Cinta Tulus

Cerpen, Fiksi, Romance

Cinta Tulus

Malam ini bertabur bintang di langit. Cahaya kerlap-kerlipnya begitu sedap di pandang mata. Hiruk pikuk suara beberapa manusia yang berlalu lalang di bawah sana menambah keramainan malam. Tak lupa juga suara bising motor yang tak pernah alfa menderu setiap menit. Jakarta, sebuah kota metropolitan yang penuh dengan keramaian di malam hari. Jadi tak heran pernah disebut sebagai kota yang sama sekali tak pernah tidur.

Sudah lima tahun aku menapaki kaki kurusku di kota ini, mencoba mengadu nasib seperti kawan-kawanku yang lain. Dulu tak pernah terlintas dibenakku kalau kota ini akan mengubahku menjadi pribadi yang sekarang. Yang sangat jauh dari harapan kedua orang tuaku. Awalnya memang aku menolak, lebih tepatnya berontak. Tak ingin melakukan pekerjaan yang nista ini. Tapi sudahlah, nasi sudah menjadi bubur, tidak mungkin bubur itu akan menjadi nasi lagi bukan? Ya Mustahi!

“Anggi, ayo cepat! ini giliranmu. Mereka sudah menunggu dari tadi.” Kata madam Nia seperti biasa, memperingatkan kami untuk bersiap-siap. Perempuan paruh baya inilah yang menawaranku pekerjaan, mungkin bukan menawarkan, lebih tepatnya menjebakku kedalamnya.

“Baik mam, tunggu sebentar.” Balasku kemudian mengikutinya menuju sebuah kamar gelap yang biasa kami pakai.
Setelah kami sampai madam Nia meninggalkanku. Kini tinggallah aku sendiri. Awalnya memang sedikit takut, tapi lama-kelamaan aku menjadi terbiasa juga. Kunyalakan lampu kamar itu, seketika itu juga kudapati satu tubuh telanjang bulat di depanku. Tubuh seorang laki-laki paruh baya. Tanpa ba bi bu lagi dia menerkamku seperti serigala kelaparan.
__oOo__

Hari-hari yang kulalui tetap seperti ini, menjadi seorang gadis pemuas nafsu para lelaki bejat dan hidung belang. Aku bukan gadis lagi, karena sebutan itu hanya untuk mereka yang masih murni dan suci. Setiap orang tuaku mengirim surat dan menelponku, mereka selalu tak pernah alfa menanyakan kabar dan menyuruhku pulang. Mungkin karena merindukanku yang tak pernah pulang selama lima tahun terakhir ke daerah asalku. Yaitu sebuah desa kecil di Lombok Barat. Sebuah desa yang memiliki keberagaman penduduk yang masih kuno dan masih memegang teguh adat istiadat serta kepercayaan mereka.

Kepada ibu kukatakan kalau aku baik baik saja, demikian juga dengan bapak. Tak pernah sedikitpun kuceritakan pekerjaanku kepada mereka. Yang mereka tahu kini aku sudah mapan di Jakarta, dari banyaknya uang dan hadiah-hadiah yang kukirimkan setiap tahun menjelang hari raya tiba. Sebenarnya aku rindu kepada mereka. Namun rasa malu dan bersalahku lebih besar lagi. Malu bertatap muka dengan kedua orang tua yang selalu mendidikku menjadi pribadi yang mulia. Malu bertemu dengan si ‘Dia’ yang dengan terpaksa ku putuskan demi ambisiku mencapai sukses. Walau pun kini suksesku bukan dengan jalan yang halal.

“Jangan melamun terus Anggi, ayo bersiap-siap. Sebentar lagi giliranmu.”
“Baiklah mam.” Jawabku singkat. Seperti biasa kami menuju kamar gelap itu. Dan seperti biasa pula ku nyalakan lampu setelah sampai di dalam kamar. Namun entah kebetulan atau apa, sosok laki-laki di depanku itu membuatku kaget. Sosok laki-laki yang tak sengaja kutabrak seminggu lalu ketika sedang berbelanja di sebuah Mall.
“Silahkan duduk.” Katanya lembut sembari menggeser duduknya mempersilahkanku. Aku yang di perlakukan seperti itu entah kenapa merasa malu. Apalagi melihat sosoknya yang tampan dengan setelan jas hitam yang elegan, sungguh tak pantas berada di sini dan duduk berdampingan denganku di atas ranjang ini.
“Bagaimana bisa kamu berada di sini?” Tanyaku menunduk malu. Merasa tak pantas di sampingnya.
“Itu tidak penting Anggi. Hei! Kenapa kamu menunduk terus? Wajahku kenapa? Padahal aku sudah berdandan serapi ini masih saja ya tidak kamu lihat. Lihat aku Anggi, aku tampan tidak? Hehehe…” Katanya terkekeh sembari mengangkat daguku menghadapnya.
Laki-laki ini, bagaimana bisa setenang ini? Tak taukah dia bahwa aku malu menatapnya? Malu karena kini dia tau pekerjaanku.
“Sudahlah Arthur, ini bukan tempatmu. Lebih baik kamu pergi.” Jawabku yang masih merasa tidak enak dan menghindari tatapannya.
“Anggi, apakah kamu marah? Sejujurnya aku sudah tau pekerjaanmu, namun aku tidak peduli, jadi ku mohon bersikaplah seperti biasa ya? Seperti ketika di Mall itu.”
“Apa? Darimana kamu tau? Apa jangan-jangan… kamu membuntutiku?” Selidikku, tidak percaya yang barusan dia katakan.
“Hahaha… kalo iya kenapa? Jarang-jarang kan ada laki-laki tampan yang membuntutimu”
“Ih… tetap saja narsis.” Cetusku spontan. Sepertinya aku sudah lupa kami sedang berada di mana.
“Hahaha… Tapi kenyataan kan?”
“Ckckck narsismu sudah kelewatan Arthur”
Begitulah, setelah itu Arthur rajin menemuiku di tempat kerja. Tidak sekali pun dia menyentuhku. Dia menghargaiku seperti layaknya perempuan yang patut dihargai. Arthur, laki-laki itu kini selalu mengisi hari-hariku. Dan perlahan-lahan namanya mulai terlukis indah di sudut hatiku yang terdalam.
__oOo__

“Anggi, hmmm… coba kamu lihat ini!” Ucap Arthur ketika aku baru sampai di dalam kamar.
Mataku tertuju pada sebuah kotak yang ada di tangannya, perlahan ia membukanya. Dan tampaklah kini sebuah cincin emas yang bagus sekali. Pasti Mahal. Pikirku.
“Bagus kan? Ini untuk pacarku. Aku ingin melamarnya Anggi. Doakan aku ya!” Katanya sembari tersenyum padaku. Mendengar itu tubuhku terasa kaku seketika, berbanding terbalik dengan sikapku sebelum melihat cincin itu. Hatiku seolah tersayat-sayat, sakit sekali. Mataku tiba-tiba terasa perih. Ingin sekali mengeluarkan air mata ini. Namun ku tahan, karena tidak mungkin aku menangis di tempat ini.
“Aku mencintainya Anggi, dia memang bukan wanita yang sempurna , tapi aku sangat mencintainya. Aku ingin membawanya ke jalan yang lebih baik dari sekarang. Menjadikan dia bidadari dalam hidupku.” Lanjut Arthur. Hatiku semakin sakit mendengarnya. Tidak tahukah dia kalau aku mencintanya?
“Anggi, kamu mau kan membantuku?”
Kupaksa mata ini menatap Arthur sembari menahan tangis yang ingin keluar.
“Membantu apa?”
“Mau kan kamu memberikan cincin ini untuknya?”
“Maksudmu? Memberikannya bagaimana? “
“Ya memberikan cincin ini padanya Anggi, calon istriku. Aku tahu kamu mengenalnya“ Sembari berkata demikian laki-laki itu tersenyum tulus. Seolah-olah tidak menyadari bagaimna perasaanku selama ini. Aku terdiam, tak satu pun kata yang keluar dari mulutku.
“Namanya Sari,” Cukup aku tidak ingin mendengarnya lagi. Mendengar nama asing yang tak kukenal. Mungkin aku memang mengenalnya namun aku tak peduli.
“Gadis itu sangat cantik” Arthur Kumohon bisakah kamu berhenti? Tak tahukah hatiku sakit mendengarnya?
“ Anggi Sari Anggraeni. Gadis desa yang cantik. Menurutmu apakah dia mau menikah denganku Anggi?”
“Apa?” Tatapanku serius dan dia hanya cengengesan saja. Aishh Bodoh! Arthur Bodoh! Kenapa dia harus mengerjaiku? Menyebalkan!
“Kau menyebalkan Arthur!” Sahutku sebal disela isak tangis yang ingin keluar, namun kali ini perasaan bahagia.
“Hahaha… jadi bagaimana sayang… apakah dia mau menikah denganku? Kuharap iya, karena aku tidak menerima penolakan dan tidak ada penolakan!”
“Ckckck kamu melamar atau mengancamku?”
“hahaha oke, ku anggap itu jawaban IYA.”
“Eh…aku belum bilang iya”
“Sudahalah… aku tahu kamu akan menerimaku sayang…” Bisiknya di telingaku kemudian memelukku erat. Erat sekali seolah-olah ingin membagi kehangatannya padaku.

End


Tinggalkan Balasan