Ijazah
Ijazah
Karya Emha Ainun Najib
SEPEDANYA langsung dibaringkan karena agaknya tak ada tangkai besi penyangganya. Caranya membaringkan juga menarik. Tidak keras tapi kelihatan gerak itu apatis sekali, sehingga sepeda setengah terempas. Ia kemudian berdiri loyo. Di tangannya ia menyandang setumpuk kertas, koran, dan majalah-majalah kumal. Kemudian berjalan ke arah pintu. Loyo, lamban, dan putus asa.
“Aku masuk, Bang!” sambutku.
Ia melangkah. Melewati pintu. Dan sungguh anak ini tetap saja kurang tahu diri. Kamarku ini bersih dan alas kaki mesti dicopot di depan pintu. Tapi dia ini tenang saja menginjak lantai ini dengan sepatu kumal yang tak karuan bentuknya oleh jejalan sol-sol. Tetapi seperti beberapa kali pernah terjadi setiap ia datang kemari, aku memaafkannya. Ia mengempaskan tubuhnya di kursi. Tanpa meletakkan tumpukan tumpukan kertas di sebelah tangannya itu, segera bola matanya beredar ke segenap penjuru ruang kamarku. Aku menyaksikannya saja dengan sabar. Pakaian dan caranya memakai sungguh tak mengenal tata cara dan keserasian. Kaos merah menyala nongol di bawah lehernya. Di atasnya berlapis dua baju. Yang dalam kain dril tebal dan yang luar nilon tapi juga tebal. Warna baju yang dipilihnya juga menunjukkan cita rasa primitifnya. Kemudian sabuk melingkar di pangkal celana kombornya. Baju-baju dan kaos ia masukkan ke celana, tapi bagian yang sebelah kanan kancing terjuntai keluar. Lebih dari sekadar tidak rapi. Dan kaos kakinya yang berwarna kuning menyala itu seharusnya ia lingkari dengan karet gelang agar lengket di kakinya. Kemudian tali sepatunya itu semestinya ia fungsikan. Dan rambutnya yang lurus dan jarang, basah kuyup oleh minyak rambut, atau besar kemungkinan minyak klentik, sementara banjir itu melebar juga ke keningnya, telinga, dan kerah kaos bajunya. Benar-benar pemandangan yang membuat aku takjub dan pilu. Ia bukan berpakai seenaknya. Ini sialnya. Ia justru nampak berusaha necis.
“Itu gambar siapa?” tiba-tiba ia bertanya sambil menunjuk sebuah gambar close up yang cukup besar di dinding.
“O, itu pembantu rumah tanggaku yang amat setia.”
“Kukira bapakmu tadi.”
Gambar itu amat buruk. Bukan gambarnya, tapi orang yang digambar. Di samping aku ingin mengabadikan kesetiaan hidup orang itu, salah satu kesenanganku memang menggambar wajah yang amat buruk. Wajah kawanku Bambang ini agak kurang buruk, kecuali penampilannya, jadi belum ada ideku untuk mengabadikannya.
“Vignetmu ada di majalah Cakrawala lho!”
“O ya?”
“Ya. Aku senang dengan pola seni rupamu.”
“Yang apa judulnya?”
“Pasar IV.”
“Pasar IV? Oo…” Vignetku yang sudah hampir setahun, yang rupanya diberikan Bambang ini, lalu dimuat oleh Cakrawala. Ia melaporkannya seperti barang baru. Aku makin sedih.
Bambang mengembara lagi bola matanya. Ia singgah di rak buku, di jam dinding, vas bunga, ranjang, sapu di pojok, kemudian kelender, dan akhirnya wajahnya menengadah ke langit-langit. Lama sekali tak beranjak dari sana. Tumpukan kertas-kertas kumal itu dipangkunya sambil dipegangi oleh tangan kirinya, sedang kanannya menopang dagunya sambil satu jarinya menempel di bibirnya.
“Kertas-kertas apa itu, Mbang?” sengaja aku menggugurkan lamunannya.
“Ooo,” ia tergagap. “Ini naskah tulisan-tulisan. Ini koran-koran dan majalah yang ada tulisanku.”
Ia membolak-balik tumpukan itu. Nampak ada juga. Piagam. Ijazah dan surat penghargaan. Perasaanku getir.
“Tulisan apa, Mbang?”
Ia menyodorkan kertas-kertas. “ASEAN: Menuju Integrasi Kultural”, “Di cari: Khrisnamurti Indonesia!”, “Bagaimana Melibatkan Seluruh Rakyat Indonesia ke Dalam Kesadaran Berkesenian”….
Aku tambah getir dan sedih. Urus dulu itu kaos kaki dan sepatu, bagaimana mengurusnya secara benar dan baik, baru bermimpi tentang kebudayaan ASEAN. Bereskan dulu hal-hal teknis yang keci, kecil …. Tapi sejak dulu tak pernah mulutku sampai mengucapkan saran begitu kepadanya. Aku hanya sedih dan termangu-mangu.
Namanya Bambang Suprihatin. Aku tidak tahu apakah orangtuanya bermaksud melatih putranya ini agar tahan terhadap segala keprihatinan. Dan kini apakah mereka mengetahui betapa anaknya lebih dari sekadar berprihatin? Dulu ia penulis yang aktif. Puisi-puisi karyanya termasuk terbaik di antara kawan-kawan sebaya. Tapi beberapa tahun kemudian tak jelas apa yang berkembang dalam hidupnya, kini ia semakin sayup dari kenyataan. Ia misalnya menyodorkan ide agar para penyair berdiskusi dengan memilih tempat yang puitis, umpamanya di Tanah Lot, Bali, sedangkan makan minum sehari-hari para penyair itu rata-rata terbengkalai. Ke mana-mana tiap hari ia melontarkan keinginannya untuk buat koran sendiri, khusus untuk memberi sarana pemasaran bagi karya-karya seni, dengan nada seolah-olah ia akan membeli kacang goreng. Selebihnya tidak mustahil kepalanya penuh terisi oleh ide-ide besar, keinginan, keinginan melangit, tetapi yang mampu dilihatnya dan digarapnya sebagai kenyataan makin lama makin jauh dari mimpinya. Bambang luput memperhatikan agar kaosnya tidak menang balapan melawan bajunya, tetapi ia bermimpi menggarap sebuah benua sekaligus.
“Ke mana-mana tulisan-tulisanmu ini kaukirim, Mbang?”
“Macam-macam. Tapi sekarang sering dikembalikan, kecuali beberapa puisiku saja terkadang dimuat.”
Masuk akal. Puisi-puisi biasanya tak banyak soal. Baik atau buruk. Dan lagi sukar dibedakan mana puisi buatan orang gila dan mana yang ditulis orang waras. Kecuali puisi-puisi politik, dakwah, atau propaganda, memang koran punya pertimbangan sebelum memuatnya. Tetapi kalau harus memuat tulisan-tulisan Bambang. Artikel umpamanya, koran pasti juga ketakutan membaca pikiran-pikiran Bambang yang bagaikan melukis dengan kanvas langit.
“Kenapa nggak banyak-banyak kirim puisi saja?”
“Tidak tentu ada honornya. Orang sekarang lebih menghargai kerja fisik daripada rohani. Susah…”
“Kamu mesti sabar, Mbang.”
Bambang memandang langit-langit. Wajahnya terenyuh. Sorot matanya seperti sorot mata bekas tahanan Pulau Buru. Tetapi sebenarnya aku tidak suka merasa kasihan pada orang lain seperti juga aku kurang suka dikasihani. Jika kepada Bambang ini aku setir, maka bukan karena penderitaan yang menimpanya, melainkan karena ketidakmampuannya mengatasi hal-hal yang merajahnya. Bapaknya sudah lama meninggal. Dan sejak ibunya sakit-sakitan dan kurang bisa sepenuhnya cari makan, Bambang kebingungan. Ia hanya penulis puisi dan tak satu keterampilan pekerjaan pun pernah ia latih atau ia libati. Ia mulai menempuh bentuk-bentuk tulisan lain, agar bisa mengharapkan pemasukan uang. Namun, ia belum sepenuhnya siap dan lingkungan ekonomi perkoranan bukan tanah yang cukup subur, apalagi buat mengatasi keterpepetan keuangan. Bambang terseret-terseret oleh kebutuhan dan memelihara keseimbangan proses berpikir. Lama-lama puisinya macet, kemudian artikelnya berisi pikiran-pikiran yang bermimpi terlalu tinggi.
Keadaan ini langsung terjadi juga dalam kesehariannya. Ia berkhayal bisa mendesain awan-awan di angkasa dan lupa reslitig celananya terbuka. Ia mulai kehilangan kepercayaan diri dan kondisi ketakyakinan inilah dasar segala wujud tindakannya. Seorang kawannya bermaksud menolongnya: menulis dengan memakai nama Bambang Suprihatin, agar ia memperoleh kepercayaan diri kembali, sekaligus masyarakat memperhatikan namanya lagi. Tetapi sehabis Bambang berbangga oleh tulisannya itu, ia kebingungan bagaimana mempertahankannya. Bambang akhirnya menempuh sebuah cara yang militeris bersama tulisan yang ia kirimkan ke redaksi koran, ia sertakan fotokopi ijazah-ijazah, SMP, SMA, ijazah mengetik, piagam penghargaan kursus jurnalistik dan lain sebagainya. Bahkan ke mana pun ia pergi, benda-benda itu selalu besertanya. Ia sibuk dan ketat menggenggam hasil masa silamnya. Ia begitu takut orang lain tak mempercayainya. Oleh salah seorang familinya, ia ditolong diberi pekerjaan sebagai korektor percetakan. Tentu saja ini lucu. Bambang hampir selalu luput memperhatikan soal-soal praktis yang kecil-kecil, tetapi ia dituntut untuk punya ketelitian. Ia bahkan selalu kehilangan kesadaran letak. Ia tidak saja sulit meletakkan pemikiran-pemikirannya di tengah pemikiran yang lain serta kenyataan, bahkan dalam pergaulan sehari-hari ia seperti berada di luar susunan dan jaringan.
Bambang adalah seorang makhluk dari alam lain, tetapi berada terseok-seok di alam ini, yang ternyata kejam. Ya, kejam. Dalam keadaannya itu lingkungan pergaulannya justru hanya mampu membuatnya semakin parah. Kawan-kawan hanya mampu mendukung kemiringannya, menertawakannya, dan mempermainkannya atau setidaknya mengejeknya. Bambang makin jauh terlempar ke langit malam yang gelap dan lengang. Dan ia sendiri di sana. Yang aku sedihkan hanyalah ketidakmampuanku untuk lebih dari diam atau bengong saja menghadapinya.
“Aku mau kencing…?” katanya.
“Di sana,” kataku. Aku berdiri dan mengantarkannya. Bambang berjalan dengan sepatunya itu yang ribut menimpa-nimpa lantai. Tumpukan wasiatnya itu dikepitnya di ketiaknya.
“Aku tadi barusan ke rumah Hardi,” katanya sambil berjalan. “Ternyata nggak ada. Ia ditangkap polisi dan ditahan di Jakarta. Aku hanya bertemu istrinya. Aku beri ia sebuah puisi.”
Aku tidak menyahut. Tiga bulan sudah hardi ditahan karena ikut-ikutan memelopori demonstrasi mahasiswa, tapi baru hari ini Bambang mengetahuinya. Aku tersenyum kecut kepada diriku sendiri. Aku kembali.
Tapi lama benar ia kencing. Aku hampir selesai membaca sebuah tulisan cukup panjang di sebuah majalah. Aku berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. Ternyata tak dikancing dan dari jauh ku lihat Bambang. Berdiri. Keningnya bersandar di tepi daun pintu, dialasi oleh satu tangan. Tangan satunya, sambil mengepit tumpukan wasiatnya, sedang memegang alat kencingnya. Dan ternyata alat itu sudah selesai mancur, Bambang rupanya sedang melamun.
Aku mendekatinya. Menyapanya perlahan-lahan.
Ia kaget dan cepat-cepat mengurus barangnya hingga tumpukan wasiatnya tak bisa dihindarkan lagi, terjatuh. Tergopoh-gopoh aku membantu mengambilnya dari lantai berair di kamar mandi. Tidak terlalu kotor, tapi basah. Hari cukup mendung, maka ku nyalakan lampu saja. Kupanggang kertas, majalah, dan koran-koran itu di atasnya.
Ketika Bambang duduk kembali, sekilas aku menatapnya. Ia hampir tak punya keberanian lagi untuk bertatapan dengan sorot mata orang lain. Tapi aku sendiri sebenarnya takut bertatapan dengannya. Maksudku, kalau aku bertatapan dengan wajahnya, aku lantas merasa takut kepada diriku sendiri.
“Wah, saya susah…” Bambang nyeletuk.
“Bagaimana caranya mencari anak putri.”
Aduh. Ini memang jelas merupakan tambahan soal yang besar baginya. Sebab pertama-tama yang harus dipelajari oleh laki-laki macam Bambang, kalau mau mendekati cewek, ialah bagaimana belajar cara memakai kaos kaki, setelah itu pakai baju yang agak pantas. Lantas keterampilan sikap dan kata-kata. Beberapa tahun yang lewat Bambang kabarnya pernah jatuh cinta pada Nining, kawan penulis juga. Ia janji sama perempuan ini akan datang jam lima sore. Jam tiga Bambang sudah start. Di tengah jalan ia berhenti. Masuk toko, beli semir sepatu dan minyak rambut. Kemudian di bawah pohon beringin Jalan Sultan Agung, ia berhenti untuk menyemir sepatunya, dan meminyaki rambutnya. Untuk menunggu jam lima, ia memilih tempat yang tenang, ialah kuburan. Berdebar-debar akhirnya ia mengetuk rumah Nining. Keluar pembantunya. “Mbak Nining mengantari ibunya ke Malioboro,” katanya. Maka Bambang langsung patah hati. Baginya sukar sekali meyakini bahwa Nining benar-benar belanja menemani ibunya. Di otaknya ada kenyataan, Nining sengaja menghindariku dengan alasan itu. kemudian berbulan-bulan ia menikmati kepatahannya ini.
“Dari dulu aku selalu ingin mendekati anak putri,” katanya lagi. “Tapi tidak tahu bagaimana caranya. Tapi paman saya di desa Gombong sana sudah menolong. Menghubungkan aku dengan seorang putri. Aku juga sudah kirim tulisan-tulisanku di koran dan majalah, juga piagam dan ijazah… sekarang saya sedang menunggu suratnya.
Aku membolak-balik kertas di atas lampu. Tapi lama sekali baru bisa kering. Dan yang sudah kering jadinya sangat kusut, lusuh dan tintanya berlepotan.
=Selesai=