Cerpen: Mantan Istri Suamiku
Aku melihatnya menangis di bawah lampu taman itu. Ia bertemankan dirinya sendiri, aku tak tahu mengapa lelaki itu menangis disana. Hanya saja, ia membuat laju mobilku terhenti. Mataku menyimak suara tangisannya. Memang ia menangis tidak dengan suara keras, hanya saja caranya menangis membuatku cukup berani mendekatinya.
Pikiran negatif mulai menari-nari di otakku. Mungkin lelaki itu akan membentakku ketika mencoba mendekatinya. Atau ia akan mengusirku dengan matanya yang tajam. Saat itu, otakku kalah dengan rasa penasaran yang timbul akibat tangisan lelaki itu. Ku matikan mesin mobilku di pinggir taman kota itu, dengan langkah yang sedikit ragu, aku mendekati lelaki yang sedang duduk menangis di bawah lampu taman itu. Entah karena jejak kakiku atau wangi parfum yang selalu melekat di baju kerjaku, membuat lelaki itu menghentikan tangisannya. Ia menatapku yang baru ingin menyapanya. Tak ada suara, hanya saja kalau tidak salah, malam itu ia menyunggingkan senyum tipisnya seraya mencoba menyembunyikan wajahnya yang baru saja basah dengan tangisan.
***
Seperti biasa setelah cuci muka, aku menghabiskan pagiku dengan menyiapkan sarapan di dapur. Suamiku mungkin masih terlelap saat itu. Aku belum berniat membangunkannya, semalam ia memang pulang larut malam, dan itu bukan hal yang tidak biasa. Setiap malam, aku memang suka menunggu kepulangan suamiku. Sudah beberapa kali ia mengingatkanku untuk tidur saja duluan, tapi sudah beberapa kali juga aku menolak permintaannya itu. Bagiku, tak ada waktu yang terbuang sia-sia jika seseorang yang ku tunggu itu suamiku.
Ia selalu tersenyum mendengar alasanku itu, seraya mengusap kepalaku, ciuman hangatnya yang mendarat di keningku selalu membuatku merasa menjadi wanita yang paling beruntung di dunia. Walaupun di usia pernikahan kami yang telah menginjak setahun, tak ada tangisan bayi yang terdengar di rumah mewah peninggalan orangtuaku.
Sarapan sudah tersedia di meja makan ketika suamiku turun dari kamar kami yang berada di lantai dua. Ia terlihat begitu tampan dengan setelan kemeja biru langit dipadukan dengan dasi biru gelap dan jas hitam. Satu lagi, aroma parfum kesukaanku tak pernah lupa ia gunakan untuk menambah daya pikatnya pagi itu. Senyumannya selalu membuat rasa lelahku hilang begitu saja. Mungkin ia memiliki kekuatan sihir yang dapat membuat seorang pekerja yang malas menjadi begitu bersemangat? Entahlah, yang jelas aku begitu menyukai senyuman suamiku.
Setelah menghabiskan sarapannya, aku membantu suamiku memasukkan kopernya ke mobil jazz hitam kami, ia akan ke luar kota beberapa hari ini untuk perjalanan bisnis. Walaupun harus tinggal sendiri di rumah, aku sama sekali tidak menjadikan diriku sebagai wanita manja yang melarang suamiku untuk melakukan perjalanan bisnis. Pilihanku untuk meninggalkan pekerjaanku sebagai wanita karir dan lebih memilih menjadi ibu rumah tangga tak pernah ku sesali sedikit pun. Biar suamiku saja yang meneruskan bisnis keluargaku. Karena bagiku, lelaki diciptakan untuk ada di depan wanita, hanya dibeberapa titik ia akan menggeser dirinya untuk ada di samping wanita, selebihnya bagiku lelaki memang sebagai penunjuk jalan, bukan yang ditunjukkan jalan.
Setelah keberangkatan suamiku ke luar kota, aku menghabiskan waktuku untuk menata rumah kami, suamiku menyukai suasana rumah yang rapi, aku juga menyukai hal tersebut. Memang tak ada satu pun pembantu di rumah besar kami. Karena aku lebih suka mengurus suami dan rumah sendiri. Kadang aku memang merasa sepi, tapi megingat saat-saat seperti ketika suamiku datang mengetuk pintu dan memberikan senyuman hangatnya, rasa sepi yang sempat hinggap itu akan hilang begitu saja.
Beberapa hari di luar kota, sumaiku jarang memberi kabar padaku. Tapi bagiku itu tak masalah, mungkin ia sibuk dengan rutinitas padat di tempat kelahirannya itu. Yah, kata suamiku ia berasal dari Lombok, aku memang tidak mengenal satu pun keluarga dari suamiku. Katanya aku hanya tidak perlu mengetahui itu. Awalnya aku memberontak, tapi perlakuan lembut suamiku membuat anggukanku terasa begitu mudah untuk dilakukan.
Malam itu, dering sms membuat aku yang baru saja berniat untuk tidur mengalihkan pandanganku pada suara sms tersebut. Ku pasang senyum yang beberapa hari ini tak ku gunakan ketika melihat pesan singkat suamiku.
Aku pulang besok pagi, tidurlah yang nyenyak sayang..
Aku tak sabar menunggu pagi datang, tapi aku begitu menikmati saat-saat kedatangan suamiku, saat dimana rasa rinduku sudah berbaris rapi dan panjang. Memang tak biasanya suamiku hanya memberi kabar dari pesan singkat sepert itu, tapi hal tersebut tidak lagi menjadi sesuatu yang harus ku pikirkan. Bagiku, kedatangan suamiku lebih menyenangkan untuk dipikirkan dibanding hal-hal aneh yang bisa saja membuatku sakit hati.
Pagi itu, sarapan sudah tertata rapi di meja makan. Ku pilih untuk menyiram tanaman yang berada di halaman depan rumah seraya menunggu kedatangan suamiku. Suara klakson mobil membuat senyumku mengembang. Ku lepas selang air itu kemudian bergegas membuka gerbang rumah. Rasa rinduku seakan terobati melihat bayangan suamiku di balik kaca jendela mobil. Ia membuka pintu mobilnya dengan tidak bersemangat. Tak ada senyum sedikit pun yang ditujukan untukku. Walau sedikit kecewa, ku biarkan saja suamiku yang bergegas masuk ke dalam rumah tanpa menoleh sedetik pun padaku. Mungkin ia lelah, mungkin.
Kepulangannya dari Lombok, membuat suamiku lebih banyak diam dan terkesan tidak peduli padaku. Saat aku menyiapkan makanan di meja makan, ia lebih memilih untuk membuat mie instan sendiri di dapur. Bahkan ketika tidur di kamar, suamiku lebih memilih untuk memeluk guling yang mungkin nyaman itu dibandingkan merengkuhku.
Awalnya ku biarkan saja kelakuan suamiku itu, tapi diamnya benar-benar membuatku semakin ingin bertanya banyak hal. Apa ia tidak menganggap keberadaanku? Sering aku menangis karena perlakuannya, tapi tidak di depannya. Mungkin ada hal lain yang mengubah cara berpikir suamiku, hal yang belum ingin ia ceritakan padaku. Aku tak pernah mendesaknya untuk menceritakan masalahnya padaku. Karena jika ingin, biasanya ia akan menceritkan sendiri apa yang ada dalam pikirannya.
Ku pikir, perubahan pada suamiku hanya akan terjadi beberapa hari saja. Tapi ternyata tidak. Sudah satu bulan lebih ia masih saja memperlakukanku seakan aku tak pernah ada di sekitarnya. Sampai ketika kesabaranku tidak lagi bisa digunakan.
Malam itu aku menghampirinya yang sedang duduk di teras belakang rumah. Ku coba semampuku menahan air yang terus saja bersarang di mataku.
“Apa yang terjadi?” tanyaku lirih.
Suamiku tidak menggubris pertanyaanku. Ku paksa ia menatap kedua mataku yang basah. Tapi tatapan matanya dingin, tidak ada aku disana, ia seperti menatap wanita lain sekali pun pandangan matanya mengarah padaku. Lama kami terdiam, ah tidak ! hanya suamiku yang diam dan aku masih saja menangis. Sekarang, giliran suamiku yang menatap wajahku yang menangis.
“Kau Maya?”
Aku tak begitu jelas mendengar bisikan suamiku. Ku hentikan tangisanku agar bisa jelas mendengarnya.
“Apa kau Maya? Kenapa kau menangis lagi sayang?” ucapnya seraya menghapus air mataku.
Mulutku bergetar saat suamiku menyebut nama wanita lain tersebut. Saat itu aku seperti berbicara degan orang lain yang berwujud sama dengan suamiku. Beberapa detik kemudian, suamiku beranjak dari duduknya dan meninggalkan aku sendiri di teras belakang rumah. Selama kami menikah, suamiku jarang bahkan tak pernah memanggilku dengan nama. Ia lebih suka menyebutku sayang dibandingkan harus memangil namaku, Sarah.
Tapi tadi, aku baru saja mendengarnya menyebut nama wanita lain. Menatapku dengan tatapan yang berbeda dari biasanya.
Saat suamiku terlelap, ku ambil diam-diam ponsel yang biasa ia letakkan di samping lampu tidur. Setelah dapat, perlahan aku keluar dari kamar dan turun ke lantai bawah. Di kursi tamu, dengan teliti ku periksa kontak-kontak yang ada di ponsel suamiku. Ku cari kontak yang bernama Maya, dan ternyata ada !
Tapi, aku bingung ketika memeriksa nomor yang diberi nama Maya itu. Bukankah itu nomor ponselku?
***
Malam itu aku melintas di depan taman kota itu, lagi. Masih dengan suasana yang sama. Kembali mataku menatap kursi di bawah lampu taman itu. Masih kursi yang sama, tapi tidak ada lagi lelaki yang menangis disana. Tidak ada lagi lelaki yang merindukan istrinya yang sudah meninggal, tidak ada raut putus asa yang tergambar dari wajah lelaki yang begitu merindukan mendiang istrinya.
Aku kembali berjalan mendekati kursi taman itu. Masih jelas di ingatanku, ketika lelaki itu menatapku dengan senyuman yang menghiasi wajahnya. Apa aku begitu mirip dengan mendiang istrinya? Mungkin masakanku terasa sama dengan buatan wanita yang dipanggilnya dengan sebutan Maya itu, dan mungkin caraku memperlakukannya juga begitu terasa sama dengan cara wanita itu memperlakukannya.
Ku biarkan lelaki itu pergi, mencari wanita dengan sebutan Maya yang lain. Aku mencintainya, bahkan sangat mencintainya. Raganya juga mencintaiku, yah hanya raganya. Karena hatinya masih milik mantan istrinya, Maya.