Chrysanthemum 1

Ketika Cinta Tak Selalu Merah Jambu: Terlambat

Cerpen, Fiksi, Romance

“Aku sangat sibuk Ratna. Malam ini aku harus menyelesaikan tulisanku. Besok pagi-pagi sekali Mas Yarto mau mengambilnya. Aku mohon mengertilah.” Ucapku sambil menatap dalam mata gadis di hadapanku.

“Tapi Kak, hari ini kan hari…. “ Perkataan gadis itu tak terselesaikan. Kulihat air menggenang di pelupuk matanya. Sebenarnya aku tak tega melihatnya seperti itu, tapi aku juga benar-benar tak bisa meninggalkan pekerjaanku.

“Kumohon mengertilah Ratna, kita bisa merayakannya besok.” Aku membelai lembut rambut gadis bernama Ratna itu. Gadis yang telah menjadi kekasihku selama dua tahun.

“Baiklah Kak, aku mau pulang saja.” Jawabnya datar.

“Kamu marah?”

“Tidak.”

“Ya sudah, aku antar kamu pulang.” Aku menarik nafas panjang, berat. Tampaknya Ratna menyadari keenggananku untuk berpaling dari layar laptop.

“Sudahlah Kak, lanjutkan saja pekerjaan Kakak. Biar aku pulang sendiri.” Ujarnya sambil meraih tas berwarna cokelat yang terletak di samping laptopku. Senyum mengembang di wajahku tanpa dapat kutahan. Aku memang berharap dia mengatakan hal itu agar aku tak perlu membuang-buang waktu menulisku untuk mengantarnya pulang. Sekali lagi, bukan berarti aku tak mempedulikannya, tapi aku memang tak bisa meninggalkan pekerjaanku.

***

“Kak, bisa jemput aku di kantor? Aku lembur nih, udah gak ada ojek.” Ratna meneleponku. Kulirik jam yang terletak di atas meja, pukul 21.45.

“Kakak sebenarnya ingin sekali menjemputmu sekarang, tapi tanggung nih. Lagi satu halaman saja, kamu bisa menunggu kan? Paling lama satu jam lagi sampai di sana.”

“Oh ya sudah Kak, tidak usah saja.” Jawabnya datar dan sambungan telepon putus. Tut tut tut….

***

“Kak, kenapa sih gak mau menggandeng tanganku? Coba lihat, anak SMA itu saja tahu caranya memperlakukan wanita.” Ucap Ratna dengan wajah cemberut ketika kami berjalan-jalan ke salah satu pusat perbelanjaan.

“Ah itu kekanak-kanakkan, memangnya kamu mau jadi seperti anak SMA?”

“Itu bukan kekanak-kanakkan Kak, tapi romantis.” Sanggahnya.

“Itu bukan gayaku.”

“Tapi aku ingin.” Ratna meraih tanganku dan menggenggamnya, namun aku segera menarik tanganku.

“Apa-apaan sih, jangan bersikap seperti itu. Bagaimana kalau teman kerjaku melihat? Kita bukan lagi ABG.” Bentakku. Sedetik kutangkap raut kecewa dari wajahnya, namun kuabaikan. Toh cinta bukan sekedar romantis-romantisan, cinta-cintaan, ataupun pegangan tangan, ya kan?

***

“Kak, jangan lupa jemput aku jam 8 ya.” Ratna meneleponku. Malam ini malam minggu, malam yang sangat dia sukai. Namun, tidak bagiku. Sebenarnya aku sangat berharap akhir pekan seperti ini menjadi waktu-waktu istirahat setelah lima hari penuh bergulat dengan pekerjaan yang melelahkan.

“Iya.” Jawabku datar. Kulihat jam masih menunjukkan pukul 07.00 malam. Hufff satu jam lagi, aku berdoa semoga malam ini hujan sehingga aku tak perlu menjemputnya.

            Aku berbaring di sofa sambil menonton televisi, tiba-tiba guntur menggelegar dan tak lama hujan turun dengan deras. Aku melompat gembira, doaku terkabul. Aku tak perlu pergi malam mingguan dan bisa semalaman bersantai di rumah.

            Berkali-kali Ratna menelepon menanyakan kepastian kencan kami, namun kujawab sekedarnya. Jika hujan reda aku akan menjemputnya, tapi dalam hati aku berharap hujan ini tak akan reda. Sekali lagi, bukannya aku tak peduli atau tak mencintainya lagi. Tapi aku memang benar-benar ingin istirahat malam ini.

            Tiba-tiba pintu rumahku diketuk. Aku terbangun, ternyata tanpa kusadari aku tertidur di sofa dengan televisi yang masih menyala. Hujan masih cukup deras, sesekali guntur menggelegar menggetarkan kaca jendela. Kulihat jam di ponselku, pukul 23.15. Di layar ponsel juga terdapat puluhan panggilan tak terjawab, dan semua itu dari Ratna.

            Pintu kembali diketuk. Dengan terhuyung-huyung aku berjalan menuju pintu dan membukanya. Aku terperanjat ketika melihat Ratna basah kuyup dengan bibir gemetar. Dia menyodorkan sebuah kotak berwarna merah yang dia ambil dari dalam tasnya.

“Apa ini?” Tanyaku bingung.

“Hadiah untuk Kakak.” Ucapnya dengan suara bergetar, tubuhnya menggigil.

“Hadiah?”

“Mungkin Kakak terlalu sibuk bekerja sampai lupa hari ini tanggal berapa. Hari ini ulang tahun Kakak. “ Bibirnya yang berwarna kebiruan merangkai senyum. “Selamat ulang tahun ya Kak, sebenarnya malam ini aku sudah menyewa tempat untuk merayakannya, tapi karena hujan semuanya jadi batal.”

“Maaf aku…” Aku tak mampu berkata apapun, rasa bersalah dan penyesalan menghantam dadaku.

“Sudah tidak apa-apa, aku mengerti. Maaf kalau hadiahnya tidak berkenan. Silakan kembali beristirahat, maaf sudah mengganggu waktu tidur Kakak. Aku pulang dulu.” Ucap Ratna. Tangannya terasa sangat dingin ketika menjabat tanganku. Ia kemudian berlari kecil menuju motornya, menembus malam dan guyuran hujan. Bodoh, aku terlalu terkejut untuk mengejarnya.

***

“Kakak terlambat, ini sudah lebih dari satu jam. Berapa lama lagi aku harus menunggu? Kenapa Kakak selalu mengabaikanku?” Teriak Ratna. Air mata membanjiri wajahnya.

“Mengapa berteriak? Jangan kekanak-kanakkan!” Bentakku.

“Aku tidak peduli lagi, aku sudah capek. Kakak keterlaluan.”

“Aku bilang berhenti berteriak. Aku kan sudah minta maaf, tadi aku harus menyelesaikan pekerjaanku.”

“Selalu itu, selalu begitu. Itu saja yang Kakak jadikan alasan untuk mengabaikanku.”

“Ya sudahlah. Aku benci keadaan seperti ini. Kalau kamu masih mau marah-marah, silakan!” Ucapku sambil berjalan meninggalkannya.

“Ya pergilah, pergilah sejauh-jauhnya. Mungkin memang itu yang Kakak inginkan selama ini. Aku tak akan mengganggumu lagi.” Teriaknya. Aku tak mempedulikan ocehannya. Aku terus melangkah, menjauh. Toh nanti dia juga yang akan meneleponku dan merengek-rengek untuk dimaafkan seperti biasanya. Ucapannya itu hanya ancaman yang mustahil ia lakukan, aku tahu dia sangat mencintaiku.

Tiga bulan berlalu, aku kembali tenggelam dalam rutinitas yang padat dan melelahkan. Pekerjaan sebagai editor di perusahaan penerbit besar seperti ini benar-benar menguras energi, pikiran, dan waktu. Ratna sudah tak pernah lagi mencariku, meneleponku, ataupun merengek-rengek untuk dijemput. Dia menghilang setelah pertengkaran itu. Aneh, dia benar-benar menepati ucapannya.

Aku sudah mencoba menghubungi ponselnya, namun selalu tidak aktif. Sebenarnya aku ingin mencarinya di kantor ataupun di rumahnya, tapi selalu saja batal. Bukan karena aku tidak peduli, tapi aku benar-benar sibuk dengan pekerjaanku. Sungguh, sebenarnya aku sangat merindukannya. Aku mencintainya. Pekerjaan yang kutekuni sekarang juga tak lain adalah untuk merangkai masa depan indah bersamanya. Kehidupan nyaman dan ekonomi mapan yang diimpikan setiap orang. Dan semua itu harus kubayar dengan kerja keras dan pengorbanan, yang kuminta darinya hanyalah kesabaran dan pengertian.

Akhir bulan ini aku mengambil cuti seminggu untuk refreshing. Otakku sudah terlalu penat untuk dipaksa terus bekerja. Aku juga tak tahan lagi menahan rindu, aku ingin segera bertemu dengannya.

Malam ini aku berencana menjemputnya di kantor dan menghadiahkan mawar putih kesukaannya. Malam ini aku akan mengajaknya makan malam dan meminta maaf atas segala sikapku yang keterlaluan. Belakangan kusadari, ternyata hidupku hampa tanpanya, tanpa gangguan telepon dan rengekkannya. Ternyata hal-hal yang dulu kubenci, kini sangat kurindukan. Wajahnya yang cemberut, matanya yang selalu terlihat seperti ingin menangis, sikapnya yang kadang manja dan kekanak-kanakkan. Arrrggh kerinduanku sudah di ubun-ubun.

Aku memacu mobil menuju kantornya. Kutunggu di tempat biasa, kulirik arlojiku, pukul 21.10 kira-kira lima menit lagi dia akan keluar. Jantungku berdegup kencang, tak kusangka aku akan merasakan perasaan seperti ini lagi. Kugosokkan telapak tanganku yang basah oleh keringat. Berkali-kali kurapikan rambutku, aku ingin tampil menawan di hadapannya.

Tak lama kemudian, sosok yang kutunggu berjalan keluar pintu kantor. Dia tampak cantik dalam balutan seragam berwarna merah maroon. Rambut panjangnya disanggul rapi. Walau dari kejauhan, gadis itu terlihat sangat mempesona. Hufff, ternyata selama ini aku mengabaikan semua ini dan baru menyadarinya sekarang.

Aku mengulum senyum, segera kuraih buket mawar itu dan bergegas keluar mobil. Namun, baru saja aku melangkah tiba-tiba kulihat sosok pria menghampiri Ratna. Pria itu kemudian menggenggam tangan Ratna. Wajah Ratna tersipu, ia sesekali tertawa. Tawa yang sangat bahagia, tawa yang tak pernah kulihat selama dua tahun bersama. Tawa yang baru kusadari tak pernah kuberikan kepadanya. Mawar yang kupegang jatuh ke tanah. Kini semuanya jelas, Ratna sudah pergi. Dia bukan milikku lagi. Kini ada seseorang yang bisa membuatnya tertawa, ada seseorang yang mampu membuatnya bahagia, ada seseorang yang menggenggam tangannya tanpa menganggapnya kekanak-kanakkan. Semua yang ingin kulakukan sekarang, namun terlambat. Dan sesal selalu datang di akhir cerita.

 

Rabu, 27 November 2013

Pukul 02.05 dini hari

 


Tinggalkan Balasan