Media dan Masa Depan Demokrasi: Di Manakah Ideologi?
Ahmad Sirulhaq : Direktur Lembaga Riset Kebudayaan dan Arus Komunikasi (LITERASI)
Pemilu presiden sudah di ambang mata, masa kampanye sudah usai namun tidak pula menurunkan temperatur politik. Dari awal hingga akhir, beberapa catatan kiranya perlu saya torehkan di sini, sebagai warga negara yang berhak untuk bersuara. Dalam arti itu, tulisan ini dimaksudkan untuk refleksi kritis, terutama atas media dan masa depan demokrasi di Indonesia.
Dalam pemilu kali ini, gejolak untuk saling menegasikan satu sama lain tidak terbendung. Media-media cetak maupun online sangat kentara membawakan pesan-pesan kepada khalayak yang terang-terangan memperlihatkan keberpihakan, bagai para penghotbah di tengah-tengah krisis iman. Masing-masing pendukung saling menyerang dan menuduh. Di antara bentuk-bentuk serangan yang diciptakan, yaitu berusaha mentrasmisikan bentuk-bentuk perlawanan yang bertumpu pada pesan-pesan simbolik, yang bernuansa ideologis.
Yang aneh kemudian, masing-masing kubu saling menyerang dengan tuduhan komunis. Gagasan revolusi mental dari kubu Jokowi dianggap sebagai bentuk reproduksi dari ide-ide komunis. Kubu ini pun menangkal tuduhan tersebut dan melakukan serangan balik dengan tuduhan yang sama. Mereka memamerkan foto Fadli Zon (kubu Prabowo) di depan makam dedengkot Komunis, Karl Marx, yang entah diambil dari mana. Tidak cukup dengan serangan balik itu, kubu Jokowi menambahkan peluru serangan kepada Prabowo dengan sebutan fasis hanya karena seragam Ahmad Dhani mirip baju kebesaran sang pembantai Yahudi.
Balas pantun antarkubu ini belum juga selesai, dalam pemberitaan yang dilakukan TV One (media yang dianggap berafiliasi ke kebu Prabobo), disebutkan bahwa PDIP memilii hubungan dekat dengan komunis. Tidak terima dengan tuduhan ini, organisasi sayap PDIP pun melakukan serangan ke cabang stasiun TV One di Yogyakarta. Kubu PDIP menyebut itu sebagai bentuk peringatan atas TV One yang telah melakukan aksi brutal (menurut versi Jokowi) kepada PDIP.
Beberapa tokoh masyarakat atau intelek Indonesia pun angkat bicara, di antaranaya adalah Romo Franz Magnis Suseno, tokoh terkemuka yang terkenal kritis ini tiba-tiba angkat bicara. Namun, cara kemuncuannya sungguh tak terduga. Ia muncul membawa nyala api yang diambil dari jantung pertahan kubu Jokowi dengan ikut mengeluarkan surat terbuka. Kata Romo Magnis Suseno, sebagai warga negara biasa yang amat khawatir akan masa depan bangsa dan negara Indonesia, saya tentu tidak mungkin netral. Karena itu, maka dalam tulisan ini saya mau menjelaskan mengapa saya tidak mungkin memberi suara saya kepada Bapak Prabowo Subiyanto. Memang, sebagai warga negara kita tidak mungkin netral. Namun, di surat terbuka itu tersebutlah alasan mengapa Romo angkat bicara; menurutnya kubu Prabowo adalah tempat bertumpuknya pemeluk Islam garis keras. Tentu saja pernyataan Romo menuai banyak kritikan. Pertanyaan kita adalah, apakah semua ini benar-benar ideologis?
Pada mulanya, ideologi—ilmu tentang ide—dipahami sebagai cara untuk memahami benda-benda pada dirinya melalui ide-ide yang terbentuk berdasarkaan sensasi kita terhadap benda-benda itu. Filosuf Prancis, Destutt de Tracy, pada 1796 menjelaskan ilmu baru ini, pada mulanya, sebagai usaha untuk memahami sistem pengetahuan yang jumbuh seiring tradisi yang diwariskan semangat pencerahan. Dalam arti itu, secara geneologis, ideologi sesungguhnya mimiliki makna yang positif.
Di tangan Marx, pemahaman seperti itu dianggap idelais (lawan materialis) sebab sebetulnya kesadaran hanya berlangsung sebagai refleksi atas dunia material (sosial historis) yang tengah berlangsung di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Ideologi bukan warisan langit yang dibawa ke bumi, sebaliknya ia adalah harta benda bumi yang diusung ke langit. Namum, Marx kemudian mereduksi bentuk kesadaran hanya dalam konteksnya sebagai bentuk pemahaman atas relasi antar-kelas.
Dalam sejarahnya, polemik tentang ideologi sebenarnya tidak hanya disebabkan oleh konsepsi itu sendiri tetapi bahwa karena itu tergayut dengan serangkaian asumsi yang berhubugan dengan transmisi kedasaran sosial. Namun, siring dengan pola-pola perubahan yang terjadi dalam struktur dunia sosial-politik, terutama tatkala media massa mulai menemukan kendalinya atas stransmisi kesadaran kolektif, ideologi pun dipahami sebagai sesuatu yang menyesatkan, ilusif, satu-sisi (one-sided). Demikian setidanya yang bisa ditangkap sebagaiman yang ditulis Thompson dalam Kritik Ideologi Global. Konsepsi ini sekaligus bisa dilihat sebagai titik pandang (konsepsi) terakhir ideologi yang telah berhianat pada konsep leluhurnya sebagai hal yang mulanya posotif.
Jika kita kembali pada pokok soal kita di atas, apa sebetulnya yang ideologis dalam konteks pilpres kali ini? Bukan fasis, bukan komunis, bukan islam garis keras (dalam pengertian dirinya), bukan pula nasionalis, melainkan adalah bagaimana pola-pola transmisi kesadaran tentang ide fasis, kominis, islam garis keras, itu sendiri dalam perspektif one-sided tadi. Dengan begitu bisa membangkitkan semacam memori kolektif kita dengan konsepsi-konsepsi itu sendiri. Itulah sebabnya mengapa tiba-tiba reproduksi bentuk-bentuk simbol yang dianggap ideologis tadi, maknanya selalu berubah dan berlabuh pada muara yang berbeda, walaupun, secara unik, makna yang berbeda-beda ini, oleh masing-masing kubu, dijadikan sebagai senjata yang mematikan.
Untuk memperjelas persoalan ini—bahwa tidak ada warna ideologis (hitam dan putih) dalam pertarungan politik kali ini—maka saya akan mengajak Saudara untuk mulai mengingat-ingat lagi bagaimana awal mula koalisi di masing-masing kubu ini terbentuk. Di awal-awal masa pencarian model koalisi, kita sempat melihat upaya untuk membuat barisan koalisi di bawah panji-panji islami, sebagai lawan tanding kubu nasioalis (anggapan terhadap kubu PDIP, Nasdem) yang sudah terbentuk terlebih dahulu. Kubu ini gagal karena dihadang oleh Metro TV dan TV One, yang saban hari mengabarkan kubu ini telah retak, hingga akhirnya retak-benaran. Gagalnya koalisi islam ini berangsur-angsur mengubah warna peta koalisi menjadi koalisi pelangi, alih-alih koalisi ideologis.
Namun, mengapa kemudian kita melihat, walaupun samar-samar, media-media yang bernuansa islami, katakanlah Republika dan kawan-kawan, di satu sisi berpihak kepada Prabowo-Hatta; dan di sisi lain, Kompas, Tempo, dan kawan-kawan, berpihak kepada Jokowi-JK? Kita tidak akan habis mengerti dengan ini, dan mungkin kita akan susah payah mencari alasan logis mengapa bisa terjadi hal seperti ini. Sejenak, kita mungkin masih bisa menenangkan diri bahwa kenyataannya bukanlah seperti itu karena tidak ada justifikasi logis untuk mengatakan Metro TV itu nasionalis dan TV One (termasuk grup MNC TV) itu religius, misalnya. Ini adalah salah satu teka-teki yang saya anggap paling serius dalam konteks pilpres kali ini.
Sebelum teka-teki ini kita jawab, sekonyong-konyong, di luar mainstream dan adat istiadat media di Indonesia, harian Jakarta Post secara tegas memaklumatkan perang melawan Prabowo-Hatta, suatu lawan yang dianggapnya sebagai musuh hak asasi manusia, musuh pluralisme, dan musuh sekularisme, suatu perang suci tempat penyucian dosa para dedengkot-dedengkot islam garis geras. Dewan pers pun membenarkan sikap Jakarta Post. Rupa-rupanya, jika kondisi di bumi sudah terlihat tidak aman maka media tidak boleh hanya diam di dalam tabung dan lembaran kertas; media harus turun ke medan, menjadi api dan obor dalam arti sebenarnya. Bukankah Prabowo adalah musuh Amerika, musuh negara paling demokratis di dunia, musuh negara penjunjung tinggi hak asasi manusia? Jadi, ini sudah gawat, waktunya sudah semakin dekat, sang jagal harus segera dihentikan.
Kita lupa, atau mungkin tidak tahu, bahwa Ameriaka, negara yang paling demokratis di dunia itu, telah berhasil menciptakan ilusi atas warga negaranya melalui perjuangan yang susah payah, dari warga negara yang anti-perang menjadi warga negara yang penggila perang; dari warga negara yang emoh membombardir Vietnam dan Kuait menjadi warga negara yang bersukacita atas porak-porandanya Taliban, Irak, Suriah, dan lain-lain. Perjuangan untuk itu dibangun, antara lain, dengan menciptakan ilusi monster-monster teroris internasional. Perjuangan Amerika dalam menciptakan monster di tiap-tiap kepala warga negaranya, tidak akan pernah berhasil, menurt Chomsky (dalam Politik Kuasa Media), kalau tidak didukung oleh media-media nasionalnya. David Goodman, jurnalis radio teremuka Amerika, juga menceritakan hikayat serupa (dalam Perang Demi Uang: Kebusukan Media, Politikus, dan Pebisnis Perang). Jika Anda tidak mendukung invasi Amerika berarti Anda tidak torgolog ke dalam pejuang hak asasi manusia, begitulah ilusinya kira-kira.
Jika Romo Susesno adalah representasi imajinasi kolektif warga Indonesia, berarti sebagaimana Washington Post, Times, dan media-media di Amerika yang berhasil menciptakan monster musuh hak asasi manusia atas warga negaranya, maka Jakarta Post, Tempo, dan kawan-kawannya berhasil menciptakan monster dalam kubu Prabowo dalam bentuk monster islam garis keras, anti-luralisme, dan tentunya yang paling menakutkan adalah monster hak asasi manusia. Di satu sisi, kita lupa bahwa, dari awal sampai akhir pertandingan, diam-diam kita tengah menyiapkan panggung yang begitu rupa dan terbuka atas kiprah dan masa depan demokrasi Indonesia cita-rasa Paman Sam (oligarkhi-media). Selamat memilih dan salam demokrasi.