Memotret Pendidikan dari Polemik Kurikulum 2013

Opini

Sebelum Kurikulum 2013 benar-benar menjadi polemik yang hangat diperbincangkan hari ini, di semester lalu saya membimbang skripsi mahasiswa yang membahas tentang analisis salah satu buku siswa Bahasa Indonesia Kelas VII pada Kurikulum 2013 (K 13). Hasilnya menunjukkan bahwa sekitar 68% saja dari buku siswa Bahasa Indonesia Kelas VII K 13 yang standar isinya sesuai dengan Kompetensi Dasar (KD) yang termaktub dalam kurikulum. Artinya, sekitar 32% KD yang termaktub dalam kurikulum terabaikan dalam buku siswa tersebut. Bila skripsi mahasiswa tadi bisa dijadikan salah satu cermin dari persoalan K 13 maka betapa K 13 ini sejatinya memang masih butuh evaluasi lebih lanjut sebelum dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia. Dengan begitu, langkah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di bawah kepemimpinan Anies Baswedan, melakukan penghentian (sementara) K 13 patut diapresiasi. Kalau tidak dihentikan dulu maka yang menjadi korban tidak lain ialah siswa atau peserta didik itu sendiri.

Lepas dari polemik tentang penghentian sementara K 13, antara yang pro dan kontra, salah satu jargon yang sering dijadikan dasar bahwa K 13 ini memiliki keunggulan dibanding kurikulum sebelumnya adalah mengenai pendekatan saintifik dalam proses pembelajaran. Saintifik dalam hal ini kemudian direduksi menjadi: apabila dalam proses pembelajaran terdapat aktivitas mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyaji, menalar, mencipta, dan lain-lain. Pertanyaan kita adalah, yang pertama, apakah aktivitas seperti itu tidak terdapat dalam kurikulum-kurikulum sebelumnya? berikutnya, yang paling prinsip adalah, apakah saintifik bisa direduksi menjadi beberapa jargon di atas? Untuk itu, marilah kita sejenak merefleksi kembali mengenai ihwal saintifik dalam posisinya sebagi cara untuk menemukan kebenaran, cara untuk meng-ada dalam zonasi (ruang dan waktu).

Saya menduga perosalan kompleks dalam dunia pendidikan selama ini, antara lain, disebabkan oleh karena pemerintah terlalu percaya pada profesor-profesor atau apa yang disebut sebagai pakar pendidikan, di luar itu bidang itu dianggap tidak mengerti masalah pendidikan. Hal ini sekurang-kurangnya terlihat dari sikap pemerintah yang memberlakukan linieritas bidang keilmuan seseorang untuk mencapai derajat yang disebut profesor atau gelar guru besar. Cara pandang yang linier ini tercermin pula dari berbagai regulasi yang dibuat, termasuk menyerahkan persoalan pendidikan hanya pada mereka yang disebut pakar pendidikan itu tadi (saja). Padahal, belum tentu pakar atau profesor pendidikan memehami sepenuhnya masalah atau kondisi pendidikan secara komprehensip. Mereka pakar masalah desain kurikulum, misalnya, tetapi belum tantu mengetahui landasan filosofis, ideologis, atau mungkin politis kurikulum yang mereka buat, sehingga pendidikan yang sejatinya bertujuan untuk memanusiakan manusia justru membat manusia makin teralienasi dari ciri-ciri kemanusiaannya.

Kita kembali pada persoalan di muka, saintifis dalam arti apa yang dimaksud oleh K 13 yang diangap sebagai tulang punggung K 13 ini? Memang, Kegiatan mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyaji, menalar, mencipta, dll, merupakan langkah teknis yang sering dilakukan dalam kerja-kerja ilmiah (baca saintifis). Namun, sebagaimana kita ketahui dalam sejarah ilmu pengetahuan, paradigma ilmiah selalu berubah-ubah seiring perubahan yang terjadi dalam proses kesadaran manusia dalam memahami kehidupan. Ilmiah versi filsafat modern memiliki cara pandang berbeda dengan ilmiah versi penganut filsafat postmodern. Kedua kubu narasi ilmiah ini sampai hari ini rupanya susah didamaikan. Masing-masing memiliki klaim tersendiri atas apa yang disebut sebagai kebenaran, dan karena itu, atas bagaimana prosedur-prosedur yang dilakukan untuk mecapai kebenaran itu. Persoalan cara dan atau prosedur untuk mencapai kebenaran inilah yang menjadi titik api mengapa kedua narasi ini sulit didamaikan hingga hari ini.

Kebenaran menurut cara pandang filsafat modern membawa narasi bahwa kebenaran hanya bisa ditempuh melalui beroperasinya rasio dengan benar. Cara beropersi rasio yang benar akan menjamin tercapainya pengetahuan yang benar. Dan, karena itu, tidak boleh ada subjektivitas sebab subjektivitas itu merupakan kotoran atau noda yang ada dalam rasio seseorang yang pada ujungnya akan menghambat seseorang untuk mencapai apa yang disebut kebenaran sejati, atau dengan kata lain untuk mencapai kebenaran yang transenden. Cara pandang demikian, dalam filsafat dan ilmu pengetahuna disebut dengan logosentris.

Selain itu, kebenaran dalam paradigma ini dianggap sebagai sesuatu yang pasti, absolut (positivis). Di luar itu (di luar prosedur-prosedur yang telah ditetapkan), tidak ada kebenaran. Tidak ada jalan lain untuk mencapai tujuan yang benar. Cara pandang demikin ini cukup kuat dan mengakar hingga hari, salain karena telah berusia kruang lebih 500 tahun, labih-lebih juga karena didukung oleh superioritas tembok institusi-institusi akademik yang mendukungnya, model tes pilihan ganda, model ujian nasional, dan seterusnya, terus-menerus melanggengkan paradigma ini menjadi sangat superior.

Persoalan muncul belakangan, setelah disadari, betapa paradigma positivisme filsafat modern begitu tidak kompatibel dengan kenyataan empirik objek-objek di alam semesta. Bagaimana mungkin jumlah kemiskinan bisa diobjektivikasikan dengan angka-angka dalam statistik? Bukankan hanya dengan manaikkan harga BBM, angka kemiskinan dalam statistik yang sudah ditetapkan sebelumnya bisa menjadi berubah secara drastis? Bagaimana mengukur nilai-nilai dan keindahan karya sastra, misalnya, dengan hanya menyiapkan lima jawaban dalam pilihan ganda? Baimana mengukur sikap sopan santun seseroang dengan benar (objektif) andaikata instrumen yang didesain untuk mengukur itu berbeda-beda antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lainnya?, bukan hanya karena desain instrumen itu sendiri dilakukan dengan subjektif.

Persoalan-persoalan tadi bukan masalah teknis penilaian tapi lebih merupakan cara untuk menyelami kenyataan, cara untuk menyelami kebenaran. Karena itu, di sinilah, paham pospositivisme masuk, membawa ajaran kritis, membawa ajaran konstruktivis, bahkan membawa ajaran subjekitvis. Lho! Bukankan subjektivitas tidak mencerminkan prinsip-prnsip ilmiah, bukankan subjektivisme dari dulu selalu diperangi dalam sains, dan karena itu berusaha dilenyapkan dari kamus ilmiah? Kalau begitu, siapa yang menjamin bahwa objektivitas adalah satu-satunya cara untuk menembus kebenaran? Nietzsche bahkan menganjuran pertanyaan geneologis, mengapa kebenaran harus objektif? Lebih jauh, mengapa objektivitas tiba-tiba menjadi jargon ilmiah, atau yang disebut dengan saintifis? Di balik selimut objetivisme, penganut filsafat positivisme ini melupakan hal mendasar bahwa kebenaran dibangun secara retoris dalam imajinasi kolektif umat manusia secara linguistis-diskursif.

Apakah prinsip dan relevan, mempersoalkan paragima saintifik dalam konteks pendidikan kita atau perdebatan K 13 hari ini? Jangan lupa, terjatuhnya umat manusia (kaum akademisi) dalam panggung filsafat positivisme tadi sedikit tidak memberikan sumbangan yang tidak sedikit pula atas jatuhnya manusia indonesia (para peserta didik) dalam jebakan sistem pendidikan yang tidak kunjung memanusiakan manusia.

Sampai di sini, kita masih akan bertanya, apa hubungannya dengan pembahasan kita dengan K 13 yang menjadi polemik hari ini? Jadi, sebenarnya apa yang perlu kita simpulkan dari pembahasan tengan paragima-filosofis pendidikan sedari tadi ialah, selama ini kebijakan pendidikan, termasuk kebijakan dalam kurkulum nasional (tentu juga K 13), adalah produk buah pikir dari cara pandang positivisme dalam dunia pandidikan di Indonesia yang sudah mengurat dan mengakar dalam sendi-sendi kehidupan manusia Indonesia, yang menyebabkan institusi pendidikan selama ini digerakkan sepenuhnya oleh mereka-mereka yang hanya berpikir untuk kepentingan dirinya, sebegitu rupa, tanpa melihat implikasi dari kebijakan-kebijakan yang mereka buat, yang justeru membawa malapetaka besar pada umat manusia (generasi muda Indonesia) dalam kebangkrutan total yang belum tentu bisa diselamatkan dalam waktu satu abad, kendati menteri-menteri pendidikan terus berganti seiring bergantinya rezim dalam pemerintahan.


Tinggalkan Balasan