konvensi capres partai demokrat 2014

Konvensi-Capres Demokrat: Etika Politik Disensus?

Opini

Ahmad Sirulhaq: Direktur Lembaga Riset Kebudayaan dan Arus Komunikasi (LITERASI)

 

Wacana pilpres 2014 menjadi makin menarik disebabkan adanya konvensi capres yang dilakukan oleh Partai Demokrat. Sekurang-kurangnya ada 11 peserta yang dikabarkan ikut konvensi ini, baik dari kalangan internal maupun luar Partai Demokrat, bahkan dari nonpartai. Sederet nama-nama beken pun turut mewarnai konvensi ini, semisal Anies Baswedan, Dahlan Iskan, hingga Mahfud MD—yang belakangan kemudian menyatakan mengundurkan diri. Awalnya saya tidak begitu tertarik ikut berdiskusi dengan tema ini, hingga akhirnya sebuah tulisan yang dimuat di harian ini, Diskursus TGB dalam Konstelasi Etik Konvensi Capres (28/08/2013), yang ditulis saudara Astar Hadi, sedikit menggoda.

Mengapa tulisan itu menarik bagi saya, di samping terlihat cukup bernas, pun karena saya manaruh curiga atas wacana disensus yang ia kemukakan. Suatu disensus melawan konsensus. Kalau boleh saya menyimpulkan, kurang lebih, Astar Hadi hendak menyampaikan bahwasanya konvensi capres Partai Demokrat hari ini ialah semacam disensus atas konsensus narasi politik (di Indonesia) hari ini yang notabene tengah berada pada genggaman elite-elite politiknya dengan segala macam konsekuensinya; suatu disensus atas konsensus oligarki politik.

Bagi pembaca atau pengamat yang kurang hati-hati, apa yang dikemukakan Astar Hadi bisa saja ditelan bulat-bulat, atau sekurang-kurangnya memiliki pandangan serupa dengan Astar Hadi, mengingat tulisan tersebut, secara tersurat, mengangkat nama Foufault, salah seorang pimikir postmo terkemuka dan, secara tersirat, menukil pemikiran postmo lainnnya dilihat dari istilah-istilah yang dia gunakan, sebagai kerangka berpikirnya. Sebagai sebuah cara melempar wacana di panggung ini kiranya hal itu sah-sah saja dan layak kita apresiasi, tapi ada baiknya juga saya memberikan catatan lainnya mengenai dinamika konvensi partai demokrat dalam upaya membaca wacana ini, yang terlanjur menjadi diskursus keseharian, yang menarik minat para pengamat maupun praktisi. Sehubugan dengan itu, pertanyaan kita, benarkah konvensi Partai Demokrat merupakan etika politik disensus sebagaimana yang dilontarkan Astar Hadi?

Konsensus versus Disensus

Adalah mudah untuk mengetahui dengan segera apakah jalan yang diambil Partai Demokrat dengan konvensinya merupakan etika politik disensus atau bukan. Tapi, sebelum sampai ke sana, sebelum kita berbicara (etika politik) disensus, kata harus mencermati terlebih dahulu apa yang menjadi konsensus politik hari ini—untuk lebih fokusnya pembicaraan, kita kesampingkan dulu seandainya ada perdebatan lebih jauh sebagai bahan diskusi di kemudian hari.

Dalam konteks pilpres, khususnya konteks pencalonan presiden oleh suatu partai, sudah jamak kita saksikan dalam realitas politik hari ini, bahwa sedapat mungkin suatu partai akan mengusung calon presiden dari partainya sendiri. Gerindra, misalnya, mengusung nama Prabowo Subianto; Hanura mengusung nama Wiranto; PDIP mengusung nama Megawati; Golkar mengusung nama ARB; dan seterusnya. Mereka yang kurang pede masih malu-malu dan menunggu keajaiban hasil pemilu legislatif 2014. Cukup dengan musyawarah besar partai yang dibuat-buat maka akan muncullah nama calon—yang toh ujung-ujungnya memunculkan nama ketua umum partai. Pendek kata, dalam konteks pilpres, realitas (baca: konsensus) politik hari ini tidak memberi ruang (kucuali sedikit) atas mereka yang berada di luar pintu, seberapa besar pun preferensi masyarakat atas mereka. Tak ada pemberontakan, sebab dalam wacana yang telah menjadi konsensus, wacana adalah kekuasaan itu sendiri.

Tentunya, banyak konsensus dalam realitas politik hari ini, tapi ruang ini terlalu terbatas untuk kita berdiskusi lebih jauh tentang itu. Seperti yang telah saya kemukakan di muka, tulisan ini hanya untuk menambah wacana lain atas diskusi tentang konvensi partai demokrat yang dibukan oleh Astar Hadi.

Lalu, mengapa Partai Demokrat tidak menunjuk saja kader sendiri daripada ribut-ribut mengurus konvensi? Inilah yang diklaim Astar Hadi sebagai etika politik disesnsus. Istilah disensus sangat khas beraroma postmo, mengingatkan kita pada sederet nama-nama kunci macam Lyotard, Foucault, Derrida, dan seterusnya. Penolakan terhadap narasi besar dan dalam pada itu pula mengedepankan polivokal sebagai nilai yang harus dihargai menjadi salah satu agenda (politik) pemikiran ini. Konstruksi atas wacana senantiasa dalam kondisi menyedang, tak ada nilai dan tafsir tunggal atas wacana apa pun. Kebenaran telah direduksi sebagai nilai. Di atas semau itu, nilai apa pun, dengan demikian, tak boleh disucikan sebab ia tidak memiliki titik final. Ia harus didekonstruksi terus menerus. Harus ada disensus atas konsensus, biar ada keseimbangan.

Kembali pada pokok soal tadi, mengapa Partai Demokrat memilih konvensi? Apakah ini etika politik disensus? Bisa ya bisa juga tidak. Sebagai sebuah varian dari polivokal dalam upaya melawan konsensus etika politik hari ini, sepertinya, konvensi Partai Demokrat sebagai sebuah etika politk disensus memang benar adanya. Tapi, pembacaan atas suatu teks (wacana politik) konvensi Partai Demokrat tak boleh dihadirkan dalam ruang hampa, dan Astar Hadi tentu sangat tahu itu. Persoalan korupsi yang diam-diam menggali lubang kuburan atas Patrai Demokrat oleh elite-elitenya sendiri tidak bisa diusir begitu saja dalam memaknai diskursus politik Partai Demokrat hari ini.

Sampai di sini, kiranya, kita jangan sampai tertipu atas permainan politk Partai Demokrat dengan konvensinya. Alih-alih sebagai etika politik disensus, konvensi partai demokrat adalah konsensus internal Partai Demokrat sendiri dalam memulihkan citranya yang tadinya sudah siap-siap terperosok ke sisi jurang kehancuran, yang dari awalnya sebagai partai pemenang pemilu pada 2009. Dengan menghadirkan nama-nama kondang di luar partai, tak ayal membuat orang-orang lupa akan sisi gelap partai berlambang segi tiga mercy ini. Jangan lupa, sebagaimana yang banyak diberitakan media, mundurnya Mahfud MD dari calon peserta konvensi, konon, karena ia tidak mendapatkan kepastian atau semacam jaminan (tertulis) pasca konvensi dari Parti Demikrat. Dalam wacana disensus Astar Hadi, di mana letak konteks ini ditaruh?

Beruntung, orang-orang lupa, sejatinya media memberikan semacam momen fiksasi atas teks yang dalam relasinya dengan pembaca/pemirsa menciptakan suatu polarisasi tersendiri: media/pemirsa, semacam dikotomi yang memberikan hak istimewa atas media dalam memonopoli tafsir sehingga pembaca/pemirsa cepat percaya dan kesulitan membedakan antara substansi dan citra. Baudrillard mengingatkan betapa media sanggup menciptakan kondisi yang menempatkan realitas empirik tidak lebih nyata dari bayang-bayang atau simulasi media. Hanya dan hanya jika kita memandang fiksasi teks oleh media atas realitas yang maknanya tidak senantiasa hadir mendahului teksnya—sebagaimana yang ingin dilampaui Derrida atas metafisika-kehadiran—kita baru bisa lebih arif melihat bagaimana teks-teks wacana terus berayun, menyedang, dan menunggu kehadiran maknanya.

Catatan Penutup

Konvensi calon presiden, dalam dinamika politik di Indonesia, pertamakali pernah dilakukan Partai Golkar pada 2004 yang memenangkan Wiranto (waktu itu masih sebagai kader partai). Mantan Panglima Tantara Nasional Indonesia (TNI) dan Menteri Pertahanan-Keamanan itu memperoleh 315 suara, jauh meninggalkan Akbar Tanjung, yang hanya mendapatkan 227 suara. Dalam perhelatan pilpres kemudian, partai yang mengusung calon presiden dari hasil konvensi ini bahkan tidak masuk dalam putaran kedua walaupun mencapai urutan pertama perolehan suara dalam pemilu legislatif. Pilpres justru dimenangkan pasangan SBY-JK yang diususng Partai Demokrat yang berada pada urutan kelima perolehan suara pemilu legislatif.

Pada pemilu 2009, JK (ketua umum Partai Golkar waktu itu) yang sudah bercerai dengan SBY menolak melakukan konvensi. Sekiranya konvensi calon presiden sebagai subuah etika politik disensus, pastinya Partai Golkar akan mengulangnya pada 2009 dan masih akan melakukannya hingga hari ini, sebagai bentuk polivokal suara lyan di tengah-tengah, konon, merosotnya citra ARB. Di samping itu, seingat saya, pada pemilu 2009, pada suatu sesi wawancara dengan JK oleh salah satu stasiun tv nasional, tatkala ditanya mengapa Partai Golkar tidak melakukan konvensi, JK menjawab: hasil lebih penting daripada proses. Hasil lebih penting daripada proses? Jangan-jangan, dan saya yakin demikian, konvensi Partai Demokrat hari ini berbasis pada hasil (baca: perbaikan citra), bukan proses, alih-alih etika politik disensus, siapa tahu? Lho, jangan lupa, di samping sebagai penanggungjawab jurnal Madzhab Djaeng, pun Astar Hadi adalah calon legislatif Partai Demokrat.

(Pernah diajukan di Lombok Post untuk merespon Artikel Astar Hadi tetapi tidak dimuat, dimuat (tanpa perubahan) di sini untuk keperluan membangun diskusi kritis)


Tinggalkan Balasan