Kritik Cerpen: Dikejar Rasa Dosa, Melihat gambaran watak para tokoh-tokoh
Dalam cerpen ini ada begitu banyak tokoh yang menjadi cerminan kepribadian dan situasi kondisi saat ini, seperti tokoh Bapak yang skeptis terhadap lingkungan sekitarnya, tokoh bapak suami dari si ibu penolong adalah cenderung pandangan orang perkotaan yang melihat seseorang dari penampilan fisik, baju bagus, badan yang wangi dan sebagainya. Padahal seharusnya penilaian itu tidak bisa serta merta kita lakukan sebelum mengenal orang tersebut secara lebih dalam. Saat menolong tidak boleh melakukan seperti itu. Kejelekan tokoh bapak juga tidak bagus dalam berkomunikasi dengan istrinya, menggunakan kata kasar, memaki dimana hal tersebut lagi-lagi menunjukkan sikap seorang kepala rumah tangga yang buruk yang tidak bisa mengayomi rumah tangga, membimbing istri. Tokoh arogan bapak memeberikan gambaran lelaki yang tidak memiliki belas kasihan.
Begitu juga dengan tokoh ibu yang menjadi tokoh penolong atau tepatnya penolong yang ragu-ragu. Penolong yang takut dimarahi oleh suami, penolong yang takut akan biaya berobat nenek yang awalnya dikira borok namun tenryata adalah kanker payudara stadium lanjut, penolong yang takut dengan keadaan intinya. Gambaran keadaan perempuan atau ibu rumah tangga yang lemah yang tergantung dari laki-laki saja, tidak memiliki penghasilan sendiri sehingga tidak bisa membuat keputusan sendiri. Awalnya tokoh ini memberikan satu harapan kepada nenek namun semua berubah dengan ketakutan si ibu. Sebuah sikap yang tidak boleh dalam kehidupan sehari-hari.
Tokoh tetangga yang menjadi awal musabab semua ini, membawa nenek dari kampong, boleh jadi si tetangga karena ketidak tahuannya telah berniat menolong namun itulah potret para pendatang yang tanpa pengetahuan dan skill yang cukup melakukan urbanisasi ke kota dari desa dengan harapan yang begitu besar karena telah terpesona pada gemerlap kota yang hanya indah dan semu semata.dengan kepercayaan diri awalnya tetangga membawa si nenek namun semua musnah karena kebodohannya pula. Pembelajaran untuk kita jangan serta merta tertarik pada indah kota dan berniat ke sana tanpa tahu apa yang kita miliki dan apa yang kita punya untuk mengadu nasib, karena ke kota tanpa persiapan dan bekal yang cukup sama saja bunuh diri masa depan secara pelan-pelan.
Tokoh nenek sentral dari cerita. Gambaran perempuan yang lugu polos dan naïf dari orang desa.begitu mudah menggantungkan kepercayaan pada orang kota maupun orang yang dikenalnya. Seharusnya hal ini tidak boleh, harus bersikap waspada pada orang yang baru dikenal, mencari informasi, jangan mudah tergoda kata-kata indah. Namun keluguan sang nenek juga menjadi pertanyaan dimanakah tanggung jawab keluarga, sanak saudara, pemangku desa tempat ia berasal? Mengapa begitu mudah melepaskan atau membiarkan si tokoh nenek bepergian sejauh itu? Dan tentu saja tokoh tetangga yang tidak memiliki tanggung jawab sama sekali. namun bisa jadi ketidak bertanggungjawaban tokoh tetangga disebabkan oleh factor ketakutan ekonomi yang akan dirasa memberatkannya.
Dari segi psikologis perasaan kita diaduk-aduk antara perasaan iba, gemas, marah, dan sebal. Tokoh-tokoh yang melakonkan sifat-sifat umum yang kita jumpai dalam keseharian namun terkadang luput dari pengamatan indrawi. Banyak hal yang bisa dijadikan pembelajaran bahwa ada yang sudah bergeser dari sendi kemasyarakatan, rasa welas asih, tolong menolong atau kesetiakawanan sosial yang kian musnah dari sekitar adalah dampak dari zaman yang kian gila dan dunia yang kian tua. berbagai ajaran nenek moyang sudah banyak dilupakan dan berganti dengan ajaran kebendaan dan kematerian, semua selalu diukur berdasar materi semata semua di ukur berdasar polesan luar atau gincu hiasan. miris tapi itulah resiko sebuah perputaran zaman yang mau tak mau harus dihadapi, namun tentu saja hal tersebut bisa diminimalisir dengan kembali ke-ajaran agama masing-masing dan ajaran dari budaya bangsa sendiri yang penuh dengan nilai keluhuran yang tinggi.