Wanita Sendirian
Ruangan tempat perempuan berambut hitam sebahu itu menulis saat ini memang tak terbilang sempit. Namun, beberapa perabot yang ada di dalamnya kebanyakan berasal dari barang bekas bercampur udara yang sedikit pengap, kursi setinggi setengah meter bersanding meja dari kayu jati asli pahatan Bali. Sebuah tempat tidur yang tak berhias kursi pelaminan. Gelas dan piring yang beberapa diantaranya terbuat dari plastik, tempat air minum dengan guci ukiran khas Sasak berada di pojok ruangan dengan dekorasi yang pas untuk iklim tropis. Cukup sederhana.
Cahaya kompuer yang sedang dipelototinya menampar wajahnya solah menunjukkan paras pemikir, visioner dan mobilitas tinggi yang dimilikinya. Jika dibandingkan dengan perempuan seusianya, dia terlihat lebih tua. Lebih tepatnya pintar. Meski tak terlalu cantik. Tak heran memang, meskipun secara nama, Luciana, merupakan nama salah satu orang yang disucikan dalam keyakinan ummat Katolik, karena pengorbanannya kepada tuhan dengan tindakan yang sulit dibayangkan banyak orang. Kesucian diperolehnya karena mencongkel kedua mata indahnya untuk menahan nafsu yang dimilikinya. Pendekatan kepada tuhan dengan cara yang unik.
Akan tetapi, nama tampaknya tak menghalanginya sebagai seorang penggemar berat Dewi Saraswati yang dalam keyakinan ummat Hindu diinterpretasikan sebagai simbol keagungan segala ilmu pengetahuan. Rasa ingin tahu yang begitu tinggi bersemayam dan seolah menyatu dalam darahnya, membuatnya bisa secara mudah memahami berbagai ilmu dan banyak hal. Karakter itu pula yang membuatnya bertahan menjadi seorang wartawan selama delapan tahun terakhir ini. Catatan karirnya pun terlalu cemerlang bagi perempuan seusianya. Tulisan hasil investigasi yang dilakukannya beberapa kali melengserkan beberapa pejabat bermoral bejat yang bertopeng dalam diam sebuah konspirasi di Nusa Tenggara Barat (NTB). Terkadang dia berkata “Ya akulah dewi ilmu pengetahuan itu,”. Dia menyukai keangkuhan untuk sebuah motivasi.
Malam ini, dalam pelukan gelap dan dingin sang malam, di ruang kontrakanya yang berwarna kontras, Luciana menulis berita. Kala itu,bintang-bintang hanya melihat diam. Manusiapun terlelap didahului sang bulan. Sepi.
Sebelum menulis beritanya, sebenarnya Luciana sudah mendapatkan firasat yang tidak bisa dibilang baik. Pesan singkat dari nomor tak dikenal yang masuk di telepon genggamnya sore tadi masih menempel ditelinganya. Beberapa kata yang bisa langsung di simpan oleh memori jangka panjangnya. Dalam neurosains, ada teori yang mengatakan bahwa ingatan manusia sebelumnya ditampung dalam memori jangka pendek sebelum ditransfer ke memori jangka panjang. Ini merupakan proses alamiah dari saraf otak manusia. Akan tetapi, nampaknya itu tidak terjadi dalam diri Luciana saat ini. “Hati2 dengan tulisanmu,” pesan singkat itu langsung merasuki memori jangka panjangnya.
Sejenak kemudian dia melakukan penyangkalan terhadap apa yang dipikirkannya, lalu kembali mulai mengetik berita yang sedang digarapnya. Kali ini, perempuan berusia 25 tahun itu menulis berita tentang mengalirnya sejumlah uang suap, kepada sejumlah pejabat dalam proyek pembangunan salah satu rumah sakit terbesar di NTB yang saat ini mangkrak dalam 1 tahun terakhir. Beberapa minggu ini, kreatifitas dan semua sumberdaya Luciana berkutat dalam kasus ini.
Banyak situasi yang terjadi selama kasus ini menjadi berita utama di semua koran harian yang ada di NTB. Mulai dari tuding-menuding, orang besar yang hanya bisa diam, nyawa-nyawa terbungkam dan hilang, hingga tembok pengadilan yang diwarnai beberapa orang yang menjawab dengan jawaban yang sepantasnya dikeluarkan oleh pengidap Amnesia. Orang-orang mulai membuat drama bertema tragedi namun tak jelas tokohnya. Konsep piktogram Yunani Kuno dengan mimik komedi dan tragedi yang selalu berpasangan tak berlaku dalam situasi NTB saat ini. Dan berita utama di salah satu koran-koran tersebut pastinya salah satu hasil tarian jari-jari Luciana. “terlihat paling pedas”.
Sementara Luciana berfokus pada komputernya, suara mesin sepeda motor di ujung jalan membelah malam. Menciptakan polusi dalam beratnya tekanan udara dan tumpukan O2 di daun pepohonan. Angin berseru tak terlihat. Hanya debu jalanan yang terlhat melayang-layang diterpa cahaya lampu seadanya. Teman Luciana Datang. Dan mereka juga wartawan salah satu media di Provinsi ini.
Dua orang jurnalis itu turun dari mesin motor tadi. Tak sedikitpun motor tersebut mencoba mendinginkan diri. “tok,.tok,.tok,,tok,”. Suara pintu meng’aduh saat diketok. “Luci.,” ujar salah seorang yang datang dengan janggut hitamnya. Luciana dengan malas meninggalkan meja jatinya untuk membuka pintu. “Pasti si Jarot dan Yabi,” pikirnya. Pintu ditarik dan terbuka. Tebakan Luci tanpa cela. Dua teman se-profesinya datang namun dia malas bertanya dan langsung menyuruhnya masuk. Luci kembali menuju cahaya komputernya. “Ayolah., dua temanmu datang dan kau lebih memilih pekerjaan??,” cetus Yabi protes sambil menikmati beberapa makanan dan minuman yang dibawanya bersama Jarot. Luci tak bergeming.
Ketika Jarot mengambi makanan, sebuah aksesoris padat menyilau, dengan sedikit pantulan cahaya bintang terlihat dan mengangkat bagian belakang bajunya. Luciana mendekat.
“Psikologi para pejabat pasti sangat terganggu dengan tulisanmu,” Jarot berkata datar. “Kebenaran terkadang menyakitkan sebagian orang. Tapi aku percaya, lebih banyak orang mendapatkan kemaslahatan karena kebenaran. Aku tidak berpikir tulisanku salah,” pungkas Luciana sambil menarik makanan. Tak sungkan, beberapa hari terakhir dua pria ini sering berkunjung meski Luci tak kenal lama. Jawaban yang dilontarkan Luci lebih mirip Sabda Rasul ummat muslim “Qul al haqqa walau kana murram”. Ya.,katakanlah kebenaran walaupun itu pahit.
Sekitar tiga puluh menit berlalu, malam kian mengutuk apapun yang terjadi dibelakang dan depannya. Kedua laki-laki yang mengunjungi Luciana malam ini melontarkan keinginan undur diri. Luciana tak mencoba menahan, masih ada yang belum diselesaikannya. Dingin malam masih mengikat mimpi kala mereka bertiga berdiri. Entah mengapa Luciana juga merasa tidak terlalu menginginkan mereka malam ini. Lengan kanannya bergerak membukakan pintu kontrakan tersebut sehingga dirinya tepat mengambil posisi membelakangi kedua temannya itu.
Sebelum pegangan pintu terlepas, Luciana tiba-tiba merasakan dingin menyerembab di pori-porinya. Punggungnya terasa berat untuk bermanuver. Sakit, berdarah, memorinya melayang dan hanya mampu menggapai pesan singkat yang diterimanya sore tadi. “Hati2 dengan tulisanmu,” Darah keluar mengucur deras bak bensin yang keluar dari alat pengisian BBM yang biasa digunakan karyawan sebuah SPBU.
Belum selesai dia mengingat kata itu, hujaman kembali terasa. Ingin Luciana berteriak hingga memekakan telinga tapi lehernya tercekat. Begitu dia berusaha, itu terasa seperti beban. Baru kali ini perempuan itu merasa begitu terbebani. Sikap antusias dan mobilitasnya tak pernah dirasanya sebagai beban. Skali lagi dia ingin mencoba. Namun, semakin dalam lagi belati menghujam. Jarot, dengan mata yang menyala seperti iblis menusuk dan memainkan belati itu tepat dibelakang leher Luciana. Sementara Yabi sudah bersiap jika ada gerakan semacam pemberontakan. Mata Yabi terlihat liar mengawasi dengan raut muka sedikit tegang. Mendadak semuanya gelap.
Malam memaki, situasi keruh tak tertandingi, konspirasi diam menyaksikan bangunan rumah sakit terbesar di sudut kota yang mangkrak dengan hiasan papan-papan dan bambu penyangga, bangunan itu berteriak dalam lidahnya yang terjepit oleh ketidakpedulian dan keserakahan. Sementara itu, tusukan belati seukuran dua puluh sentimeter dalam remang yang brutal saat itu sekaligus merenggut kewartawanan perempuan itu dengan hinanya. Matanya mendongak seolah melihat terbitan-terbitan koran esok pagi. Otak kritisnya ditelanjangi. Dia enggan terlelap tapi dia tahu inilah waktunya. dewi ilmu pengetahuan bertangan empat yang mengendarai angsa di atas air itu terlentang bisu. Esensi pilosofis seorang perempuan yang seharusnya mampu bertahan dalam situasi sulit, dalam ruh Dewi Saraswati kini jauh dari pribadi Luciana. Sosok perempuan ternama yang kesuciannya lebih tinggi dari bunda Maria kini benar-benar buta. Tetapi tak ada nafsu disitu. Dia pergi bersama kata mati yang biasa ditulis di tembok gereja yang selama ini dikunjunginya. Seketika itu, Banyak yang telah terjadi dan banyak lagi yang akan terjadi.
Mataram, 30 Mei 2014
(Penulis adalah mantan jurnalis Suara NTB; peneliti LITERASI)