JURNALISTIK. HITAM, PUTIH ATAU ABU-ABU ?
Teknologi yang sudah berkembang pesat melampaui angka kelahiran manusia permenit di dunia membuat semua manusia di muka bumi terhimpit di dalam satu wilayah yang sering disebut dengan kampung global. Hal ini membuat semua manusia bertukar informasi dan pengetahuan tak perlu lagi harus bepergian dengan koper berat dan melayang di udara menggunakan pesawat terbang, namun cukup dengan membuka komputer jinjing atau gedget kemudian mengkoneksikannya ke jaringan Internet, dan dalam sekejap mata info yang diinginkan telah sampai ke kepala masing-masing.
Hal tersebut membuat banyak manusia haus informasi mengenai hal-hal yang tengah terjadi baik di dalam lingkup regional maupun internasional. Dunia jurnalistik menjadi jawaban manis para pecinta berita, selain dapat memusakan keingintahuan mengenai hal-hal terbaru yang terjadi di negara sendiri maupun di negara orang lain, juga dapat memperluas wawasan megenai banyak hal melalui informasi yang disajikan media untuk para pembaca.
Namun seperti halnya siang dan malam yang berpasangan, hal positif dari dunia jurnalistik pun bersandingan dengan banyak hal negatif yang muncul dari banyak pihak. Pertama, dari pihak orang yang diberitakan. Tak sedikit para pejabat, artis atau figur yang tengah dibicarakan media menjadi terusik dengan pemberitaan yang ada di media, terlepas dari kebenaran berita tersebut. Namun banyak para figur yang dijadikan icon merasa dirugikan atas pemberitaan yang beredar. Kedua, dari pihak para pemburu berita itu sendiri, banyak dari mereka yang sudha berniat baik emmburu berita di banyak bagian dunia harus pulang menanggung pahit. Mulai dari tidak mendapat berita, sampai terancam nyawanya dalam mengambil liputan. Ketiga, dari pembaca itu sendiri, banyaknya penikmat berita berarti membuat spekulasi yang semakin banyak dan rumit, hal ini menyebabkan keabsahan dari berita sering dipertanyakan.
Tidak bisa dipungkiri jika pembaca dan pemburu berita dan sebagian figur icon menjalin hubungan komensialisme dan mutualisme secara bersamaan atau tidak. Maka timbul lah pertanyaan, apakah dunia Jurnalistik itu baik atau buruk? Jurnalisme menciptakan kondisi di mana semua orang berhak mengetahui dan bertanya tentang keadaan. Hal tersebut menjadikan komunikasi seimbang.
Dengan demikian, jurnalisme tak dapat dipetakan secara hitam-putih. Ia telah berkembang menjadi dunia tersendiri, dengan hukum-hukum, mekanisme, prosedur, dan cara kerjanya sendiri yang semakin otonom. Jurnalisme telah menjadi dirinya sendiri dengan wilayanya sendiri, dan karenanya memunculkan disiplin pengetahuan-nya sendiri. Jurnalisme telah menjadi fenomena dan bahan bagi sosiologi, politik, ekonomi, sejarah, etika, dan sastra.
Karenanya, Jurnalistik dewasa ini punya tempatnya tersendiri, hitam-putih atau abu-abu hanya gelar hasil sematan segelintir orang yang tanpa sadar membuatnya semakin otonom