MERINDUKAN PEMENTASAN SEPERTI YANG DULU?
Sebagai sanggar teater yang bergerak di bawah naungan fakultas tentu kiprahnya tidak seperti teater independen. Generasi demi generasi muncul membawa gaya masing-masing sesuai zaman mereka ada. Tetapi Teater Putih tetap dengan gaya Realis Konvensional. Bagaimana cara menyajikan pertunjukan Realis Konvensional dengan gaya masing-masing generasi inilah yang memicu pernyataan “saya merindukan pementasan seperti yang dulu”.
“Setiap zaman mempunyai gaya dan permasalahannya masing-masing. Dulu tidak ada perkuliahan sore, sehingga waktu luang untuk latihan lebih dari cukup. Tetapi jika melihat kondisi sekarang ini, perkuliahan dimulai dari pukul 07.30 sampai 14.00 untuk reguler pagi dan 14.00 sampai 21.00 (rata-rata), latihan rutin yang biasa dilakukan mulai pukul 19.15-21.00 tidak berjalan sewajarnya. Belum lagi kondisi kampus yang makin menekan kegiatan semua ORMAWA dan tuntutan akademis”, ujar sutradara Pentas Tunggal ke 34.
“Memang sedikit rumit untuk mengatur waktu pemain yang berasal dari latar belakang prodi yang beda, Reguler atau Ekstensi, dan ditambah para pemain adalah anak kos dan tinggal bersama orang tua. Sekalipun memaksakan latihan dengan waktu yang agak malam, perlu dipertimbangkan kondisi fisik mereka, tuntutan akademis mereka, dan keluarga mereka”, sambung L A.
Dan F F juga pernah mengatakan, “Tidak bisa dibandingkan pementasan yang dulu dengan yang sekarang karena setiap zaman mempunyai permasalahan yang beda. Coba kalau mereka sanggup dan bisa, garap satu pertunjukan sekarang”.
Dilema ini terus menjadi PR bagi Teater Putih untuk kedepannya. Meskipun demikian, kemarin, pada tanggal 2-3 januari 2015 Teater Putih tetap menunjukkan keeksisannya dengan menyajikan Pentas Tunggal yang ke 34 dengan lakon Pelacur karya Jean Paul Sartre. Walau pun banyak menuia kritik tetapi banyak juga yang memberikan tepuk tangan.