cahaya insan 1

Kado Cahaya

Cerpen, Editor Picks, Fiksi

Senja menyelinap memasuki rerumputan hijau di lapangan sekolahku. Kala itu, sekolah kami akan mengadakan acara “Malam Apresiasi Seni” yang dipanitiai oleh siswa yang mengikuti ekstrakulikuler kesenian. Aku dan teman-temanku menginap di sekolah untuk mempersiapkan acara itu. Kamipun sibuk dengan tugas masing-masing yang telah dibebankan oleh kakak-kakak senior kesenian kepada kami. Setelah menyelesaikan beberapa tugas, aku beristirahat sejenak sambil berbincang dengan temanku. Tak sengaja mataku tertuju pada sesosok cewek, seprtinya dia siswa baru sama sepertiku. Ia membuatku takjub, aneh dan risih melihatnya yang menggunakan sebuah jubah besar dengan kerudung menutupi kepalanya hingga pinggangnya. Terlintas dipikiranku suatu situasi yang dia alami saat itu adalah gerah, ribet, berat dan sekaliber penderitaan yang membuatku merasa enggan jika aku yang berada diposisi dia. Temanku ternyata memperhatikan ekspresiku yang tiba-tiba seperti melihat sesuatu yang tidak pernah dilihat sehingga dia nyeletuk, “kamu liat apa sih amira? Kok ekspresinya gitu?”. Aku langsung terkejut dan pemikiran yang terlintas sejenak tadi buyar dan pecah gara-gara pertanyaan temanku. “a?,,mm liat cewek itu? Aku nunjuk kearah cewek itu. “yang pake kerudung besar?” temanku balik bertanya. Aku hanya membalas dengan anggukan. Aku tak berkata sepatah katapun lagi karena aku enggan membahas sesutau yang membuat aku gerah ketika melihatnya.
***
“amira,,mira..???” suara gina, seorang teman rumah sekaligus sekolahku membuatku memalingkan muka dari menatap langit-langit kamarku. “Hmm,,??” aku menjawab dengan muka dan nada yang datar. Aku kembali terlena ke dalam lamunanku setelah gina memanggilku. Karena telah merasa mengganggu dunia fantasiku akhirnya gina berlalu dan pergi meninggalkanku.
Setelah aku tersadar dan ternyata gina sudah berlalu dari kamarku, aku bergegas menuju depan cermin. Aku berdiri memperhatikan wajahku dengan seksama. Aku mengambil sebuah kain persegi yang kupegang sedari tadi. Aku mencoba mengenakannya. Aku melihat sesosok yang berbeda dicermin. Seorang amira yang akan menemukan dunia barunya, yang sangat jauh berbeda dengan dunianya saat ini. Hatinya bergejolak, bagai magnet di kutub utara dan selatan, bagai mengalami hipotermina di laut antartika dan merasakan seperti dehidrasi karena berjalan di sebuah gurun. Perasaanku kala itu membuatku bimbang, setelah aku menyimak diskusi informal yang tak sengaja kuikuti di kelas untuk mengisi jam kosong dengan seorang teman kelasku bernama fatya. Seorang cewek yang dengan setia ditemani kerudung besar dikepalanya. Dia adalah seorang cewek yang kulihat di sekolah ketika acara “Malam Apresiasi Seni” pada senja tahun lalu. Di tahun kedua SMAku, ternyata aku dipertemukan dalam kelas yang sama dengannya. Satu hal dari perkataannya yang membuat tertusuk hatiku dan menyinggung batinku, “ukhty, tunaikanlah kewajibanmu, tutuplah auratmu. Sungguh allah memuliakan wanita dengan perintah itu. Perintah yang akan menyenangkan hati orang tuamu dan yang akan membahagiakan calon pendampingmu kelak. Andai saja kita bisa mengukur batas hingga ajal tiba, maka itu lebih baik jika kita mengetahui”.
Suatu kalimat yang tak pernah terpikirkan selama ini dalam hidupku, suatu kenyataan yang jauh berbeda dengan gayaku, “bukan gue banget”, respon pertama yang terlontar dari bisikan hatiku saat itu. Namun ada sebuah sisi dimensi hati yang terasa tergetar, takut, ingin, yang tersadar dari diriku. Kenapa tak pernah sedikitpun aku memikirkan dan menyadari tentang hal itu.
Berawal dari diskusi itu, perasaan yang tak pernah hadir sebelumnya, datang mengahmpiriku dan membingungkan aku. Entah kenapa, hatiku mneginginkan aku untuk melaksanakan perintah itu, berhijab. Setiap pulang sekolah yang aku lakukan pertama kalinya adalah berdiri di depan cermin dengan mengenakan kerudung di kepalaku. Sungguh sesuatu yang diluar nalar untuk aku pikirkan ketika aku melakukan ini. Entah kenapa aku merasa diriku sungguh cantik hari itu.
Aku keluar rumah dengan perasaan yang menyeruak, antara malu dan rasa berbinar-binar dihatiku. Aku keluar mengenakan hijab pertamaku. Semua orang yang menegenalku membelalakkan matanya setelah melihatku. Persepsi mereka saat itu hanya memikirkan bahwa aku telah membotak rambutku sehingga mengenakan kerudung karena malu. Aku yang dikenal dengan cewek celana pendek jika bepergian kemanapun dan dengan siapapun. Insiden ini hanya akan menimbulkan pertanyaan dan keharanan yang besar pada diri orang-orang yang mengenalku. Aku hanya merespon reaksi-reaksi mereka dengan sedikit senyuman simpul dari wajah merahku.
***
“Bu, pake mukenah ini saya belikan buat ibu”, kakak menyapa ibu yang sedang mengenakan mukenah di depan cermin. “tidak usah nak, ini ibu sudah pake mukenah yang dibelikan oleh adikmu buat ibu”. Ibu menjawab dengan wajah yang begitu terlihat cantik dan bercahaya saat itu.
Begitulah sekilas mimpi yang dialami oleh kakakku beberapa waktu yang lalu. Aku tak sadar telah mengeluarkan bulir-bulir bening dari pelupuk mataku ketika aku mengingat mimpi kakakku itu. Allah telah memperlihatkan kepadaku betapa memang keputusan yang aku ambil saat ini sungguh tepat. Lebih dari itu dengan keputusanku ini allah memperlihatkan aku betapa bahagianya ibuku disisi-Nya. Ibuku telah dipanggil oleh-Nya 6 tahun yang lalu dan sungguh allah telah membuktikan bahwa keputusanku ini akan membawaku menuju jalan dimana aku bisa menjadi wanita yang berharga, wanita yang membalas kebaikan orang tuanya dengan menjadi anak yang shalehah dan wanita yang mempersiapkan dirinya mengabdikan hidup untuk keridhaan Rabbnya.
Terbayang senyum ibuku ketika mengenakan mukenah dariku dalam mimpi itu yang menciptakan senyum diwajahku karena telah menetapkan keputusanku. Ya, keputusanku menyempurnakan diri dengan hijabku.


Tinggalkan Balasan