ERABUKU SEBAGAI IDEOLOGI PASAR

Opini

ERABUKU SEBAGAI IDEOLOGI PASAR

Karya: Marlinda Ramdhani

Di zaman persaingan intelektual ini, buku menjadi senjata primer untuk memenuhi hasrat akan ilmu pengetahuan. Jika Jostein Gaarder mengatakan “manusia dikutuk untuk terus berpikir sepanjang hidupnya,” maka untuk menyelaraskan proses berpikir dan hidup, manusia memerlukan bahan bacaan sebagai racikan dalam berpikirnya.

Tapi pernahkah kita berpikir, buku sebagai alat latihan dalam berpikir kritis, kini mulai bergeser fungsi? Hal tersebut diperkuat dengan fenomena sekarang ini, dimana buku bisa dikatakan sebagai ideologi pasar. Buku sebagai ideologi pasar adalah pandangan sekelompok manusia yang berpikir menghasilkan atau membaca buku yang sesuai dengan tren dalam masyarakat. Kenapa ideologi pasar? Menurut Dr. Salman Faris, seorang budayawan NTB, “ Industri mengarahkan untuk tidak penting anda membaca dan berubah atau tidak, yang penting anda membeli.”

Jika frame berpikir kita sudah mengarah pada ideologi pasar, maka bersiap-siap saja menjadikan buku sebagai bahan pajangan saja. Mengoleksi banyak buku dianggap sebagai cerminan manusia “penggila” ilmu pengetahuan. Padahal kenyataannya, buku hanya dijadikan kambing hitam akan hasrat manusia yang tidak pernah puas akan sesuatu. Jika ketidakpuasan itu dilampiaskan dengan cerdas membaca buku, maka tidak akan pernah terjadi modifikasi nilai-nilai dalam membaca.

Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mengembalikan hakikat membaca sesungguhnya. Misalnya dengan mengembalikan ruh membaca itu sendiri dan memilih bahan bacaan yang berkualitas.

Ruh Membaca
Salah satu cara untuk mnghindari tren pasar yang terus menguasai buku-buku yang beredar di masyarakat sekarang, dengan mengembalikan ruh membaca itu sendiri. Jangan hanya membaca namun juga kita harus berpikir. Maka dari itu dalam proses berpikir kita tidak akan dengan lugas “menelan” semua buku, tapi mampu memilih bahan bacaan yang berkualitas.

Jika ada yang mengatakan”buku adalah jendela ilmu pengetahuan,” tapi bisakah jendela imu itu terbuka jika masyarakat hanya bisa membaca, tanpa mengerti apa yang ia baca? Jika pemikiran membaca seperti itu terus diterapkan, siap-siap saja menjadikan membaca sebagai rutinitas pembuang waktu.

Memilih Buku yang Berkualitas
Dengan memilih bahan bacaan yang berkualitas, maka konsep “membaca untuk menemukan pesan yang tersembunyi,” akan mudah diterapkan. Karena bahan bacaan yang digunakan sebagai “alat berpikir kritis” tidak akan sembarangan.

Banyak orang yang menyepelekan pentingnya memilah bahan bacaan. Sukses berpikir kritis dengan bacaan bukan membaca buku sebanyak-banyaknya, tapi mampu memilih buku-buku mana saja yang layak digunakan sebagai bahan refrensi.

Di era ideologi pasar ini mulai banyak muncul penerbit buku, yang berimbas pada mudahnya penulis pemula untuk menerbitkan tulisannya. Tapi jika kita kaji lebih dalam, mudahnya menerbitkan tulisan dapat mengurangi kualitas bacaan. Kurangnya kualitas bacaan ini terjadi karena karya-karya yang diterbitkan oleh penerbit tersebut sebagian besar tidak memenuhi standar sebagai bahan bacaan yang berkualitas. Melainkan sekedar memenuhi kebutuhan pasar.

Jika dalam sastra, fnomena seperti ini akan menimbulkan dua pilihan. Sastra untuk masyarakat atau masyarakat untuk sastra? Dan dalam hal ini bisa kita perluas, buku bacaan untuk masyarakat atau masyarakat untuk buku bacaan? Tentu anda yang haus akan bacaan yang berkualitas tahu apa kebutuhan kita sebenarnya.


Tinggalkan Balasan