Mawar Merah di Bibir Lena karya ichwanus s

Cerpen: Mawar Merah di Bibir Lena

Cerpen, Editor Picks, Fiksi, Romance

Cerpen : Ichwanus S

***
Suara batuk Lena meledak lagi, malam sudah terlanjur melampaui setengah putaran waktu. kaca jendela masih ku lihat berjerawat bekas sisa hujan sejak maghrib tadi. Kini sudah mulai bening, terpantul bias bulan yang mulai benderang. Aku menarik selimut dari tubuh Lena,

“kamu kenapa lagi sayang.?”,

“Ayah, dia meremas lagi dadaku, ukhuuuk…!”

Gila, baru muncul sesal setelah enam bulan aku menikahi gadis ini, dan malam ini sesal itu semakin membengkak. Hari pernikahan yang jatuh tepat tiga bulan setelah kematian ayahnya. Ya, bapak mertuaku itu mati gara – gara TBC menggerogoti paru – parunya. Tapi sesal hanyalah sesal yang sepatutnya aku pungkiri, demi nama tanggung jawab dan kesanggupanku sebagai lelaki. Terlebih aku seorang suami.

“minum air hangat lagi sayang.!?”

“aaah, sakit kak, ukhuuuk,,,hueekz.!”

Lena membalik tubuhnya pada posisi tengkurap, jemari lentiknya mencengkram sarung bantal, berusaha meredam ledakan batuknya, wajahnya terbenam pada bantal. Cairan merah itu kental ketika Lena mengangkat wajahnya, menggenang seperti pulau kecil diatas peta. Ia menangis, berusaha ku dekap. Ia tak mau. Katanya cukup hanya dadanya saja yang diremas ayah.

Sial, istriku terlalu jelita bila harus tertular wabah TBC mendiang ayahnya. Baru enam bulan sayang, dan sekarang kau mengandung anak pertama kita. Akan jadi apa masa depan ini.?. Sambil membatin dalam hati, bingung ku pandangi wajah Lena yang pucat berusaha tersenyum diantara bingkisan rambut hitamnya yang tegerai panjang.

“Kamu jangan pura – pura tegar sayang, aku tahu…

“dan aku lebih tahu kamu menyesal kan kak.!?”

“Tuhan, malaikat, dewi – dewi atau apapun namanya tolong bantu aku, jangan biarkan aku tercampak seperti Adam gara – gara mereguk buah terlarang”. Aku diam, diam sediam – diamnya, kaku, hanya hatiku yang menggerutu. Bibirku kelu.

Lena menarik lagi selimutnya, dan tiba – tiba menarik lenganku membawaku ikut rebah di sampingnya, kini wajah kami berhadapan.

“Cium aku sayang.!” wajah itu manja memintaku,,,

“mmm, pipi atau kening.!?” Suaraku ragu terbata – bata,

“bibir…”

Aku menatap lekat – lekat mawar merah itu di sana, di garis bibirnya yang tipis. Bibir tipis yang dulu ku kecup diam – diam ketika ia ketiduran menjaga mendiang ayahnya di kamar pasien. Tapi tidak pernah ku temukan mawar merah di tengah malam begini, mawar merah itu seperti lipstick meluber cair. Sisa darah TBC dibibirnya.

“kenapa.?, kamu takut.!?, kamu hanya memikirkan diri kamu sendiri sayang, sudah enam bulan kamu menjelma orang asing. Sejak kita tidak pernah telanjang lagi dalam satu selimut. Aku rindu tubuhmu kanda. Aku rindu kita makan bersama lagi dengan satu piring. Tapi setelah kamu tahu penyakit ayah menjelma dalam paruku. Kamu ternyata hanya pengecut.!”

Tanpa berkata ku kecup bibir Lena, seperti aku mengecupnya dulu, dalam, sedalam penyakit yang selama ini aku takutkan. Ia diam, dan aku semakin mengacuhkan kekeluan di bibirku, meski aku tahu setitik darah virus telah hinggap di ujung lidahku. Istriku, kamu istriku, iya kamu istriku yang syah. Atas nama pelaminan dan restu bunda.

Aku melepas mulutku dari bibir istriku, rasanya dingin seperti baru keluar dari hangatnya matahari pagi. “bukan hanya kamu yang berhak rindu selama ini dinda, tapi juga aku, aku lelakimu, aku suamimu, kakandamu. Hanya saja batas itu yang harus ku jaga. Tak bisa ku bayangkan bila aku harus bekerja di sela – sela batuk yang tertawa. Iya, bekerja demi buah hati kita, demi kesembuhanmu, tidak lain. Tapi malam ini kamu terlanjur meminta, mawar berduri itu harus ku reguk juga. Dan sekarang aku siap menemanimu batuk setiap malam.!”

Lena menangis, wajah itu seperti hujan yang tirus, namun ada pelangi yang ia ciptakan, senyum itu. Senyum yang pernah membuatku berjuang meminta nomor hp-nya ketika kuliah dulu. Senyum yang membuatku cepat lulus setelah berkuliah tiga tahun setengah. Ya, gara – gara senyum itu aku mendapat predikat cume laude.

Tapi sudah, sejarah hanyalah sejarah serupa asap yang akan membentuk awan. Terserah awan itu, akan membuat putih atau mendung sebelum hujan. Terserah.

***

Hari – hariku mulai berubah, begitu juga dengan Lena. Terkadang aku tertawa melihat perutnya yang semakin buncit seperti baskom telungkup itu. Setelah aku menyingkap selimut dan menemukan tubuh kami tanpa tertutup sebenangpun. Mirip Adam – Hawa pertama kali mereka jumpa di sorga. Hanya saja bedanya istriku hamil.

“pagi dindaku yang gendut.!, yuk kita mandi junub dulu, habis itu aku jadi Imam subuh ya.!”
Istriku tersenyum lagi sambil mengusap mata yang sedikit becek.

“habis shalat menunya nasi goreng campur pergedel yah sayang.!”

“oke dinda, tapi jangan lupa teh manisnya juga ya.!”.

Aku beranjak dari kasur, mengenakan handuk, lantas ke kamar mandi. Guyuran air shower seperti hujan meremah pori – poriku. Mensucikan segenap kenistaan menjadi kemuliaan. Begitu juga dengan Lena, ia mandi setelahku. Aku menunggunya di atas gelaran sajadah subuh. Kami berdo’a dibawah relung sayap malaikat merengkuh paras bumi.

Matahari mulai mengintip dari celah pagi. Aroma bawang bercampur kecap manis, dan segala remah – remah bumbu menggeranyangi perut laparku dari dapur. Lena mempersiapkan satu piring porselen yang sedikit lebar untuk kami berdua.

“Awaaas nasi datang.!, Ibunya jangan egois ya, kan sekarang satu piring kita bertiga yang makan.!” Sambil menyuapi Lena aku bercanda membelai perut buncitnya.

“papanya juga jangan rakus ya, pokoknya ingat papa itu harus ganti rokoknya sama susu Ibu hamil.!, biar nanti pas udah lahir kamu siap ninju papa.!, Lena menatap bayi dalam perut itu, anakku, dengan tatapan berbinar seorang ibu.

“Ukhuuuk…ukhuuk…aaakh.!” Nasi goreng yang baru setengah ku kunyah, spontan menyembur seenaknya. Bercampur warna merah, Lena menatapku dengan ekspresi senyum yang tertunda, cemas. Dan aku tahu ini sudah bulan ke delapan istriku hamil. Pagi ini di mana ia terlanjur tahu, kalau aku sudah lama menyembunyikan batuk darahku darinya. Demi tetap menjaga senyum dibibirnya.

“Ya Tuhan, kanda.!?”,

Aku tidak menjawab, ku rebut sendok dari tangan Lena yang sedari tadi kami gunakan untuk saling menyuapi. Sesendok nasi goreng itu aku lumat dengan tanganku sendiri. Dengan melirik jam tangan, aku mengalihkan perhatian,

“Waktu kantor lima menit lagi dinda, kanda berangkat dulu, tolong bekas darah dan nasinya di bersihkan, dan jangan lupa cuci tanganmu dengan air hangat setelah itu.!, Assalamu’alaikum.!.

“Wa’alaikumsalam… , tapi kanda cium…!”

“Tidak, aku tidak ingin, cukup kita berdua saja. Dia belum mengenal kelahiran sayang. Kanda tidak mau matahari tertunda untuknya”. Batinku dalam hati, sambil terus berlalu memunggungi tatapan istri yang sedang mengelus buah hatiku dalam perutnya.

***

Kini sesal itu bukan hanya membengkak. Bahkan ia benar – benar hidup, berdenyut dalam diriku. Menggerutu; “sayang, sekarang siapa yang lebih kejam. Siapa yang hanya memikirkan dirinya sendiri.!?. Rindu katamu pada tubuhku, dulu. Dan sekarang rindu kita, lihat apa yang di perbuat olehnya. Bahkan setengah dari diriku menangis, cinta itu hanya nafsu yang kejam. Rindu itu tak lebih hanya pisau yang diam – diam menggerogoti akal sehatmu. Ibu, kau ibu dari pelita kita sayang.!”

“Ukhuuuk,,,ukhuuuk,,,aakhh…!”

“Hendra, kamu lebih baik pulang istirahat, bapak lelah melihatmu batuk – batuk dari tadi.!”

“ekhemmm, udah biasa kok pak, aku…”

Belum selesai aku berbicara dengan atasanku, ponsel disamping keyboard itu bergetar. Istriku menelfon, lantas aku buru – buru mengangkatnya,

“ya sayang ada apa.!?”

“ukhuuuk… ukhuuuk..uekkzz,,, jagoanmu sayang, aaakhh…dia, dia mau keluar dari gawang, perut dinda sakit, ukhuk…!”

“ya Tuhan, tunggu.!, aku menatap atasanku yang masih berdiri di sampingku,

“pak, saya minta tolong, istri saya akan melahirkan, jadi…”

“ayo.!!” meraih konci mobilnya, atasanku langsung ikut tergesa – gesa menuju rumah.

Istriku sambil batuk, sambil megap – megap dalam perjalanan ke rumah sakit. Aku segera menelfon ibu mertua, dan adik iparku. Memberitahu mereka untuk berkumpul di Rumah Sakit Umum Daerah. Menutup ponselku, sial gagangnya merah kena cipratan darah dari mulutku. Tuhan TBCku semakin parah.

***
Seharian aku menunggu kabar dari dokter. Duduk, beringsut, batuk – batuk, duduk lagi, berdiri lagi membuang tisu dipenuhi darah. Batuk – batuk lagi, sampai aku tak tahan hingga menuju kamar kecil di samping ruang tunggu. Di dalam aku menemukan cermin, bayanganku seperti tidak ku kenali. Cekung mataku mirip sekring kehabisan daya, pipiku nampak begitu tipis dengan tulang menonjol. “Ukhuuuk,,,ukhuuuk,,,” darah itu membuncah lagi, “istriku, sayangku, adindaku, bertahanlah…!”.

Ada yang menangis, anakku lahir. Tuhan. Aku tersenyum menatap bibirku di kaca “jagoanku”. Namun tangisan itu tiba – tiba di sambut dua tangisan perempuan lain. Urung ku buka pintu kamar kecil. Ketika semakin jelas itu suara ibu mertua dan adik ipar.

“Anakku…INNALILLAHHIWAINNAILAIHIRAJIU’N…!”

“kakaaak…

Dunia semakin mengecil dalam tatapanku yang rapuh. Istriku, sayangku, adindaku, pergilah rinduku. Aku tinggal menghitung pasir waktu yang kamu sisakan. Iya, separuh hidup memang milik kita, dan sepenuhnya dunia milik—aku menatap ponselku, menggenggamnya dengan telapak tanga penuh darah mawar merahku, mengetik sebuah nama

“jika ia perempuan, berikan nama ; ALENA PATRICIA, namun jika yang lahir jagoanku, berikan nama ; JANUAR MAHENDRA.!”. Dan ibu harus tahu dunia milik cucumu, bukan milik cinta atau rindu. Jangan pernah ajarkan mereka untuk mencintai ataupun merindukan aku dan Lena. Namun ajarkanlah mereka untuk mengasihi dan menyayangi ayah dan ibunya.
Karena aku sudah pasti akan menjemput anakmu, dan suamimu, bapak mertuaku.

Mataram. 16 Januari 2014
04:30 Subuh.


Tinggalkan Balasan