Janji Aqila

Cerpen, Fiksi

Janji Aqila

“Pokoknya kakak gak mau sekolah!…” aku tetap keras kepala dengan pendirianku, tapi sepertinya umi tidak bergeming. Matanya yang teduh hanya bisa melihat ke arahku sabar, sambil mengancingkan kemeja Taki. Entahlah pagi ini aku nakal sekali, gara-gara semalaman aku tidak bisa tidur karena udara panas, aku jadi uring-uringan. Dampaknya aku menolah masuk sekolah. Tapi apalah dayaku, ketika tangan Abi yang kekar tiba-tiba sudah mengangkat badanku yang mungil ke atas sepeda motornya, lengkap dengan Umi yang membonceng di belakngku dengan dua tas sekolah. Ditambah Taki yang duduk yang duduk di depan sambil memegangi topi kesayangannya. Kulihat dia senyum-senyum mengejek mukaku yang kusut sejak tadi, “uh, menyebalkan! Terlihat Umi kepayahan karena perutnya yang sudah mulai besar.
Umi seharusnya istirahat tetapi Umi bersikeras tetap ingin megajar TK, karena kata Umi, Umi masih sanggup mengajar. Begitulah yang aku dengar dari percakapan Umi dan Abi semalam, ups! Aku tidak nguping loh, Cuma kedengaran aja. Oh ya aku mau punya adik lagi, mungkin sebentar lagi si adik kecil akan hadir, tapi aku tidak peduli, aku hanya mengira pasti nanti si adik akan ikut-ikutan Taki yang sering membuatku sebal, hem.. pasti menjengkelkan sekali. Tak lama sepeda motor Abi melaju di jalan raya yang masih sepi, menuju ke sekolahku, TK ABA, dan aku masih belum bisa tersenyum.
Hari ini di sekolah, aku meneruskan acara ngambeku. Tidak mau membaca Iqra’, tidak ikut bernyanyi ketika Bu Lilik memberi aba-aba Watermelon. Hm.. padahal aku suka sekali menyanyikan lagu itu dan menirukan gaya-gayanya pokoknya demi ngambekku diakui aku bertahan. Puncaknya di saat makan siang, dengan sengaja aku merebut botol minum Taki, tak ayal Taki ngamuk dan segera berlari mencari Umi. Kuharap Umi akan memarahiku tapi ternyata tidak! Ya Alah… kenapa ya Umiku tidak pernah marah? Padahal aku ingin sekali melihat Umi marah dan mengomeliku. Umi hanya menasehatiku lembut, “Kak Qila, Umi marah kalau gak mau nurut, ayo minta maaf sama adek”. Dan akhirnya aku minta maaf sama Taki dengan ogah-ogahan.
Hufh… kesimpulannya satu, Umiku adalah ibu yang tidak pernah marah dan memarahi anaknya, senakal apapun anaknya.
Otomatis hari ini aku hanya bermain-main saja, Bu Lilik sudah angkat tangan dengan sikap keras kepalaku yang tidak mau nurut, akhirnya aku disuruh merangkai huruf-huruf Hijaiyah di buku bergambar TK. Sembari merangkai huruf, aku melirik ke arah Umi yang sedang mengajar anak-anak play group. Aku jadi iba dengan Umi beliau sepertinya lelah sekali, mengajak Taki dan teman-temannya bernyanyi sambil sekali-kali mengelus perut buncitnya. Rasanya aku mau minta maaf sama Umi atas kebandelanku hari ini, tapi kan gengsi sekali, kan aku masih ngambek. Pokoknya ngambekku selesai kalau sudah pulang ke rumah dan membayar hutang tidurku yang tertunda. Hmm.. mataku sudah mulai berat. huaah.. aku menguap, rasanya tidak kuat lagi menahan kantuk.
“Aqila! Sini kamu!…” aku tiba-tiba tersentak oleh suara Umi. Benarkah itu suara Umi? Kok seram sekali!
“Aqilaaaa…” kali ini lebih kencang. Buru-buru aku menuju kamar Umi, di sana kulihat pakaian berhamburan keluar lemari. Tiba-tiba Umi menarik kasar tanganku.
“Apa-apaan ini Qila? Kamu nakal sekali sih! Kenapa berantakin baju-baju Umi? Mau dipukul ya sama Umi?”. Kulihat Umi marah sekali, matanya melotot. Oh, aku takut sekali, ini bukan Umi.
“Bu.. Bukan kakak yang buat Umi”. Suaraku serak, aku yakin aku menangis.
“Alah… pasti kamu bohong karena takut dimarahin kan?”
Baru saja tangan Umi melayang hendak memukulku, tiba-tiba…
“Aduh.. perutku sakit, tolong-tolong…” Umi tiba-tiba melepas cengkramannya yang menyakitiku, Umi jatuh di ranjang sambil memegangi perutnya, aku yang awalnya sudah takut semakin menjadi ngeri demi melihat keadaan Umi yang kesakitan. Aku tidak mengerti apa yang harus aku lakukan? Tiba-tiba orang berdatangan, mereka membawa Umi pergi. Aku mencium bau anyir darah, gamis Umi sudah basah dengan darah. Aku takut dan tidak mengerti, apa Umi mau melahirkan? Aku hanya menangis, sedetik kemudian aku sadar, sedari tadi Umi memanggil namaku.
”Kak.. kak Qila tolong Umi, perut Umi sakit, tolong Umi kak!” aku berlari menyibak gerombolan orang yang menandu Umiku. Tanpa kusadari, kakiku beranjak, aku mencari sosok Umi, aku lupa dengan kegarangannya sedetik yang lalu, aku ingin meraih tangannya yang melambai-lambai memanggilku, aku ingin meraihnya, tapi terlalu jauh, hingga kemudian aku terjatuh, aku tertinggal jauh dari orang-orang yang membawa pergi Umiku.
“Umi… jangan bawa Umiku!… Umi.. Umi jangan pergi!” aku menangis dan menjerit sejadi-jadinya.
“Kaaak.. kak Qila… hei bangun! Kenapa jerit-jerit gitu?” tiba-tiba aku merasa tepukan lembut di pipiku, masih dengan setengah sadar, aku terlonjak, ternyata aku mimpi, oh… mimpi yang menyeramkan sekali! Di hadapanku Bu Lilik bingung melihatku bersimbah keringat di hari yang panas ini.
“Mana Umi?” spontan aku bertannya, khawatir kalau benar-benar sesuatu yang buruk menimpa Umiku, “Ada tuh di kelas PG, kak Qila mimpi ya? Udah selesai belum menulisnya?” Bu Lilik menjawab lembut. Aku hanya menggeleng, tanpa piker panjang, aku menuju kelas PG yang bersebrngan dengan kelasku, kubuka pintunya. Lega rasanya hatiku melihat sosok yang mulia itu masih di sana. Ketika Umi melihatku di pintu, ia tersenyum, wah manis sekali senyum Umi, tidak seperti di dalam mimpi tadi, menakutkan! Tanpa aba-aba aku menghambur ke pelukannya dan menangis sejadi-jadinya.
“Eh.. eh.. eh.. kenapa kak Qila? Kok tiba-tiba menangis? Eh kan malu dilihat sama adek” Umi bertanya dengan sungguh, suaranya yang lembut. Aku tidak peduli, aku Cuma ingin memeluk Umiku yang sebenarnya. Aku menyesal karena berbuat nakal, dan sekali lagi aku tidak ingin membuat Umiku marah, titik.
“tadi kak Qila mimpi bla..bla..bla..” akhirnya mengalirlah ceritaku. Umi dan bu Lilik yang ikut mendengarkan ceritaku hanya senyum-senyum saja, aku minta maaf karena sudah tidak menurut, tidak mau tersenyum dan sengaja membuat Taki menangis. Aku juga minta maaf sama bu Lilik, karena tidak mau belajar. Aku berjanji, mulai hari ini tidak akan nakal dan gampang ngambek lagi, serta akan belajar dengan sungguh-sungguh.
“tapi Umi tidak melahirkan sekarang kan?” tanyaku polos
“belum sayang, kan masih satu bulan lagi, kenapa emangnya?”
“nggak papa, bagus lah kalau gitu, kan kakak bisa doain adek bayi di perut Umi, sama kayak Abi doain Adek juga” demi mendengar jawaban polosku, seisi kelas tertawa. Akhirnya teman-teman se-TK ikut-ikutan mendoakan adek bayi dalam perut Umi.
“oh iya, kakak sudah shalat dhuhur belum? Kan tadi kakak gak mau ikutan wudhu” tiba-tiba Umi mengingatkanku.
“hehe.. iya belum” aku cengar-cengir.
“ayo, anak sholih tidak lupa shalat lima waktu, nanti kalau sudah shalat kita membaca doa untuk kedua orang tua, setujuuu?” Tanya Umi kepada seisi kelas. “setujuuuu…” serempak seisi kelas menjawab. Sedangkan Huzaifah dan Akmad masih saja memonyongkan bibirnya untuk mengucapkan kata “setuju” setelah anak-anak yang lain diam.
Dengan Bu Lilik aku menuju kamar mandi untuk berwudhu. Wah segarnya air kran membuat aku lupa dengan mimpi buruk tadi. Setelah shalat, sejuk sekali rasanya, lalu aku berdoa semoga Allah selalu menjaga Umiku tersayang. Ohya, aku juga berterima kasih sama Allah yang telah memberikanku Umi penyabar yang baik hati. Mulai hari ini aku berjanji tidak akan merepotkan Umi lagi, apalagi sampai membuat Umi marah.
“Terima kasih ya Allah, amin”


Tinggalkan Balasan