasingnya secara bersamaan membuat putaran gasing milik lelaki itu terpental, lemah, dan berhenti seketika.
“Kurang ajar ! gasing siapa yang berani mengeroyok gasingku !” ucap lelaki itu dengan rasa marah yang tidak bisa tertahan lagi.
“Hahaha jagoanku menang lagi !” ucap salah seorang lelaki bernama Jupri, seraya memasukkan uang hasil taruhannya kedalam plastik hitam yang ia simpan di kantong belakang celananya.
Lelaki itu tampak benar-benar jengkel dan iri. Bagaimana tidak? Uang yang ada di kantong lelaki itu hanya selembar sepuluh ribuan. Uang itu hanya cukup untuk ikut ditaruhan pertama saja. Lelaki itu mulai gelisah, otaknya sudah di penuhi dengan perasaan jengkel yang luar biasa. Tidak, ia tidak menggunakan otaknya untuk berpikir, ia hanya memaksa otaknya untuk bisa berpikir.
Mata lelaki itu tiba-tiba tertuju pada anak lelakinya yang ada di kerumunan orang-orang yang sedang menyaksikan taruhan gasing. Dengan cepat ditariknya anak itu kemudian ia membisikkan sesuatu. Anak lelaki itu tampak menggelengkan kepalanya. Tetapi lelaki itu terus memaksa. Sekali lagi, anak itu menggelengkan kepalanya.
“Berani ngelawan bapak kamu ! mau bapak hajar lagi?” ancam lelaki itu pada anaknya.
Mendengar perkataan bapaknya. Anak itu bergegas pergi dengan wajah gelisah. Terlihat beberapa kali ia berjalan menuju kerumunan orang-orang di arena itu sambil menggaruk – garuk kepalanya.
Udara semakin panas dan sesak dengan kerumunan orang dan debu yang terus mengepul akibat putaran gasing-gasing itu. Entahlah, apa asap dapur orang yang taruhan gasing itu bisa mengalahkan debu yang mengepul di arena itu.
Lelaki itu terlihat sedang melilitkan tali pada gasingnya, saat ia hampir selesai melilitkan tali gasingnya. Tiba-tiba terdengar teriakan orang-orang di sekitar arena taruhan gasing itu. “Maling . . Maling . . !” Jiwa satria yang kesetanan mulai tampak pada orang-orang yang berteriak tadi. Lelaki itu masih diam tak mencoba melihat apa yang terjadi.
Suara gaduh itu semakin menjadi-jadi. Orang-orang mulai menghajar maling itu. Lelaki itu tidak bergerak sedikit pun. Bahkan ketika ia melihat tubuh kecil yang tergeletak dihajar masa itu, ia masih terdiam. Orang-orang masih terus menghajar maling itu, dan lelaki itu juga masih saja terdiam seraya memegang gasingnya yang telah selesai dililit tali.
*Pernah terbit di Suara NTB, 2014.