MENDUNG DI BAWAH LANGIT
MENDUNG DI BAWAH LANGIT
oleh : Udin Suryansyah
Ketika sang fajar mulai menampakkan dirinya dibalik segumpalan tanah yang berpenghuni mahluk ciptaan sang kuasa. Cahayanya perlahan muncul dan mendekat sampai pada akhirnya menerobos masuk melewati rongga-rongga sebuah singgasana yang sederhana. Singgasana yang sering aku sebut sebagai Rimbaku. Tempatku berlindung dan bernafas serta menghabiskan banyak detik-detikku. Cahaya itu sampailah pada mataku, dengan kehangatan yang mengalahkan dinginya Rimbaku membuatku terbangun dari tidur yang tak pernah ku harapkan ada ujungnya. Duniaku tak seperti duniamu atau dunia mereka. Mungkin hanya aku yang ada dalam dunia yang tak berpihak padaku. Semakin aku mengerti dunia, semakin aku tak paham dengan dunia.
Aku lahir dari seorang ibu yang aku sebut sebagai malaikatku, karena beliau adalah sosok yang serba bisa dan paling mengertiku. Beliau mengajarkanku tentang bagaimana memulai hari, menjadi teman disaatku kesepian, menjadi sahabat tempatku mengadu, sebagai kekasih tempatku bersandar. Aku anak ketiga dari tiga bersaudara, orangtuaku sudah bercerai ketika aku masih dalam kandungan ibuku. Aku lahir tanpa kumandang adzan yang dikumandangkan oleh seorang ayah ditelingaku. Aku tak bisa memilih ketika aku ditakdirkan seperti itu. Seorang bayi berteriak mengetuk pintu dunia dengan sapaan yang ketika dewasa ku anggap sebagai bentuk protesku terhadap ketidak adilan dan takdir ini.
Pagi itu aku berangkat sekolah. Dengan seragam putih biru, rambut yang tersisir rapi , sepatu dan kaos kaki yang bersih kumulai melangkahkan kakiku dengan membawa jajanan untuk ku jual disekolah yang letaknya tak jauh dari rumahku. Pagiku selalu buruk. Sepanjang perjalanan aku sering di ejek oleh siswa lain. Katanya, hanya wanita atau lelaki setengah matang saja yang berjualan jajan. Ejekan yang sampai sekarang masih membekas dalam ingatanku. Aku Cuma ingin membantu meringankan beban ibuku yang hanya berprofesi sebagai guru di sekolahku. Gajinya tak cukup untuk membesarkan tiga orang anak yang beranjak dewasa. Sesekali air mata ini tak tertahankan mendengar ejekan itu. Beban yang sangat berat untuk di tanggung oleh seorang anak seusiaku. Tapi aku sadar, aku harus kuat. Penderitaan ibuku menjadi kekuatanku dan aku harap kekuatan itu akan terus ada dalam diriku. Mendekati gerbang sekolah, ejekan itu semakin lama semakin keras dan akupun bergegas membawa jajanan itu ke kopsis kekolah.
Bel masukpun berbunyi. Aku bergegas menuju kelasku dan duduk di tempat biasa aku duduk. Tak lama kemudian, guru yang mengajarpun masuk. Sebelum memulai pelajaran, pak guru membagikan kami sebuah surat yang isinya membuat aku was-was bahwa minggu ini akan terasa berat untuk ku lalui. Sesuai dugaanku, isi suratnya mengundang orangtua murid untuk menghadiri rapat yang di adakan oleh sekolah. Disekelilingku sangat ramai terdengar pembicaraan teman-temanku mengenai siapa yang akan mewakili rapat itu. Seperti tahun-tahun sebelumnya, rata-rata dari mereka yang datang adalah ayahnya. Aku irih pada mereka. Ketika sang ayah dengan bangga memperkenalkan anak laki-lakinya pada para sahabatnya yang hadir rapat. Sementara aku, hanya dapat melihat dan merasa irih. Aku memang punya ibu yang bisa menjadi apapun yang aku inginkan. Tapi, kurasa itu tidaklah cukup dan tidak akan sama.
Ingin sekali rasanya aku bertanya pada ibuku tentang ayahku. Namun aku takut, jika pertanyaanku mengingatkan ibuku tentang semua kejadian suram yang mereka alami, setidaknya itu yang ada dalam pikiranku sebagai sinopsis tentang semua yang mereka alami. Malam itu terlihat mendung ketika langit bersih dari jerawat-jerawatnya yang mengkilat dan memukau bagi siapa saja yang melihatnya. Aku duduk di emperan rumahku dengan menggenggam sebuah buku pelajaran sebagai tanda untuk menutupi keresahanku tentang sosok lelaki yang tak pernah kulihat. Tak lama kemudian, sang ibu menghampiriku yang seakan tahu keresahanku yang tak dapat aku sembunyikan darinya. Ibuku langsung menceritakanku sebuah kisah yang mengispirasiku. Cerita itu seakan-akan adalah cerita tentang orangtuaku. Dan kalimat yang paling membekas dalam ingatanku adalah “Yang hilang tidaklah hilang”. Ibuku mendekapku dengan penuh kasih sayang. Terasa dengan jelas air mata ibuku jatuh mengenai rambut dan kepalaku. Akupun ikut menangis dalam dekapan itu. Langit seakan tahu tentang apa yang dirasakan ibuku. Mendung berubah jadi jutaan tetesan air dan mengubah kehangatan menjadi dingin yang menyengat. Aku dan ibuku bergegas masuk ke dalam rumah dan beristirahat.
Waktu berjalan begitu cepat. Aku telah dinyatakan lulus Sekolah Menengah Pertama dan akan lanjut pada jenjang pendidikan berikutnya. Perasaanku bercapur aduk saat meninggalkan sekolah itu. Seperti memakan permen nano-nano yang banyak rasa dan sulit untuk dijelaskan. Kenangan di sekolah itu bagaikan mengunyah Apel yang didalamnya terdapat ulat namun manis. Walaupun begitu, aku tetap akan ingat kenangan di dalamnya.
Mendekati periode ajaran baru, ibuku membelikanku seragam baru, lengkap dengan tas dan sepatunya. Akupun tak sabar menunggu hari esok, dengan harapan akan sangat berbeda dengan hari-hari yang aku lalui ketika SMP. Ketika malam datang, aku sangat terkejut. Ibuku memanggilku dan mengajakku bicara. Sepertinya akan terjadi percakapan serius. Dengan suara yang sangat lembut beliau menceritakan hubungannya dengan ayahku. Air mataku menangis ketika mendengar cerita itu, sebuah luka baru mencabik-cabik perasaanku. Cinta yang lama mereka bangun perlahan terkikis dan rubuh menimpa mereka. Ayahku menceraikan ibuku karena perubahan tertentu. Itu katanya. Iman yang dijunjung tinggi telah kalah akan hadirnya sebuah sosok yang hanya dilihat dari substrat. Sebelum aku lahir, ibuku yang tengah mengandungku mendatangi kediaman ayahku yang letaknya di seberang pulau. Perjalanan yang sangat jauh untuk ditempuh oleh seorang ibu hamil. Ibuku takut, jika aku lahir tanpa melihat seorang ayah. Apapun akan ia lakukan demi mencegah hal itu terjadi. Namun apa daya, sang kuasa berkehendak lain. Hari esok yang aku tunggu terasa sangat mencekam. Langkah demi langkah terasa berat. Hanya rasa marah yang ada dalam pikiranku mengingat orang yang tak pernahku lihat. Tak satupun pelajaran yang bisa kupahami dihari baru itu. Sepulang sekolah, aku sudah membuat keputusan untuk menemui ayahku. Ibuku pun mengizinkanya. Lantaran aku juga belum pernah melihat ayah.
Akhirnya, bersama dengan kakak ku yang pertama, aku berangkat kerumah ayah yang letaknya diseberang pulau. Tak sabar rasanya ingin sampai ketujuanku dan melihat ayah yang bertahun-tahun tak pernah ku kenali wajahnya. Setelah menempuh delapan jam perjalanan, sampailah aku ditempat tujuanku. Kakiku gemetar untuk melangkah, banyak sekali wajah-wajah baru yang menyambut kami. Mataku jelalatan melihat kesana kemari mencari dan berusaha menebak dalam hati rupa ayah ku dari banyaknya wajah-wajah itu. Akhirnya, dari sebuah rumah yang sangat rindang, penuh dengan pohon mangga yang sangat sejuk, tampaklah seorang lelaki dengan celana kain hitam dan baju batik menghampiri kami. Jantungku semakin lama semakin berdetak kencang, perasaan permen nano-nano tadi muncul lagi. Kakak ku langsung bersalaman dan berpelukkan dengannya. Disaat itu, aku yakin bahwa orang itu adalah ayahku. Tanpa dijelaskan oleh kakak ku, orang tersebut memelukku dan Cuma berkata ”Kamu sudah besar” dan lekas pempersilahkan kami masuk dan duduk dalam rumahnya. Kakak ku dan ayahku hanya membahas tentang pekerjaan dan hal-hal lain yang tak ku mengerti dan hampir tidak pernah melirik dan mengajakku berbicara.
Kecewa, jelas itu yang aku rasakan. Respon yang tidak pernah terbayang dalam pikiranku ketika kami akan bertemu. Beliau tidak memelukku seerat pelukan ibu, tidak mengusap kepalaku bahkan tidak melakukan yang semestinya dilakukkan oleh seorang ayah pada umumnya. Tak lama kemudia, di balik pintu, muncul seorang anak seusiaku. Itu adalah anaknya dengan istri mudanya. Dengan banggganya ayahku mengenalkan saudara tiriku pada ku dan kakakku. Aku semakin marah. Bukankah aku yang seharusnya kau banggakan, yang kau rindu, yang kau beri kasih sayang dan semuanya. Aku tidak merasakan perasaan yang menunjukkan bahwa aku punya seorang ayah. Dengan air mata ku lantangkan kalimat itu kepadanya. Suasanapun berubah jadi sunyi. Beliau terdiam dan tak berkata apaun yang seakan menandakan bahwa dirinya memang keterlaluan. Ia mulai memberiku penjelasan. Tapi aku lebih memilih untuk tidak mendengarkannya. Seketika itu juga, aku dan kakak ku beranjak dari tempat itu dan pulang. Di atas kendaraan beroda dua, aku menyesal telah datang ditempat itu dan menangis sepanjang jalan. Air mata ini mewakili perasaan dan protesku padamu tuhan tentang semua yang kau takdirkan untukku dan keluargaku.
Sesampai di rumah, aku berlari sambil memanggil ibuku. Beliau keluar dan memelukku dengan erat. Pelukkan yang tiada duanya bagiku. Apalagi yang aku butuhkan jika aku punya dua orang yang kurangkum menjadi satu malaikat sebagai cahaya dalam gelapnya mendung di bawah langit yang menghantuiku. Aku berteriak dalam hati, “ Kau boleh mendung menghitamkan duniaku, turunkan berjuta-juta airmu untuk membanjiriku, menyambarkan kilatan petirmu wahai langit. Tapi aku tidak akan takut. Aku punya tameng untuk menahan seranganmu, aku punya tombak untuk menombakmu dan aku punya pedang untuk mengiris setiap kilatan petirmu “. Sejak saat itu, aku sadar, aku harus mensyukuri apa yang telahku miliki, menikmati dan menjalani dengan ikhlas yang telah ditakdirkan oleh sang kuasa. Aku memang butuh seorang ayah, tapi, aku merasa cukup hanya memiliki ibu yang menyayangiku lebih dari apapun.
__SEKIAN__