Cerpen Terpental Tak Jauh-Jauh

“Tak kan lari gunung dikejar, jika memang jodoh tak akan kemana-mana, asam di gunung dan garam di laut akan berpadu di dalam periuk juga.”
Barangkali ini kalimat yang paling sering kita dengar dimana-mana, sebagai obat galau saja.
Yah, namanya jodoh memang tak akan kemana-mana, tapi kalau tak jodoh ya kemana-mana! Jodoh ada di tangan Tuhan, dan Tuhan ada dimana-mana, jadi kesimpulannya jodoh juga ada dimana-mana, dimana-mana yang entah dimana pula keberadaannya.
Bagi para penemu jodoh yang sudah menemukan keberadaan jodohnya yang terdampar di negeri tak bernama, mungkin kini sudah tak perlu berepot-repot ria untuk bersusah-payah dalam mencari-cari jodoh-jodoh yang bertebaran disana-sini.
Mereka tinggal berleha-leha ongkang-ongkang kaki sambil minum-minum di beranda rumah dan bernyanyi-nyanyi. Tapi bagi para pencari jodoh yang tak kunjung menemukan dalam pencariannya, hanya dapat menggalau dan menghibur hati dengan kalimat “Jodoh tak kan kemana-mana.”
“Jodoh tak akan kemana-mana, nanti juga ketemu di pelaminan!” Kata Ifan waktu itu ketika aku dengan muka menyedihkan bercerita tentang penantianku akan jodoh yang tak kunjung berkunjung ke hadapanku.
“Jadi maksudnya aku harus nunggu jodoh di pelaminan, gitu??”
“Hahaha, nggak gitu juga kali! Masa iya kamu bikin pelaminan dari sekarang, terus nungguin si jodoh datang sendiri? Yang ada malah malaikat maut yang datang duluan.”
“Lha, terus?”
“Nyari donk!”
“Mau nyari kemana coba? Gunung sudah kudaki, lautan kuseberangi, tebing kupanjat, jeram kuarungi, masakan kucicipi. Tapi jodohku belum kutemui.”
“Alay!! Mendaki ke sembalun aja belum pernah sok mendaki gunung menyeberangi lautan.” Ifan mencibir.
“Oke, aku bohong. Tapi bagian masakan kucicipi itu jujur, sumpah!” Kataku meyakinkan. “Tapi masa mesti aku yang nyari? Aku kan cewe, Fan. Mestinya aku yang dicari.” Keluhku lagi
“Apa salahnya? Siti Khadijah saja dulu melamar Rasulullah duluan. Nggak ada larangan cewe nyari jodoh. Lamar aja duluan!” Ifan sok menyemangati.
“Ok, Fan, do you want to marry me?” Godaku dengan sedikit membungkukkan badan dan mengulurkan sebelah tanganku padanya.
Ifan tertawa “Tunggu setahun setelah wisuda ya!” Candanya.
Berlalunya waktu tak juga membawa kejombloanku pergi, jombloku tak berlalu. Beberapa kali aku sempat dekat dengan beberapa cowok. Hanya saja semuanya kandas di perjalanan, dan pada akhirnya aku hanya kembali berjalan sendiri mendekati Rahmatullah.
“Kamu terlalu pemilih sih, coba deh jalani apa adanya!” Saran Novi, waktu itu aku menggalau lagi karena tak kunjung menemukan pelabuhan hatiku yang sudah lelah berlayar.
“Apanya yang pemilih? Apa buktinya aku pemilih?”
“Lho, kemarin waktu kamu ditembak Hendra kenapa nolak?”
“Yak, arena aku nggak punya rasa sama dia lah! Kalo aku asal terima aja kan kasian dia, jadi bertepuk sebelah tangan.” Aku membela diri sebelum disalahkan.
“Cinta akan datang karena terbiasa.”
“Terbiasa apanya?! Coba deh waktu aku sama Mady, aku terima dia tanpa cinta. Buktinya apa? Sampai enam bulan juga tetep aja nggak ada rasa.”
“Bohong!”
“Oke, aku bohong. Rasa memang ada, tapi rasa kasian dan rasa bosan. Pada akhirnya dia nggak terima, putus! Apa itu salahku?”
Novi terdiam akhirnya. Padahal apa yang kuceritakan padanya tak sepenuhnya benar. Perasaan cinta pada Mady memang datang secara perlahan-lahan, dan makin hari makin membengkak.
Tapi berbeda denganku, mengetahui hubungan kami hanya didasari oleh perasaan cinta dari dia saja, Mady perlahan-lahan makin menjauh dan perasaannya padaku lenyap sama sekali.
Hubungan kami kandas karena pada akhirnya Mady sudah menemukan cinta yang baru untuk hatinya yang lelah menunggu. Yah, perasaan itu tidak datang dengan sendirinya, tapi juga bisa jenuh jika terlalu lama terus-terusan diabaikan.
Dan aku tidak ingin kembali terjadi seperti itu jika aku memaksa untuk menjalani hubungan yang sama dengan Hendra.
“Ngejomblonya tahan banget neng?” Ledek Irma di lain waktu setelah hampir 3 tahun lamanya aku mempertahankan predikat jomblo awetan di kalangan mahasiswa angkatan terakhir.
“Abis mau gimana? Kan belum ada yang mau.”
“Nggak ada yang mau atau nggak ada yang kamu mau?”
“Keduanya.”
Irma tertawa.
“Yaah, saat aku suka sama seseorang, orang itu malah nggak suka sama aku. Yang suka sama aku malah bukan orang yang aku suka. Kan nggak nyatu? Dia suka aku, aku suka yang lain, yang lain suka yang lebih lain lagi.” Ungkapku
“Ribet amat!”
“Kayak mata rantai kuntilanak.”
“Kamu mata rantainya?”
“Bukan, aku mata tombak. Lagi nyari sasaran hati yang akan kutembus.”
Irma tertawa lagi, entah dia tertawa karena benar-benar merasa omonganku lucu, atau menertawakanku yang tak laku-laku, atau barangkali tertawa menyembunyikan rasa kasihannya padaku. Ironis!
Cukup! Aku sudah bosan berpetualang di dunia persilatan – ya, persilatan antara rasa ingin segera memiliki pendamping dan keadaan yang memaksa untuk terus bertahan dalam pertapaan kejombloan abadi. Petualangan yang melelahkan! Kini saatnya bergabung dalam komunitas ISIS: “Ingat Skripsi, Ingat Skripsi!”
“Nggak terasa ya, udah mau selesai aja kita!” Gumamku dalam kerumunan teman-teman seangkatan yang sedang kumpul-kumpul di depan ruang sidang skripsi.
Artinya waktu itu kami sekeluarga satu program studi berpura-pura perhatian menjadi supporter pada salah seorang teman kami yang sedang di uji di ruang terisolasi yang menyeramkan itu.
“Haha, iya ya… ternyata kita udah setua ini.” Celetuk seorang teman, entah dimana sosoknya, yang terdengar hanya ucapannya saja.
“Eh, setelah wisuda mau ngapain?” Irma tiba-tiba mengingatkan kami akan kejamnya dunia persilatan (kembali dunia persilatan) yang akan kami hadapi di luar kampus.
“Kerja dulu lah!” Sahut Ifan
“Kamu mah enak Fan, udah kerja kantoran.” Aku menimpali
“Alah, kantor desa aja!”
“Tapi kan lumayan tuh, udah bisa jadi modal nikah.” Irma nyeletuk dan tertawa-tawa.
“Modal nikah sih bisa aja lah, asal ada kemauan dan ada calon, hahaha…” Ifan kembali membuatku merasa digalaukan.
“Eh, eh, kalian ngomongin nikah di depanku maksudnya apa, hah?” Aku pura-pura tersinggung.
“Udah lah, Ri. Kamu nggak perlu mikirin nikah! Kamu pergi aja bertapa di puncak gunung Rinjani sana.” Ledek Ifan
Aku mencibir, beberapa diantara teman-teman sekelas ikut-ikutan mem-bully. Betapa malang nasib hamba!
“Jomblo itu bukan berarti nggak laku! Artinya aku masih disayangi oleh Tuhan, aku masih dipelihara dari semua godaan dan hanya diperuntukkan bagi jodohku kelak.” Belaku
Giliran Ifan yang mencibir “Alaah, padahal galaunya tiap malem. Bangun tahajjud do’anya cuma minta dideketin jodoh.”
“Udah deh, Fan. Nggak usah buka aib sendiri. Bilang aja itu do’amu sebelum tidur.” Aku balik meledek.
Acara men-support ujian malah berubah jadi ajang olok-mengolok hingga teman kami yang selama beberapa jam terkurung di dalam ruangan itu terlepas dan terbang bebas di angkasa. Dan kami bubar dengan ribut.
“Jadwal ujianmu jam berapa besok?” Tanyaku pada Ifan yang rencananya akan di uji skripsinya besok pagi.
“Jam 9, aku udah nggak sabaran nih pengen cepet-cepet selesai.” Ungkapnya
Kami terdiam beberapa jenak sambil menelusuri lorong gedung menuju pintu keluar.
“Kamu mah enak, ujiannya udah selesai. Bebannya udah lepas. Tinggal nunggu yudisium aja.” Katanya lagi.
“Masih revisi.” Sela ku.
“Ya, tapi tegangnya kan udah ilang, aku masih.”
“Tenang aja, dosen yang nguji besok baik-baik kan? Kita bakalan wisuda samaan pastinya.”
Ifan tersenyum tiba-tiba, membuatku merinding. “Satu tahun setelah wisuda ya!”
Aku tersentak, apa-apaan maksudnya coba?
Aku tertawa mencoba menghilangkan rasa canggung yang tiba-tiba datang. Baru kali ini aku merasa secanggung ini setelah beberapa tahun sekelas dan bergaul dengan biasa.
“Satu tahun aja, nggak lama kan? Kamu bisa nunggu kan?” Aksennya keren bikin tambah merinding dan berdebar-debar.
“Apanya yang setahun?” Aku mencoba bercanda.
“Do you want to marry me?” Ucapnya “Kamu pernah bilang gitu kan? Yes, I do.”
Aku melongo. Aku lupa kapan aku pernah mengucapkan kalimat itu.
“Tapi setahun lagi. Nggak lama kan? Asal kamu bersedia menunggu.” Senyumnya makin manis, tapi menyeramkan. Entahlah! Menyeramkan atau mempesona. Tiba-tiba saja aku merasa jatuh cinta pada temanku yang satu ini.
***
Percaya atau tidak, setahun setelah itu Aku dan Ifan bertemu di pelaminan. Bukan, bukan sebagai tamu dan mempelai, tetapi sebagai sepasang mempelai. Bayangkan saja, aku tidak pernah membayangkan hal itu bisa terjadi.
Benar, jodoh tak kan lari kemana. Patahan tulang rusuk tak kan terpental jauh-jauh dari susunan rangkanya. Seseorang yang selama beberapa tahun menjadi temanku, yang setiap hari bertemu, ternyata adalah susunan rangka dimana aku akan kembali.
Sementara aku berkelana mencari di setiap sudut bumi, padahal bumi itu bulat yang sudutnya tak terbatas. Ternyata jodoh yang kucari-cari menggelinding bersamaku setiap hari.