Gara-Gara Foto
Ya, aku mencintainya,. Sangat.
Tapi bagaimana aku bisa diam saja dan menerima dengan lapang dada ketika kudapati foto-foto wanita cantik dengan busana minim berseliweran di flashdisk pribadinya?
Hati wanita mana yang tak seketika itu pula remuk rendam mengetahui bahwa bukan dirinyalah satu-satunya sosok yang menghiasi khayal dan fantasi pria yang dicintainya
Tanganku masih gemetar, dadaku terasa panas, detak jantung meningkat tiga kali lebih cepat. Aku berusaha tenang, berkali-kali kutarik nafas panjang berharap udara mampu menyejukkan hatiku yang terbakar–tapi percuma.
Berjam-jam kupandangi foto-foto yang terpampang di monitor. Cantik, lucu, dan menantang. Pria mana yang nalurinya tak tergoda. Pria mana yang tak berhasrat disuguhi pemandangan mempesona seperti itu?
Dan, nyali siapa yang tak ciut djika dibandingkan dengan kemolekan tubuh gadis itu. Aku tahu diri, aku tak ada apa-apanya, dan inilah yang kutakutkan. Hal inilah yang seringkali membayang-bayangiku. Hal yang kurasa akan terjadi nanti ketika aku benar-benar bersamanya.
Aku menelan ludah dengan susah payah, ternyata kerongkonganku kering kerontang. Aku tertawa sendiri, menertawakan kebodohanku sendiri, menertawakan betapa naifnya diriku yang sempat benar-benar percaya bahwa hanya tubuhku yang ada di kepalanya. Hanya diriku yang benar-benar diinginkannya.
Kulirik jam yang tergantung di atas pintu kamarku, 22. 30. Cukup larut, seharusnya aku sudah tidur jika tak ingin terlambat bekerja besok. Tapi sungguh, perih yang menjalar lambat di rongga dadaku membuatku sama sekali tak berminat untuk tidur, mataku terbuka lebar. huff… bahkan mungkin malam ini akan menjadi malam yang panjang bagiku.
Aku kembali menatapi foto itu. Bodoh, harusnya aku segera mematikan laptop ini. Tapi entahlah, aku menikmati tiap detik irisan luka yang menyayat hatiku. Satu hal yang kupikirkan, mungkin hal ini bisa membuka mataku untuk mengembalikan semua asa pada kenyataan. Mungkin foto ini adalah jawaban dari semua keraguan selama ini.
“Aku ingin menikah denganmu, hanya kamu.” Kata-kata manisnya sore tadi masih terngiang jelas di telingaku. Aku juga masih ingat betapa hangat bibirnya ketika menyentuh keningku, semua masih terasa nyata dan begitu indah. Aku melayang, terbang, nyaris menyentuh angkasa. Wanita mana yang tak bahagia diperlakukan demikian oleh pria yang memang dicintainya. Tapi kembali lagi, aku cukup tahu diri. Siapa aku, siapa dia.
Aku hanya wanita biasa, wanita yang tak memiliki wajah secantik gadis di foto itu. Aku juga sadar, aku tak memiliki tubuh seindah dia. Aku hanya wanita biasa yang mencintainya. Itu saja.
Aku meraih ponselku, menekan sederet angka yang paling kuingat. Bahkan nomor ponselku sendiri aku abaikan. Ya, sekali lagi jawabannya hanya satu, aku mencintainya. Dan aku ingat segala tentangnya.
“Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.” Suara seorang wanita memupuskan harapanku untuk berbicara padanya. Entahlah, aku sendiri sebenarnya tidak tahu mau bicara apa. Harus marahkah? Mengamuk? Histeris? Menangis? Entahlah, yang jelas malam ini terasa sangat menyesakkan dan aku hanya ingin mendengar suaranya.
Akhirnya kuputuskan untuk kembali memandangi foto itu. Setelah yakin benar-benar bosan memandangi wajah gadis imut itu, aku beralih pada folder lain. Kali ini foto-foto wanita yang biasa-biasa saja, tak cantik, tak menarik, tak imut, tak menantang, intinya sama sekali tak pantas disandingkan dengan foto gadis tadi.
Dan itu belum cukup, yang paling menyakitkan adalah, wanita biasa itu, wanita yang tak cantik itu, wanita ynag tak imut itu, wanita yang tak menantang itu, wanita yang tak sebanding dengan gadis itu, adalah aku. Aku tertawa lagi. Sebuah pukulan keras terasa menghantam dadaku, ya mungkin inilah jawabannya. Sebuah foto yang akan menyadarkanku dan mengubah semuanya.
Aku mengklik foto-foto “buruk rupa” itu kemudian memilih opsi delete. Memasukkan semua foto-foto tak “menarik” itu ke tempat sampah. Ya bukankah itu tempat yang seharusnya? Bukankah dia sudah memiliki foto-foto gadis cantik yang memenuhi laptop, ponsel, bahkan otaknya? Lalu buat apa ada aku lagi?
Mungkin malam ini adalah malam paling menyakitkan untukku, tapi setidaknya aku masih bersyukur. Rasa sakit yang kuterima mungkin akan sembuh dan hilang seiring waktu. Mungkin tanpa foto ini aku tak akan pernah tahu, atau setidaknya ini akan menggambarkan apa yang mungkin terjadi jika aku “benar-benar” bersamanya. Dan kuyakin itu akan sejuta kali lebih menyakitkan.
Jadi malam ini, masih di depan foto gadis cantik itu, aku berjuang menasehati diri sendiri. Semuannya sudah selesai, semua akan kusudahi sampai di sini. Toh untuk apa mencintai pria yang ternyata masih menyimpan tubuh lain di otaknya? Mungkin aku kolot dan terlalu berlebihan, tapi sekali lagi kutanya, wanita mana yang rela pria yang dicintai menikmati tubuh wanita lain walaupun itu hanya sebuah foto. Hmmm, okelah, mungkin ada wanita yang bisa menerima hal itu kemudian memaafkan kekasihnya hanya dengan rayuan gombal dan setangkai mawar. Ya, mungkin ada, dan yang pasti itu bukan aku.
Aku menutup laptop dan mencabut flashdisk berwarna abu tua itu, flashdisk yang kurampas darinya tadi sore. Flashdisk yang menjawab semua keraguanku selama ini. Kupandangi sekali lagi benda mungil itu sebelum memasukkannya ke dalam tas. Benda itu akan kukembalikan kepada pemiliknya besok pagi beserta dengan akhir kisah ini.
Aku mencintaimu, lebih dari apapun
Tapi rasa sakit ini kian menumpuk dan semakin tak terbendung
Semua ketakutan perlahan muncul dan menyentak logikaku
Kau takkan temui indah itu pada diriku
Bawa, bawalah khayalmu pada gadis di foto itu
Biarkan aku di sini, sendiri… seperti malam ini
27 November 2013
Pukul 00.16