jendela melah 1

Jendela Melah

Cerpen, Fiksi

 

Matahari sore itu nampak terbungkus awan yang mulai enggan berkejaran. Burung-burung mulai menuju sarangnya. Sesekali mereka menggerakkan dedaun di pepohonan saat bertengger, sementara angin mulai enggan meributkan suasana. Sejuk. Di sudut perkampungan, terlihat rumah sederhana yang jendelanya masih terbuka. Tentu semua penduduk kampung tahu jelas bahwa itu rumahnya Melah. Ya, Melah yang sudah lima tahun terakhir ini mengurung diri dan hanya menunggu di balik jendela rumahnya. Rumah sederhana yang telah ditempatinya kurang lebih lima puluh tahun lamanya

.

Jendela itu terbuat dari kayu ulin, dengan tekstur pahatan khas Kutai, ukuran sisinya sekitar satu meter. Warnanya memamerkan warna asli kayu ulin namun sedikit agak kasar, kuat. Dia tidak pernah merasa bosan berada di balik jendela itu. Menuggu seseorang pulang dan berharap masuk melalui pintu yang ada di sebelah kanannya. Terkadang, dia menuggu sambil menjahit beberapa pakaian lusuh, terkadang juga menunggu bersama segelas kopi dan sedikit genangan air di mata tuanya.

 

“Aku tak peduli apapun yang orang katakan tentangku paman, yang kutahu hanyalah menunggu anakku kembali ke pangkuanku,” suara Melah memecah sore seolah mengantikan peran sang angin.

 

Sirat terlihat diam di belakangnya namun perlahan mendekati Melah. “Toro pasti baik-baik saja diluar sana, sesekali kau harus keluar rumah,” ujarnya.

 

Sudah lama ia prihatin terhadap keponakannya yang hanya mengurung diri di dalam rumah, menangis di balik jendela, menunggu anaknya yang telah lama hilang kabar dan mungkin tak akan pernah kembali.

 

“Kau datang kesini hanya untuk mengajariku bagaimana keluar rumah?. Aku bisa saja keluar dari rumahku tanpa kau ajarkan. Tapi aku akan terlihat seperti orang gila, melihat orang-orang dengan sesuatu yang dimilikinya, anaknya. Itu yang kau inginkan,?”. Melah berkata dengan mata sedikit berkaca.

 

Sirat menghentikan langkah dan tetap berdiri di belakang keponakannya yang sedari tadi enggan mengalihkan pandangan dari jendelanya. Tetapi ia terlihat begitu memaklumi.

 

“Setiap laki-laki menentukan jalan mereka sendiri, melihat dunia dan banyak hal lainnya. Meskipun terkadang terlihat sangat dekat dengan kematian,” ujar Sirat.”Dan kau merasa sebagai laki-laki?, kau bahkan tidak menikah,” sergah Melah dengan nada tinggi. Dia mulai kesal dengan pamannya yang selalu saja tidak mengerti perasaannya dan selalu menyuruhnya melupakan anak satu-satunya itu kemudian hidup layaknya kebanyakan orang.

 

“Aku tidak bermaksud..,”

 

“Pernahkah kau benar-benar mencintai seseorang?,”. Melah memotong perkataan pamannya.

 

“Tidak,.. maksudku mungkin hanya sekali. Tapi aku cukup belajar dari itu bahwa banyak hal yang harus kita terima sebagai bagian dari kehidupan. Seperti rasa sakit, takut, ketidakpastian akan masa depan dan sebagainya,.. ” Sirat berkata teduh.

 

“Apa maksudmu?”. Melah memotong lagi. “Maksudku, dengan menerima semua itu kita akan lebih tenang, lebih jernih dan realistis dalam menjalani hidup. Kita belajar menerima banyak kenyataan hidup,” sang paman mencoba menjelaskan sesingkat mungkin.

 

Sebenarnya, dia sudah sering sekali mengingatkan keponakannya untuk melanjutkan hidup seperti kebanyakan orang namun selalu gagal. Akan tetapi, sesering ia gagal, sesering itu pula ia mencoba. Tak jarang percakapannya dengan Melah berakhir dengan hasil yang jauh dari harapannya. Walaupun demikian, setiap hari Sirat pasti datang membawakan keponakannya yang seolah tak berdaya itu makanan dan kebutuhan pokok lainnya.

 

“Kau tak akan pernah mengerti paman, kau bahkan tidak pernah menjadi seorang ibu. Kau tidak tahu rasanya, hanya Toro satu-satunya yang kumiliki semenjak ayahnya meninggal,” Melah berkata sambil sedikit menyela nafas. Dirinya tentu masih ingat jelas kaki mungil anaknya itu sewaktu kecil, bayi yang periang. Toro yang selalu menatapnya dengan mata bersemangat. Matanya yang hitam seperti malam, rambutnya yang halus bak sutra, jemarinya yang selalu mencoba meraih muka mencoba mendekati Melah. Sejak saat itu Melah mulai memahami rasanya memiliki seseorang yang benar -benar dimiliki, tentu dia juga milik anaknya.

 

Sirat bergegas meraih tubuh keponakannya yang terlihat lelah. Dilletakkannya tangan kanannya di bahu Melah. “Aku harus pergi. Tapi beberapa hal yang mungkin bisa kau renungi. Sejak Toro lahir, sesungguhnya dia bukanlah milikmu lagi. Dia adalah miliknya sendiri, milik jalannya, milik dunianya. Kau harus memahami, semua yang merasa kau miliki pada dasarnya bukanlah milikmu melainkan milik sesuatu yang lain. Dia adalah misteri yang tak akan kau pahami hanya dari balik jendela ini,”. Sambil menepuk pelan bahu keponakannya, Sirat berkata dengan secercah harapan terlihat di sudut matanya. Harapan itu tentu supaya keponakannya tercerahkan dan memahami bahwa, dunia diluar sana masih berjalan dan seolah mengangkang untuk dinikmati siapa saja yang memiliki rasa syukur. Sejurus kemudian dia berbalik arah pergi dan mulai menghilang di balik pintu rumah tua itu.

 

Melah mulai merenung, entah setan apa yang merasukinya sehingga perkataan pamannya kali ini terdengar begitu jelas dan menusuk. Menurutnya itu terdengar sedikit memojokkan dirinya. Namun, tetap saja hati kecilnya bergejolak untuk membenarkan pernyataan itu. Melah tertunduk lesu, lelah, dadanya mendadak sesak, pikirannya tak menentu arah, dia ingin berteriak dari balik jendela itu, tangisannya pasti. Kini bukan Toro yang dipikirkannya, tapi dirinya yang selama ini banyak melupakan. Ya, dia Lupa terhadap orang-orang disekitarnya, pamannya yang begitu penyayang, lupa dirinya sendiri, bahkan lupa terhadap sesuatu yang lain seperti yang dikatakan pamannya . Dia lupa terhadap siapa yang benar-benar memilikinya. Dia ingin meneriakkan keegoisannya selama ini yang tak pernah menerima dunia lagi selain di balik jendelanya. Dia menyesal, mengumpat pedas.

 

Sepertinya begitu sakit ia ketika menyadari kebenaran yang diutarakan pamannya. Hal itu seolah menampar hatinya, menelanjangi dirinya di depan matanya sendiri. Dia merasa selama ini dirinya hanyalah potret buram yang bergelantungan di balik jendela tua. Tak pernah berhenti menanti sesuatu yang tak seharusnya dinanti dengan cara mengurung hati, bersembunyi di balik rasa benci, emosi. Sempoyongan ia berjalan menuju kamarnya; Dilihatnya cermin yang berada di lemarinya. Sesosok perempuan yang mulai menua terlihat di cermin itu.

 

Dengan mata yang redup bercampur air, rambut yang kusut dan raut yang mulai berlipat disekitar pelipisnya. Melah mencoba membelai sosok itu, merasakan lebih dalam keadaan dan penampakannya. Lututnya terasa semakin melemah dan menyentuh lantai rumahnya, menunduk ia dengan tubuhnya yang mati rasa, jiwanya seakan tercabut malaikat penyesalan. Dia akhirnya menyadari bahwa dirinya benar-benar ingin kembali kepada apa yang seharusnya diimani. Melah mencoba bangkit, kepalanya berat, hatinya berat, penyesalan mendalam yang dirasakannya seolah membuka mata bathinnya. Tetapi tiba-tiba saja semua tubuhnya tak bergeming, penyesalan memenjarakan harapan. Kini perlahan dirinya pasrah, ambruk ditelan tangisannya yang seolah dari tadi memenuhi ruang. Matanya tergelentang melihat langit-langit yang setiap detiknya semakin memudar. Dia tahu gelap akan menjemputnya, gelap yang berasal dari dunia lain. Dunia sebelumnya tak berkenan lagi menerimanya, mungkin karena merasa terlalu lama diacuhkan. Sekejap kemudian semua menjadi benar-benar gelap.

 

 

Sangkima, 2014


Tinggalkan Balasan