logo website tulismenulis.com header 2
Edit Content

Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Misal Kita Jadi Orang Tua – Opini Benn Rosyid

Misalnya kita jadi orang tua. Mari kita bayangkan.

Misalnya kita jadi orang tua, yang tinggal di sebuah kota besar. Anggap saja kita sudah punya anak. Umurnya delapan sampai sembilan tahun. Masih kelas dua atau tiga SD. Mereka bersekolah di sebuah SD yang ternama, dan harus kita antar jemput setiap harinya.

Pada suatu hari, kita menjemput anak kita (terserah mau dibayangkan menjemput dengan motor atau mobil) dari sekolah, dan beranjak pulang. Di sebuah perempatan, kita berhenti karena traffic-light sedang menyala. Kemudian, seperti kota-kota besar biasanya, bocah-bocah tak sekolah yang meminta-minta, mengamen, dan menjaja asongan mulai bertebaran. Wajah mereka lusuh, tubuh mereka tak terurus. Kita dan anak kita memandanginya dari jauh.

Cukup, jangan bayangkan mereka mendatangi kita. Tapi coba bayangkan: jika kita, sebagai orang tua, menemui fenomena demikian, sementara kita sedang bersama anak kita; apa yang akan kita katakan pada anak kita tentang fenomena itu?

Jika itu saya, saya akan memberi anak saya uang, dan saya suruh langsung memberikan pada bocah-bocah tak beruntung itu. Lain hari akan saya ajak dia membawa buku dan cemilan ke situ, dan saya dorong agar anak saya mengenal dan berteman dengan mereka. Sebagian yang lain mungkin akan menasehati untuk bersyukur atas kemujuran hidup, bahwa dirinya lebih beruntung dari bocah-bocah itu, dan diujung nasehat ia akan meminta anaknya rajin belajar.

Dan ada juga yang langsung bilang, “Lihat, mereka pemalas, cuma nunggu dikasih bantuan. Dalam sehari mereka bisa dapat dua juta, nak. Jangan tertipu dengan pakaian kumuhnya. Sudah, jangan diberikan, nanti mereka jadi malas.”

Untuk orang tua tipe terakhir, buat saya masih mending. Artinya, mereka masih mengajak anak-anak mereka untuk memperhatikan sekitar dan memberi pendapat. Masalahnya, ada banyak sekali orang tua yang tidak berkata apa-apa pada anaknya jika bertemu keadaan di atas. Entah karena malas, atau karena pendek wawasannya, atau karena tumpul kepeduliannya.

Misalnya kita menjadi orang tua, walau kita tidak peduli pada nasib orang lain, setidaknya pedulilah pada nasib anak kita: kita ingin mereka tumbuh dengan karakter apa? []

Tinggalkan Balasan