Lelaki Pesiul

Cerpen, Fiksi

jangan-pernah-menyakiti-wanita

         “Segala sesuatu akan menjadi berarti jika sudah kau lewati” hening membius kami yang sedang berhadapan, hanya seiris bawang saja semua sisi dari kepala kami akan bertemu, tapi hanya hembusan napas yang bisa kami sama-sama rasakan.
Malam ini terlalu dingin untuk berdiskusi, airmata pun akan beku jika aku berani mengeluarkannya, aku hanya bisa mendengar dengusan napasnya yang indah, harum, dan segar. Malam ini kami hanya diam dengan gaya yang aneh. Masih bertatap-tatapan dengan jarak seiris bawang lagi semua sisi wajah kami bertemu. Tapi itu tak kami lakukan, kami hanya saling memberi nafas, sambil sesekali aku atau ia menangis.
Setahun lalu, ia berjanji untuk meminangku, aku wanita yang selalu menagih janjinya tiap pekan, seakan sepekan adalah setahun aku menunggu. Aku selalu merengek di pundaknya dan sedikit memaksa untuk mempersunitngku. Aku sudah tidak tahan sendiri, dunia ini terlalu bengis jika aku berani menghadapinya sendirian.
Aku tak pernah menyukai siulan-siulannya, itu bernada mengejekku. Ia punya banyak lagu siulan yang ia nyanyikan untukku tergantung dari seberapa kuat aku merengek. Kadangkala saat aku diam menangis menunggu jawabannya, ia akan bersiul sangat lembut bagai lagu pengantar tidur yang jika kau dengar, kau tak akan ingat untuk bangun. Kadangkala saat aku bergemuruh dan memukul-mukul pundaknya, ia memainkan siulan yang bising, mirip orkestra drumband saat upacara kenegaraan. Itu selalu membuatku diam karena malu. Jika ia memainkan siulan itu, aku selalu merasa dipermainkan.
Malam ini sudah setahun kejadian itu, aku datang untuk memukul bokongnya, aku sudah lelah menunggu, aku benar-benar ingin dipersunting. Atau aku hanya ingin di dekatnya. Tak perlu dipersunting, tinggal bersama mungkin. Kali ini ia tak bersiul, ia hanya terus memandangiku dari ujung rambut sampai ujung dagu kemudian mengulanginya sampai aku tak tahu harus berbuat apa. Ada guratan-guratan kesedihan atau kasihan atau bimbang atau marah atau aku tak pernah benar-benar bisa membaca matanya.
Aku menunggu sampai larut malam, saat-saat yang hening dan kau tak bisa berkata apapun, hanya tatapan dan nafas yang beradu menjadi lagu kedamaian. Aku pikir inilah damai yang sebenarnya, damai saat aku dan dia menyatu dalam malam yang dingin.
Handphonenya berdering, suara itu mengusik ketenangan kami, atau mungkin hanya ketenanganku. Ia bergegas menempelkan benda dingin itu ke kupingnya, aku hanya lihat komat-kamit tak jelas dari bibirnya. Sekian lama aku menunggu di titik yang sama ia datang kembali ke posisi aneh kami tadi. Ia memulai menyentuhku dari ujung rambut sampai ujung dagu, tapi bukan dengan pandangan lagi melainkan benar-benar menyentuhku dengan jari-jari kekarnya. Aku tersenyum yang kuyakin sangat manis. ia mendekati telingaku dan aku bersiap memberikan respon “Aku harus pulang, tunanganku tengah sakit”. Senyumku berubah menjadi tawa, tawa sebesar-besarnya, sebebas-bebasnya, sepilu-pilunya.
Ia berlalu dengan lagu siulan yang tak pernah ku dengar sebelumnya. Siulan kematian.


Tinggalkan Balasan