Malam Tanpa Wajah

Cerpen, Editor Picks, Fiksi

389931_241024725964276_100001702515230_612525_1566151853_n

Oleh : Ichwanus S

Warnanya hitam legam, selegam gulita ditengah malam. Ia berjalan antara ranting – ranting kering yang di basahi hujan. Hanya dua pasang bola mutiara itu yang bisa dibawanya kemana – mana. Mutiara yang sudah sejak lahir tumbuh diwajahnya, bola matanya. Di semak belukar, lagi – lagi tubuhnya menyeruak mengeja langit mendung. Berharap purnama tidak akan pernah hadir. Berharap kali ini hujan benar – benar memihak pada takdir yang mengutuknya. Berharap bisa terus mengawasi tubuh kekasihnya hanya dengan wujud kucing hitam…

***

Kedua bocah itu berlarian menatap hujan menggerutu di depan teras rumah mereka. Di biarkan begitu saja oleh ibunya untuk mengangkat jemuran, yang sejak sore tadi belum di angkat. Baju – baju berderet menggantung pada tali – temali. Dengan sedikit berjinjit Gadis dan Gilang meraih beberapa baju yang sudah kering meski sudah lembab oleh embun malam. Dua bocah kembar itu sudah begitu hafal mana pakaian yang harus di angkat, mana pakaian yang harus tetap dibiarkan pada tali jemuran.

Tetap di biarkan meski hingga larut malam, larut malam lalu di gusur pagi, pagi lalu matahari meninggi, pakaian itu kering, tetap dibiarkan dikoyak angin siang. Hingga langit jemu, lantas hujan kembali menggerutu mendekap janjinya pada bumi. Hujan sampai malam, pakaian itu basah lagi, tetap di biarkan. Kalau tidak, ibu akan menyuruh kedua bocah kembarnya tidur di teras rumah sampai pagi, berbantal dengan lipatan pakaian yang tidak boleh di angkatnya tadi. Sepasang pakaian dari baju kaos putih bermotif lukisan bulan sabit, gambar bulan sabit yang di duduki dua pasang kekasih sedang bercinta.

Pernah pada suatu malam, di pengawal musim hujan. Di saat bintang – bintang belum nampak satupun di ceruk langit, hanya menyisakan bulan purnama mengintip dari celah awan  mendung. Gadis dan Gilang benar – benar tidak bisa tidur malam itu. Karena embun perlahan merayap pada dinding kaca, masuk melalui celah – celah jendela kamar hingga sampai ke tulang punggung mereka. Dingin, katanya. Gadis membuka jendela kamar, tampias air hujan seperti jari malaikat pelan menyentuh pipi mungilnya, sementara Gilang semakin melipat tubuh dibalik selimut.

“Dis kakak kedinginan, jendelanya kenapa dibuka.?, apa adik nggak takut, Ibu kan belum pulang.!?” (jam dua belas lebih seperempat)

“kakak kangen nggak sa

ma Ayah.!?” Gadis menatap lurus halaman depan rumahnya yang di penuhi tali – temali jemuran, nyala lampu neon yang menerangi gerbang sesekali dikalahkan kilatan petir, setelah itu sepi. Lagi, Gadis menatap pakaian itu terhuyung ditengah gamparan hujan.

“kangen.?, gi mana mau kangen, kita kan tidak pernah kenal siapa Ayah.?” Angin terlalu keras hingga membuat debit air hujan semakin deras mengoyak pakaian itu di sana. Gadis refleks menutup jendela lalu setengah tergesa berlari ke luar kamar.

“Kamu mau ke mana.?”

“Pakaian itu jatuh, adik mau mengangkatnya, tunggu sebentar…”

“tapi,,,hei,,,jangan,,,nanti Ibu…

Dua bocah kembar itu kini benar – benar merasakan gigil pada gemeratak gigi mungil mereka. Gadis tidur berbantal lipatan baju kaos putih yang basah, dan Gilang kebagian celana panjang kain katun hitam yang juga basah, di teras rumah kakak beradik itu saling berangkulan (jam satu tiga puluh dini hari). Ketika langit memang selalu menepatkan janji-Nya. Giliran purnama yang menagih waktu merebut langit mendung menjadi benderang, hingga biasnya sampai ke teras rumah. Gadis dan Gilang masih rebahan, saling tersenyum berhadapan. Merasakan kehangatan bulan.

***

Warnanya hitam legam, selegam gulita ditengah malam. Ia berjalan antara ranting – ranting kering yang di basahi hujan. Hanya dua pasang bola mutiara itu yang bisa dibawanya kemana – mana. Mutiara yang sudah sejak lahir tumbuh diwajahnya, bola matanya. Di semak belukar, lagi – lagi tubuhnya menyeruak mengeja langit mendung. Berharap purnama tidak akan pernah hadir. Berharap kali ini hujan benar – benar memihak pada takdir yang mengutuknya. Berharap bisa terus mengawasi tubuh kekasihnya hanya dengan wujud kucing hitam. Ia berusaha mengeong, tapi suaranya tiba – tiba memberat, sudah tidak seperti suara kucing, ia berusaha mundur menyeruakkan tubuhnya ke dalam semak, agar tidak tersiram cahaya purnama.

Tapi apa daya, langit tetaplah langit yang merajai angkasa. Purnama itu semakin menyembul, mengaburkan warna mutiara yang sejak lahir sudah tumbuh di wajahnya, pandangannya gelap, mengabur, kemudian hilang seiring bola matanya membesar mengikuti bentuk kelopak mata seorang laki – laki. Semak itu bergetar, bergesekan dengan permukaan bulu – bulu hitamnya menjelma kulit dan tubuh manusia. Kini ia benar – benar sempurna berdiri sebagai laki – laki, sempurna dalam kutukan.

(Jam tiga kosong – kosong dini hari). Seorang laki – laki buta meraba jalan setapak dengan tongkat dari ranting kayu. Masih dalam keadaan telanjang, terbata – bata melangkah dari taman belakang rumah Gadis dan Gilang. Selayaknya orang buta yang selalu menajamkan pendengaran, hanya suara angin yang lewat. Malam sudah benar – benar alpa dari dialog anak manusia. Sesekali ujung tongkat itu menyentuh rerumputan yang dibasahi hujan. Menuju tali – temali jemuran yang membentang sepanjang halaman depan rumah. Mencari bajunya di sana, sejenak ia berhenti merasa ada yang ganjil. Tidak seperti biasa sebelumnya, dari radius lima meter tepat diteras rumah. Suara yang sangat ia hafal seperti suara bendera berkibar ditengah malam tapi suara itu tidak ada, baju itu, iya baju itu tidak ada di sana. Melainkan ia menemukan suara dua anak kecil mendengkur. Dan ia tahu siapa mereka itu, bahkan ia lebih tahu jauh sebelum mereka lahir. Anaknya.

Ketukan ujung tongkat itu berhenti di samping telinga Gadis. Lantas tubuh telanjangnya merunduk, meraba kepala buah hatinya. Ia benar – benar merutuk bulan purnama yang menguutuknya—andai saja ia bisa sempurna sebagai seorang Ayah, tidak buta ketika menjadi laki – laki, dan buta ketika menjadi seekor kucing. Ia terkesiap setelah meraba lembut kepala kedua anaknya dengan penuh kasih sayang. Tangannya yang sudah tidak berbulu kucing merasakan ada buntalan baju dibawah kepala mereka, basah. Belum sempat ia mengangkat baju itu, suara pintu kayu bederit tepat satu meter dihadapannya. Cleopatra.

Perempuan itu keluar dalam keadaan telanjang bulat. “Aku sudah tahu, kau akan menuntut janji langit itu malam ini, begitupun dengan aku sayang, setelah janjiku terpenuhi, aku akan mengoyak – ngoyak seluruh bagian tubuhmu hingga tanpa sisa.!” Perempuan itu berkata setelah cukup lama sejenak memeluk tubuh suaminya. Laki – laki itu, ia biarkan kehangatan menguasai seluruh lekuk tubuhnya, kehangatan yang selama ini ia rindukan. Kehangatan yang selama ini membuatnya cemburu kala ia hanya menjadi seekor kucing hitam. Cemburu ketika melihat setiap lekuk tubuh indah istrinya (Cleopatra) dipeluk hingga mendesah, oleh tubuh laki – laki lain. Ketika ia masih dalam seekor kucing. Cemburu yang membuat sakit dadanya.

“Tapi kamu hanya seekor putri duyung, yang pernah aku temukan terdampar di tepi laut biru, tidak lebih kamu hanya seekor ikan betina.!”

“aku sudah lama menjauhkan tubuhku dari asin air lautan, semenjak kau menemukanku pertama kali suamiku, apa kau lupa ketika menahan lapar hingga sampai purnama benar – benar tiba, tidak ada ikan kecuali aku waktu itu. Karna aku sang ratu ikan telah memerintahkan isi seluruh lautan untuk tidak bermain – main ke tepi laut. Karena ada kamu, seekor kucing hitam liar yang sedang tesesat mencari mangsa.!”

Laki – laki itu ingat, lima belas tahun yang lalu. Sebelum ia benar – benar mengenal kutukan. Berjalan di antara bibir dermaga, mengais – ngais tumpukan sampah para penumpang. Nihil ia tidak menemukan apa – apa selain air lautan yang berbuih. Lalu dua pasang bola mata mutiaranya menatap lekat – lekat langkah seorang ibu menggendong anaknya dengan tangan kiri, dan tangan kanan membawa kantung kresek dipenuhi ikan segar. Liurnya menetes, matanya menajam, ekor panjangnya melambai – lambai tanda siasat sudah ditemukan. Cakarnya semakin rekat pada bibir dermaga, melangkah masuk ke dalam kapal besar yang sudah merapat.

Jangkar kapal lalu menyembul dari permukaan laut yang mulai memerah dipantulkan warna senja. Kapal besar itu berangkat, menjauh meninggalkan kotanya. Kota yang dipenuhi gang – gang sempit, tempat dimana ia selalu berlari menghindari lemparan sapu lidi. Gang – gang sempit yang disetiap ujungnya tergeletak TPS, tempat ia mengais isi perut. Kucing itu mengeong, mendengus diatas geladak kapal lantai tiga, menajamkan penciuman demi mengeja jejak – jejak aroma ikan segar yang dibawa ibu tadi. Lengkap sudah, lima meter dihadapannya. Ibu itu sedang duduk dikorsi penumpang sambil menyusui anaknya. Kini tinggal hanya menunggu malam yang hitam.

Sudah satu jam lebih tiga puluh menit, kapal itu berlayar tenang diatas lautan yang bermandikan cahaya purnama. Beberapa penumpang mengelompokkan diri sesuai urutan usia masing – masing. Tiba – tiba saling menyapa, saling mengenal, saling memberitahu asal – usul suku masing – masing. Yang tua – tua sibuk berdiskusi tentang masa muda. Yang muda – muda sibuk bercanda sambil menyanyikan lagu Rhoma Irama “…hoooo malam bulan purnama bermandikan cahaya…”.

Tidak sehitam malam yang diharapkan. Sekarang kucing itu mengambil tempat yang lebih tinggi, diatas atap kapal lantai tiga. Ia masih tetap mendengus aroma ikan segar, menjaga aroma itu agar tidak hilang. Melakukan siasatnya ternyata tidak semudah melambaikan ekor. Yang kini hanya terlipat kuyu dengan ujung ekor membelai perut laparnya, ia duduk membuang jauh – jauh pandangan, sesekali mendongak membiarkan bias cahaya purnama tercelup masuk ke dalam bola matanya yang seputih mutiara. Ia mengeong panjang. Bahasa kucing yang meminta awan mendung agar membungkus purnama “meeeooong…!”.

Sontak para penumpang diam, sejenak berhenti dari kesibukan masing – masing. Mereka diam bukan lantaran ada kucing mengeong diatas atap. Melainkan gara – gara laju kapal perlahan melambat, ketika seorang Nahkoda kapal memutar roda kemudi untuk berbelok. Lalu dari kejauhan terdengar sayup – sayup seperti suara terompet. Ada kapal – kapal lain disebrang pelabuhan sana. Nampak cahaya – cahaya lampu bagai kunang – kunang berbaris, berpendar disepanjang bibir pantai. Menegaskan tujuan sudah dekat. Tujuan pada kota yang lain.

Kucing itu mendelik, telinganya bergidik menajamkan pendengaran. Gelisah, bisa – bisa ikan itu tidak jadi disantapnya. Ia melompat lantas berlari menuju geladak. Kembali lagi mengawasi tempat penumpang. Kresek ikan itu masih teronggok disana, diantara deretan bangku – bangku panjang. Kesempatan, sudah saatnya makan malam. Siapa yang akan perduli, bahkan pemiliknya pun tidak, karena sudah terlanjur lelap bersama anaknya. Perlahan ia mengendap diantara kaki – kaki penumpang yang selonjoran. Telak, ia mendapatkan sekresek besar ikan segar. Menajamkan cakar, mencakar – cakar agar permukaan kresek itu sobek. Ia geram karena kapal semakin melambat siap menepi, kertas kresek itu belum juga robek. Ia pun menggigitnya mendapatkan taringnya menembus permukaan kresek, akhirnya ia melanjutkan dengan mencakar. Tapi sang ibu terbangun menemukan bocah kecilnya kencing, mengencingi tas kresek hitam berisi ikan, ikan yang kini berusaha dirampas seekor kucing hitam, kucing hitam yang sudah terlanjur basah kena kencing.

Geram, si pemilik ikan mencengkram bulu tengkuk sang kucing hitam, sebelum kucing itu mendapatkan satupun ikan segar. Ia mengeong, meronta tanpa daya, pasrah akan dibuang ke laut. Lautan yang dihuni ikan – ikan raksasa, seperti hiu cucut martil bertaring lebih besar dari taring yang selama ini ia banggakan didarat. “Meooong,,,meooong,,,” tubuh kurusnya mirip pakaian basah menggelantung pada penjepit pakaian. Tubuhnya tidak secepat ketika berlari menyeruak dalam gang – gang sempit yang gelap, menghindari lemparan sapu lidi ditengah jalanan kota. Sementara kapal semakin menepi setelah jangkar diturunkan seiring tubuh kurusnya terhuyung dilempar ke bibir pantai. Hidupnya tidak berakhir digigi hiu.

Patah – patah ia berjalan menahan tubuhnya yang terasa remuk. Remuk terhempas pada batang Mangrove dari ketinggan kapal berlantai tiga. Perutnya bukan sekedar lapar, tapi benar – benar terkoyak. Kini ia sudah tiba dikota yang lain. Menatap di sepanjang bibir pantai yang lengang, tubuhnya menggigil kedinginan, perih. Perih karena beberapa helai bulu hitamnya terkelupas tersangkut pada ranting – ranting pohon. Ia terus berjalan tertatih, kehausan. Meooong (persetan dengan air lautan yang asin), tidak ada harapan selain air laut menjilati pesisir pantai.

Hingga berusaha meminumnya, menuruni bibir pantai yang landai. Ia menemukan wajahnya terpantul pada ombak air pasang yang menjamah pesisir. Begitu kurus, begitu pucat, bahkan bola mata mutiaranya nampak tak berbinar, hanya menempel pada wajahnya yang hitam. Ia mencecap air lautan dengan ujung lidahnya seperti mencecap air genangan sisa hujan digang – gang sempit perkotaan. Diregunya. Regukan pertama ia mendongak purnama, regukan kedua ia menatap buih – buih lautan, regukan ketiga ia tidak percaya, mengendus air laut. Meooong, ombak lagi – lagi menyerbu. Angin darat berhembus menghempas lambaian ekornya. Ia masih tidak percaya, dilumatnya pasir pantai, tenggorokannya tersedak meeekhhkhhhooong (ini memang pasir pantai). Kini ia percaya pada ketidakpercayaan “air laut itu tidak terasa asin.!”

***


Tinggalkan Balasan