Indonesia Belum Siap Hadapi MEA 2015 ( Masyarakat Ekonomi Asean)
Dilihat dari bebagai sector sebenarnya Indonesia belum siap 100% untuk menyambut kedatangan masyarakat ekonomi Asean (MEA) ini, sebab untuk menyambut datangnya MEA pemerintah seharusnya mempersiapkan sumberdaya masyarakatnya terlebih dahulu.
Dari sektor tenaga kerja misalnya menjelang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, sektor ketenagakerjaan patut menjadi sorotan yang serius.
Hal ini karena dari total angkatan kerja di Indonesia, hampir 50% hanya lulusan sekolah dasar (SD) atau kurang dari itu.
Dengan mengemas sumber daya manusia yang jumlahnya sedikit, tetapi memiliki keunggulan dan produktivitas yang tinggi.
Indonesia memiliki sumber daya manusia unggul dalam sektor industri kreatif, termasuk para seniman dan ahli di bidang kuliner tradisional.
Mereka ini kalau dilengkapi dengan para pemandu wisata profesional, maka akan dapat dikemas dalam sektor pariwisata menurut survei sektor pariwisata indonesia pada tahun lalu mampu menjaring wisatawan lebih dari 8,6 juta orang dengan pendapatan devisa mencapai US$ 9 juta.
Selain itu, sektor ini juga mampu menyerap tenaga kerja lebih dari 10 juta orang dengan total upah mencapai Rp 10 triliun.
Dalam lima tahun ke depan, bisa dipastikan jumlah kunjungan dapat meningkat mencapai 15 juta wisatawan jika ditangani secara terintergrasi,”
Selain sektor pariwisata, sektor perikanan, pertanian dan kehutanan juga memiliki tenaga kerja yang belum dikemas dalam suatu industri modern dan kompetitif.
Padahal Indonesia memiliki banyak nelayan, petani dan tukang kayu. Sumber daya manusia terampil ini perlu ditingkatkan ke tataran industri kecil dan menengah agar dapat memberikan kehidupan layak kepada masyarakat, Sektor lain yang juga belum dikemas secara baik yaitu teknologi dan telekomunikasi.
Suryo menilai banyak ahli dari sektor tersebut serta para tamatan SMK di berbagai bidang yang belum dikemas dalam industri tertentu.
Akibatnya mereka harus berjuang sendiri-sendiri dan sebagian dimanfaatkan perusahaan internasional sebagai tenaga kerja musiman.
Selain itu, dilihat dalam dunia fasion Indonesia masih melakukan pembenahan, tantangan yang perlu diperhitungkan adalah untuk menjawab kekhawatiran para pelaku industri mode dalam negeri dan luar negeri tentang implikasi MEA.
Hal-hal apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan saat menghadapi MEA.
Dalam hal kreativitas, Indonesia memiliki kelebihan. Bila dibandingkan dengan negara lain, contohnya Thailand, yang juga menghargai dan menaruh budaya di titik sakral, Indonesia punya cara pandang dan implementasi yang berbeda.
“Di Thailand, meski mereka juga sangat menghargai budaya, namun, mereka justru membuatnya sakral. Desain busananya cenderung modern, kontemporer, dan avant-garde.
Sementara Indonesia justru mengimplementasikan warisan budaya dipadu dengan kontemporer. Ini menjadi semacam added value dan menjadi special appeal yang menjadikan desain busana Indonesia unik dan dicari.
Misalnya tenun, pemiliknya jadi bisa bercerita tentang arti dan proses pembuatannya. Ini yang sedang disukai dan akan terus disukai, yaitu ada cerita di balik sehelai kain atau busana.
Jadi, dari kreativitas dan kehebatan, Indonesia tidak perlu ‘minder’.
Lebih dari tu pentingnya peran media dalam sisi menyebarkan informasi yang bisa turut membentuk opini publik sekaligus menggerakkan laju industri mode Tanah Air.
Diharapkan, media tak sekadar mengulas dari segi penampilan desain, namun juga dari sisi bisnis. Dengan begitu akan menciptakan kesadaran praktisi mode untuk memberdayakan bisnis modenya.
Untuk itu kedua pihak ini kerap menggelar acara-acara bersama media dan menggelar konferensi pers untuk sekaligus mendorong pembentukan sudut pandang yang sejalan dengan tujuan bersama, serta menciptakan atmosfer baru yang dapat mengarahkan industri mode Indonesia benar-benar siap menghadapi pasar bebas.
Sebagai contoh kecil saja persaingan yang sedang dilakukan dalam sector fashion di tahun 2015 ini adalah di industri sepatu, Negara tetangga kita Malaysia sudah mulai mengambil ancang-ancang membuat sepatu yang bermerk fesyen, Kalau dari sisi yang bermerek seperti Nike di ASEAN cuma ada dua pabriknya yaitu Indonesia dan Vietnam.
Tapi kalau industri sepatu fesyen itu Malaysia karena mereka dikenal seperti Charles and Keith. bahkan di Malaysia industri alas kaki semacam ini di bawah koordinasi dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Hal ini menunjukan bahwa negara tersebut berniat menjadikan sepatu fesyen sebagai bagian dari promosi pariwisata. Industri sepatu fesyen di Malaysia bahkan banyak pakai tenaga kerja wanita.
Kalau feshion selalu berubah model, bahan dan warna jadi tidak bisa skala besar-besaran industrinya. Meskipun industri sepatu fashion di Indonesia tidak kalah dengan Malaysia, namun perlu perhatian lebih dari pemerintah agar industri sepatu ini bisa kuat didalam Negeri.
Dari hal-hal dan upaya yang dijalankan tadi bisa diambil kesimpulan, tahun 2014 adalah tahun persiapan untuk Indonesia dalam mencapai tujuan-tujuan yang disebutkan di awal.
Baik IFW maupun JFW sudah memiliki visi yang serupa dalam hal ini, keduanya memiliki rencana dan program-programnya untuk membantu industri mode Indonesia mencapai tujuan-tujuan yang serupa.
Baca juga: Tolak Kenaikan Harga Bbm Dan Masyarakat Ekonomi Asean