MAHASISWA ATAU HANYA SISWA 1

MAHASISWA ATAU HANYA SISWA?

Non Fiksi, Opini

MAHASISWA ATAU HANYA SISWA

ASRI YUNI (E1C112013)

VC

 

Aksi unjuk rasa menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi paling gencar dilakukan oleh mahasiswa. Aksi paling brutal terjadi di kota Makassar seperti yang sering kita saksikan di televisi. Banyak fasilitas umum yang dirusak bahkan salah satu media sempat mengabadikannya lewat video saat mahasiswa merusak lampu lalu lintas. Polisi yang bermaksud mengamankan ikut menjadi sasaran emosi mereka. Tak ayal bentrokan antara kedua kubu pun pecah. Bahkan warga serta merta bergabung dengan pihak keamanan memukul mundur mahasiswa hingga ke kampusnya. Hal ini bukan tidak beralasan. Sebagai pengguna jalan, warga merasa haknya dirampas dengan aksi blokir jalan yang dilakukan oleh mahasiswa. Bayangkan saja, sudah harga BBM yang dibeli naik, jalan ditutup, harus memutar melalui jalan lain yang artinya semakin mengurangi isi tangki kendaraan, apalagi yang memakai mobil, truk, atau kendaraan besar lainnya, bagaimana warga tidak kesal.

Pasca kenaikan harga BBM bersubsidi yang diumumkan secara langsung oleh Presiden sontak menimbulkan beragam reaksi masyarakat. Pro-kontra pun tidak dapat terelakkan. Berbagai pernyataan, dukungan maupun protes, hingga bahasa-bahasa sarkastik pun mengemuka di tengah-tengah kita. Mahasiswa pun tak luput dari itu semua. Kita tidak membahas orang lain. Kita membicarakan identitas dan kapasitas kita sebagai mahasiswa. Namun parahnya, ternyata prasangka buruk semasa pilpres terhadap Jokowi masih mengendap dalam hati sebagian mahasiswa. Apakah kita sudah membuktikannya? Atau sudah adakah orang yang membuktikannya? Atau kita hanya terpengaruh karena selalu dikompori oleh media? Sebagai insan terdidik, bermoral dan beragama, kita tidak sepatutnya seperti itu. Bukankah Allah Swt. dalam Q.S. al-Hujurat ayat 12 menyuruh kita menjauhi prasangka, karena sebagian dari prasangka itu adalah dosa? Coba kita renungkan dalam-dalam. Di sini kita disuruh menjauhi prasangka, artinya dilarang dekat-dekat. Nah dekat saja sudah haram apalagi berprasangka yang masih belum tentu kebenarannya. Ironisnya lagi kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa beragama Islam.

Sebagai warga Negara kita berhak menyuarakan aspirasi kita seperti yang tertuang dalam Undang-Undang no. 9 tahun 1998. Namun sebelum turun ke jalan sebaiknya kita, sebagai seorang akademisi patut mempertimbangkan berbagai isu yang tengah berkembang di masyarakat seputar kenaikan harga BBM bersubsidi dengan analisis khas mahasiswa. Namun sebagai bahan renungan malam cukup hanya dua poin saja dulu.

Pertama, mengenai kalimat yang diucapkan oleh demonstran, yaitu “kami menolak kenaikan harga BBM”. Saya mencoba meluruskan kalimat tersebut. Dalam sebuah running text salah satu televisi nasional tertulis bahwa harga keekonomian premium adalah Rp. 9.200. Artinya pemerintah membeli minyak dengan harga Rp. 9.200/liter. Saya tidak akan membahas bagaimana hitung-hitungannya sehingga menjadi angka tersebut. Kalau penasaran tanya anak ekonomi saja. Saya juga membatasi masalah seputar harga premium karena sepengetahuan saya tidak ada mahasiswa yang memakai solar untuk motornya. Nah jika harga premium sebelumnya adalah Rp. 6.500, berarti pemerintah menanggung kerugian sebesar Rp. 2.700. Namun pemerintah tidak enak mengatakannya sebagai kerugian maka diperhaluslah menjadi subsidi. Sekarang pemerintah mengurangi subsidi sebesar Rp. 2000 sehingga harga premium menjadi Rp. 8.500. Artinya pemerintah masih membantu kita membeli premium walaupun hanya dengan Rp. 700. Tetapi, jika kita membeli premium dengan harga Rp. 10.000 misalnya, nah ini baru yang dinamakan menaikkan harga karena sudah lebih mahal dari harga keekonomiannya sehingga namanya non-subsidi. Jadi seharusnya mahasiswa bilang, “kami menolak kenaikan harga BBM bersubsidi” atau bisa saja setelah membaca tulisan ini mahasiswa besok mengatakan “kami menolak pengurangan subsidi BBM”.

Kedua, kita dipengaruhi oleh statement, “mengapa pemerintah menaikkan harga BBM di saat harga minyak dunia turun”. Salah satu wakil ketua DPR-RI berkicau dalam akun twitternya:

“Ini pemerintah pertama dlm sejarah Republik, menaikkan harga BBM ketika harga minyak dunia jatuh (USD 75). Di APBN dianggarkan USD 105”.

Lagi-lagi hanya kata “BBM” saja, paragrap di atas sudah menjawabnya. Namun yang menjadi masalah adalah seolah-olah pemerintah tidak pro-rakyat “kecil” dengan tetap menaikkan harga BBM bersubsidi sementara harga belinya turun. Siapakah yang sebenarnya pro-rakyat? Pemerintah yang mencoba mengalihkan subsidi menjadi benda nampak, seperti rumah sakit, sekolah, jalan raya, jembatan, irigasi, waduk, hingga traktor gratis atau subsidi pupuk untuk petani? Ataukah mahasiswa yang demo merusak fasilitas umum, membuat warga kesal, saling lempar dengan polisi dan warga yang kesal tadi, mengumpat, menghina hingga memfitnah atau berbagai hal mudarat yang lain? Apakah namanya kita membela rakyat kecil tetapi cuek melihat avanza, xenia atau mobil mewah lain setiap hari full tank di SPBU? Ataukah kita mahasiswa kurang informasi yang tidak tahu bahwa 70 % BBM bersubsidi justru dinikmati orang-orang bermobil tadi?

BBM adalah sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui. Sama seperti emas, besi, tembaga dan lain-lain. Tentu kita tahu ini setelah belajar IPA saat masih menjadi siswa. Contoh paling dekat dalam kehidupan kita apalagi sebagai perempuan adalah perhiasan emas. Kita tahu, para siswa pun tentu tahu bahwa kita tidak akan rugi membeli emas walaupun disimpan selama bertahun-tahun. Malah akan semakin untung jika dijual di kemudian hari. Naik turun harganya pun dari tahun ke tahun tergantung dinamika pasar. Fenomena ini mirip dengan BBM. Sekarang harga minyak dunia turun siapa yang akan tahu harga tahun depan malah meningkat drastis. Nah mumpung harga minyak masih rendah, dana alokasi pembangunan infrastruktur bisa tercapai dengan cepat. Jadi nanti pemerintah tidak bingung untuk mencari dana ketika harga minyak dunia kembali naik. Artinya apa? Harga minyak dunia naik, pembangunan jalan terus. Jadi pemerintah tidak perlu ikut menaikkan harga sehingga rakyat tetap menikmati BBM tanpa mengaitkannya lagi dengan harga minyak dunia. Tapi kenapa saat ini harga minyak dunia menjadi patokan? Karena Indonesia masih mengandalkan minyak dari luar. Inilah masalah sebenarnya yang sangat membebani anggaran. Jadi mengapa harga minyak dunia mesti dikambing hitamkan?

Indonesia adalah salah satu konsumen BBM terakus di dunia yang bersaing dengan Negara maju. Seperti sebuah keluarga besar dengan pendapatan minim. Analoginya seperti ini. Seorang kepala keluarga mempunyai pendapatan 1 juta/bulan. Namun dia harus membiayai anggota keluarganya dengan total pengeluaran 1,5 juta/bulan. Apakah dia tega membiarkan anak istrinya kelaparan? Bagaimana solusinya? Apakah dengan aksi bakar diri sekeluarga? Atau sama-sama minum baygon? Tentu saja tidak. Solusi tercerdas dan tercepat adalah minjam sama tetangga. Begitu juga dengan Indonesia. Kita malah bersaing mengkonsumsi BBM dengan Negara maju. Namun ironisnya kita adalah Negara berkembang. Maka jangan bengong jika tiba-tiba tahu hutang sudah menggunung. Menurut data Bank Indonesia, hutang Indonesia sudah tembus angka Rp. 3000 triliun. Sungguh sulit membayangkan angka sebesar itu. Jika pemerintah masih bergaya seperti dulu, jangankan 10 tahun, sampai kiamat pun hutang kita tidak akan terlunasi. Maka jangan protes nanti di akhirat jika pahala kebaikan kita habis sebagai penebus hutang di dunia karena tidak setuju dengan pemerintah yang akan mencicil hutang Indonesia dengan jalan menaikkan harga BBM bersubsidi.

Sekarang penjajahan sudah tidak relevan dengan kontak fisik seperti dulu. Namun akar devide et impera masih menancap kuat di bumi Indonesia ini. Semua juga tahu kita tidak lagi dijajah oleh bangsa manapun. Kita sudah merdeka 69 tahun yang lalu. Namun mengapa keadaan masih saja seperti ini. Jawabannya adalah karena kita dijajah oleh bangsa sendiri. Kita dijajah oleh elit-elit berkepentingan. Kita tidak sadar diadu domba sesama bangsa sendiri. Buktinya rekan-rekan mahasiswa berani mengumpat, memaki, hingga memfitnah pemerintah hanya karena kenaikan Rp. 2000. Apakah fitnah yang harganya kurang dari harga pembunuhan sepadan dengan tidak mau merelakan uang seharga sekali parkir. Bukankah energi satu bungkus nasi untuk demo masih lebih mahal dengan menambah uang seharga satu batang rokok. Kemanakah hitung-hitungan siswa itu ketika kita sudah menjadi maha? Darah muda yang bergelora memang meletupkan semangat yang tinggi. Namun semangat itu bukan saja berarti buang-buang energi di atas aspal, di bawah terik matahari, bawa-bawa spanduk, teriak-teriak sampai tenggorokan kering. Akan tetapi kan bisa dialihkan ke sektor yang lebih menunjukkan diri kita sebagai akademisi. Misalnya dengan membuat event di kampus sebagai mediasi antara pemerintah dengan mahasiswa. Mahasiswa bisa saja mengundang menteri ESDM atau bahkan Presiden sekalipun untuk menghadapi sekaligus mendengar aspirasi dari perwakilan mahasiswa. Hal ini bisa berpotensi menjadi ajang debat hebat saat ini bahkan mungkin sebuah oase di tengah panasnya aksi unjuk rasa. Apalagi dengan mengundang salah satu televisi nasional dan disiarkan secara live. Tentu akan bernilai tersendiri bagi kampus kita ini.


Tinggalkan Balasan