LAYAKNYA DAUN SEMANGGI
Disan mengayuh sepedanya dengan cepat. Hari ini ia sudah berjanji akan membawa Anne berkeliling bukit di belakang sekolahnya dulu. Anne sangat suka melihat keindahan kota kecil ini dari jarak yang cukup tinggi. Disan memperlambat laju sepeda saat rumah Anne sudah terlihat dari belokan yang baru saja dilaluinya. Anne sudah menunggunya, lengkap dengan alat-alat melukisnya. ”Ia selalu terlihat cantik, bahkan dengan baju kebesaran dan syal hijau itu”. Disan membatin saat Anne melambaikan tangan dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya. Kali ini Disan tersipu. Selalu seperti itu jika Anne mulai tersenyum senang.
“Kita berangkat sekarang?” tanya Disan saat mendekati Anne yang masih berdiri di depan gerbang rumahnya. Iya, Anne mengangguk. Sepeda Disan pun kembali melaju dengan kecepatan penuh disertai tawa tak terdengar.
***
Anne masih takjub dengan pemandangan yang ada di hadapannya. Bagaimana mungkin tempat terpencil seperti ini memiliki banyak keindahan yang tak pernah terlintas di pikirannya sebelum pindah. Disan tertawa. “Kau pasti terlalu meremehkan kota ini, bukan?” Anne menoleh, wajahnya terlihat memerah. “Tenang saja. Aku sudah terbiasa. Semua memang selalu meremehkan kota kecilku ini, bahkan sebelum mereka mengunjunginya” ucap Disan maklum. Anne memegang bahunya, memberikan semangat. Disan hanya bisa tesenyum senang. “Kau harus segera melukis, Anne. Kalau tidak kita akan pulang setelah matahari terbenam. Aku tidak ingin Mommymu cemas dan harus menceramahiku dua jam lebih” ujar Disan dengan ekspresi pura-pura galak. Anne hanya bisa tertawa mendengarnya. Disan hanya tersenyum. Bersyukur ada tawa di setiap watunya bersama Anne.
***
Anne sudah lama menyelesaikan lukisannya, lukisan indah tentang kota pinggiran. Ah, lukisannya memang selalu indah. Dia memang sangat berbakat untuk hal itu. Disan dan Anne masih duduk di rerumputan bukit, menatap takjub pemandangan kota dari atas bukit. Disan memetik salah satu daun semanggi yang terselip di telapak tangan Anne, membuat Anne menoleh heran.
“Coba kau perhatikan. Daun semanggi ini mirip lambang apa?” Disan bertanya antusias. Anne menatapnya penuh selidik, ia hapal benar kelakuan Disan. Sebentar lagi pasti akan ada cerita panjang tentang asal usul daun semanggi atau dongeng karangannya sendiri. “Ayolah, Anne. Aku hanya ingin berbagi pikiran, jadi kau harus mendengarnya. Jangan menatapku dengan penuh selidik seperti itu”. Anne tertawa, tawa tak terdengar. Kau sudah tau posisimu, kata Anne. Disan hanya tersenyum, lantas mulai bercerita.
“Dahulu kala, di sebuah hutan yang jaaaaauh dari tempat kita duduk ini hiduplah sebuah masyarakat kuno yang mempercayai adanya penunggu di setiap pohon. Jadi, pada masa itu tidak ada seorang pun yang berani menebang pohon. Mereka hanya menggunakan kayu bakar dengan ranting-ranting pohon yang berjatuhan bila sudah kering. Konon, penunggu pohon-pohon tersebut adalah dewa dewi yang cantik dan tampan.” Disan mulai antusias bercerita, Ane seperti biasa, menjadi pendengar yang sangat baik.
“Eh, aku ralat deh. Sebenarnya, penunggu pohon itu hanya ada di tiga pohon yang paling besar, tapi mereka menguasai seluruh pohon yang ada di hutan” Disan menjelaskan sambil nyengir. Anne hanya menatapnya sebal. Kau benar-benar merusak imajinasiku tentang ceritamu, San. Disan hanya bisa nyengir membalasnya.
“Ketiga pohon ini terletak bersisian. Pohon yang paling besar dihuni oleh dewa yang sangat tampan. Di sisi kanan dan kirinya di tempati oleh dua pohon yang seharusnya kau tahu, pohon itu dihuni oleh dua dewi yang cantik. Kita beri nama Dewi Kanan dan Dewi Kiri saja. Suatu ketika, di desa samping hutan, menyebarlah wabah penyakit yang mematikan. Wabah tersebut hanya bisa diobati oleh beberapa ramuan yang harus dibakar. Warga desa bingung. Dimana mereka harus mendapatkan kayu bakar, sedangkan saat itu musim hujan sudah tiba.”
Anne masih menyimak dengan tenang. Tak memotong kisah ngasal yang diceritakan Disan.
Disan kembali menceritakan kisahnya, “Lalu, Dewi Kanan penjaga pohon pun mulai berdoa. Ia ingin mengorbankan dirinya agar pohon yang dihuninya dapat dijadikan kayu bakar oleh warga. Tuhan pun mengabulkan keinginannya, dewi pohon tersebut berubah menjadi tanaman paku, salah satu kelopak daun semanggi ini” Disan menunjukkan salah satu kelopak daun semanggi yang tadi dipetiknya. Anne mengangguk-angguk tanda mengerti.
“Tapi, Anne.. apa kau tahu kenapa kelopak daun semanggi ini ada tiga, sedangkan hanya satu dewi yang mengorbankan dirinya untuk kayu bakar?” Disan mulai bertanya. Ia suka melihat ekspresi bingung dan penasaran yang ada di wajah Anne. Cepat selesaikan ceritanya, San. Kau tidak ingin kena marah mommy, kan? Anne tidak menjawab, tapi balas mengancam. “Baiklah. Aku tidak akan membiarkanmu mati penasaran, Anne” jawabnya santai. Anne tersenyum puas, penuh kemenangan.
“Saat sang Dewi Kanan menjelma menjadi kelopak daun semanggi, sang dewa yang tampan pun ikut berdo’a, meminta dirinya agar dapat menemani dewi tadi. Kau tahu, dewa tersebut jatuh cinta pada dewi yang baru saja berubah menjadi daun semanggi. Tapi dewi yang satunya lagi, Dewi Kiri meminta agar Tuhan tidak melakukan hal itu. Ini cinta segitiga, Anne. Antara dewa dan dewi penjaga pohon. Lalu kau tau apa yang terjadi? Tuhan mengembalikan mereka seperti sediakala. Maksudku, dalam wujud lain. Mereka tetap bertiga dalam wujud daun semanggi. Cinta segitiga itu tetap abadi, Anne, dan ini salah satu simbolnya. Sekarang kau sudah tahu kan, mengapa kelopak daun semanggi terlihat seperi lambang hati?” Disan mengakhiri ceritanya dengan sebuah pertanyaan. Anne mengangguk, mengerti.
Harusnya kau menuliskan semua cerita itu, San. Disan hanya tersenyum kecil, pandanganya tetap ke depan tak melihat Anne yang mulai memperhatikannya. “Kau sudah tahu, Anne. Aku hanya ingin membagi ceritaku untukmu” jawabnya pelan. Anne menunduk, maafkan aku, San. “Aku ingin bertanya sesuatu, An. Bolehkah?” Anne mengangguk. Disan tak melihatnya, ia masih memainkan daun semanggi itu lantas kembali melanjutkan kalimatnya. “Kalau aku menjadi daun semanggi ini, seperti ceritaku tadi. Apa kau juga akan ikut bersamaku, memohon agar selalu ada di dekatku?”. Kening Anne berkerut.
Ya Tuhan. Sudah berapa kali ku bilang, kau tak perlu membahasnya lagi, San. Jawab Anne.
“Tapi aku perlu jawaban, An”. Sungguh, pertanyaan Disan tentang hal ini selalu membutuhkan jawaban. Antar aku pulang, San. Kita sudah selesai dengan bukit indah ini, pinta Anne sambil berkemas membereskan alat lukisnya. “Kau harus menjawabku dulu An” pinta Disan lagi.
”Apa yang membuatmu lebih memilih Beno dibandingkan aku? Bahkan kita lebih dulu berkenalan, An. Kenapa kau memberikan Beno tempat yang begitu banyak di hatimu sehingga aku hanya bisa mematung melihat kalian tertawa?” ucap Disan frustasi. Ia selalu tak bisa berpikir, bagaimana mungkin Anne bisa menerima Beno sebagai kekasihnya di bulan pertama mereka berkenalan. Aku sedang tak ingin berdebat, Disan. Aku ingin pulang, jadi tolong kau antar aku pulang, atau aku akan pulang sendiri. “Kita akan pulang, An. Tapi setelah kau menjawab pertanyaanku” ucap Disan tegas. Anne sudah bangkit dari duduknya, siap berjalan pulang tak dipedulkannya Disan yang sejak tadi mengungkit kembali masalah yang selalu timbul di benaknya. “Kau tahu, An. Aku bahkan mengorbankan banyak hal untukmu.” Langkah Anne terhenti, bagaimana pun ia tak mungkin meninggalkan Disan dengan keadaan seperti itu. “Aku masuk sanggar lukis, belajar caramu berbicara, menghabiskan waktu menemanimu melukis. Kau tentu tahu mengapa aku melakukan semuanya, bukan?. Kau sungguh sangat mengerti itu, An. Jadi, sekarang, saat aku mulai bertanya tentang hal itu, apa pantas kau mengacuhkanku?!” Disan berterik. Suaraya terdengar menyedihkan, frustasi. Ia teramat mencintai Anne, namun ia tak pernah tahu mengapa Anne tidak merasakan hal yang sama.
Anne berbalik, melihat Disan yang menatapnya penuh harap. Aku hanya tak akan bisa berbicara dengan keluargamu, San, jawabnya pelan. “Jadi kau memilih Beno hanya karena kau bisa berbicara dengan ibunya? Berbicara dengan kawan bisumu? Ayolah, An. Ini sungguh tidak adil bagiku” keluh Disan. Anne berjalan cepat mendekati Disa, “plaak” sebuah taparan mendarat cepa di pipikanan Disan. Kau seharusnya lebih mengerti, kau seharusnya paham. Tak ada seorang pun yang boleh menjelek-jelekkan kekurangan orang lain. Bagaimana mungkin kau mengatakan mencintaiku saat kau menghina kekuranganku, San? Kau seharusnya lebihmengerti, lebih paham, lebih dewasa di saat umurmu sudah memasuki kepala tiga, San. Kau seharusnya belajar dari cerita-cerita itu. Terimakasih untuk pemandangan indah kota ini. Anne segera pergi dari bukti itu setelah mengakhiri kalimatnya.
***
Disan kembali terduduk, lemah menatap pemandangan indah di hadapannya. Dia sungguh belum dewasa, Disan sangat menyadai itu. Dan tamparan Anne tadi benar-bena membuatya mengerti. Disan menghembuskan napas berat, menyesali kejadian tadi, menyesali kata-katanya. Ia hanya bisa mengingat awal perjumpaannya dengan Anne.
15 tahun yang lalu….
Anne sedang duduk menggunakan kursi lipat di halaman rumahnya. Ia mencoba melukis rumah yang baru sehari ditempatinya. Disan mengendap-endap dari pagar depan, memperhatikan Anne yang tidak menyadari keberadaannya. Usil, Disan memetik beberapa tangkai bunga hias yang berada di bawah pagar. Bunga itu selalu ada di setiap rumah yang berada di gang ini, hanya berbeda warna. “Hai, pelukis hebat!” teriaknya dengan volume suara yang tidak telalu keras. Anne menoleh, mencari sumber suara setahunya hanya dia yang duduk sendirian di halaman rumah. Disan melambai-lambaikan tangan, menyuruh Anne mendekat. Anne pun mendekatinya. “Rumahku di depan gang. Kau boleh berkunjung kalau kita berteman.” Disan mulai memberi tawaran. Anne hanya mengangguk bingung. Disan mulai menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, salah tingkah. “Ini untukmu, aku memetiknya di depan rumah” katanya berbohong. Jelas-jelas ia baru saja memetik bunga hias itu di depan rumah Anne. Anne mengambil bunga itu. Disan menjulurkan tangannya, “Namaku Disan, panggil saja San-San. Itu panggilan khusus untuk orang-orang tertentu” jelas Disan sambil nyengir. Anne tak membalas uluran tangan itu, ia berlari menuju kursi lipatnya. Disan bingung, memutuskan kembali pulang, berjalan tanpa semangat. Pikirannya berkecamuk, heran kenapa gadis itu tak ingin berkenalan dengannya. Di belokan gang, Disan menyempatkan diri untuk kembali melihat sosok yang baru saja diajaknya berbincang, dan ia malah menemukan sosok gadis itu di belakangnya dengan napas tidak karuan. Sepertinya ia baru saja berlari, mengejar Disan. “Hei, kau tidak apa-apa?” tanya Disan. Gadis itu mendongak, tersenyum menatap Disan lalu menyodorkan sebuah kertas. Disan tersenyum membacanya. Setelah itu, mereka selalu menghabiskan waktu bersama-sama.
Mataram, 28 November 2014
00:00