Resensi Novel Bidadari Paderi Karya Saiful A. Imam
Judul buku: Bidadari Paderi
Pengarang: Syaiful A Imam
Penerbit: Republika
Cetakan: I, November 2007
Ukuran: 20,5 x 13,5 cm, iv + 392 halaman
Perang Paderi, selama ini identik dengan Tuanku Imam Bonjol yang telah lama ditasbihkan sebagai salah satu pahlawan nasional dari Sumatera Barat. Tidak banyak yang tahu dengan gerakan Paderi ini, lantaran buku sejarah yang kita pelajari sedari SD hingga SMA lebih banyak berkutat pada perjuangan dan kebesaran nama Imam Bonjol. Sehingga keberadaan tokoh-tokoh besar yang menggerakkan dan membesarkan gerakan Paderi tak begitu banyak dikenal dan tidak terlalu akrab didengar namanya di kancah nasional. Mereka hanya sohor di kalangan terbatas di tingkat lokal.
Gerakan Paderi mulai berkembang di seluruh Luhak Nan Tigo (Luhak Agam, Luhak Tanah Data dan Luhak Limopuluah Koto) yang terinspirasi dari gerakan pembaharuan di tanah Arab yang dimotori Syekh Muhammad bin Wahhab. Spirit pembaharuan dan pemurnian ajaran Islam ini dibawa ke ranah Minang oleh Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang pada 1803 setelah 10 tahun lamanya mereka menetap di Makkah.
Tidak mudah untuk mengembalikan kemurnian ajaran Islam ketika itu. Kendati berfalsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, pengaruh kaum adat jauh lebih kuat dari kaum Paderi ini. Hukum adat sudah kelewat berurat dan berakar di masyarakat, meski hukum adat itu sendiri bertentangan dengan ajaran agama. Sehingga terjadilah pertentangan antarkedua kubu.
Haji Miskin yang mencoba menyebarkan gerakan pembaharuan ini di Pandai Sikek terpaksa harus pindah ke Kamang (Luhak Agam) karena mendapat tentangan di kampung halamannya itu. Begitu juga dengan Haji Sumanik yang terpaksa hijrah ke Lintau (Luhak Tanah Data) dari kampungnya di Sumaniak. Di sini dia lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Lintau. Sementara Haji Piobang tidak begitu mendapat tentangan, sehingga gerakan Paderi berkembang dengan baik di Luhak Limopuluah Koto.
Kepindahan Haji Miskin ke Kamang (yang berada di pinggiran Kota Bukiktinggi) mendapat sambutan yang cukup hangat berkat dukungan Tuanku Nan Renceh yang terkenal berani dan tegas, serta sejumlah ulama besar lainnya yang dikenal dengan sebutan Harimau nan Salapan. Sehingga pengaruh kaum Paderi jauh lebih besar dari kaum adat yang ditandai dengan pemberlakuan hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat.
Perjuangan kaum Paderi di daerah Luhak Agam inilah yang dijadikan Syaiful A Imam sebagai latar cerita novel “Bidadari Paderi” terbitan Penerbit Republika ini. Di samping mengangkat kisah perjuangan kaum Paderi, pengarang muda kelahiran Matua 20 November 1978 ini lebih fokus kepada perjuangan hidup dan kisah cinta tokoh utamanya yang tak pernah lepas dirundung malang.
Berkisah tentang hidup pemuda Jauhari yang menjadi guru mengaji dan kader Paderi di Nagari Pauah, Matua (diindonesiakan menjadi Matur-red). Lelaki yatim piatu yang dipanggil Jauhar ini, hidup bersama nenek-kakeknya yang miskin dan mengandalkan hidup dari mencari kayu bakar dan sebidang sawah yang luasnya tak seberapa. Jauhar jatuh kepada hati kepada Nilam yang juga menjadi guru ngaji di surau yang sama tempat Jauhar mengajar. Rasa cinta antarmereka tumbuh atas nama simpati dan kekaguman atas laku keduanya yang begitu teguh memegang agama. Maka jangan bayangan kalau kisah cinta mereka akan diumbar pengarangnya seperti roman picisan yang murahan.Perbedaan strata sosial keduanya yang bagai emas dan loyang, tidaklah menjadi batu penghalang tumbuh dan berseminya cinta mereka.
Buruknya suratan nasib Jauharilah yang membuat mereka terpisah, justru di saat pihak keluarga Nilam telah berniat untuk mengambil Jauhar sebagai menantu yang disampaikan melalui mamak (paman) Nilam, Imam Mudo yang juga guru dari Jauhar.Jauhar terbuang dari kampung akibat ulah kedengkian pemuda-pemuda yang kalah bersaing mendapatkan cinta Nilam. Jauhar dituduh membunuh dalam sebuah perkelahian tak seimbang dengan gerombolan yang dipimpin Johan. Maka berdasarkan keputusan sidang adat, Jauhar tidak boleh menginjakkan kaki di kampung selama 3 tahun lamanya. Ke Bukiktinggi dia melangkahkan kaki berharap hidup jauh lebih baik seperti yang pernah dijalani ayahnya ketika tinggal di kota ini.Ternyata apa yang diimpikan Jauhar tak tercapai, dia malah dijebak kaum parewa (preman) untuk mengedarkan ganja dalam upayanya menyelamatkan keluarga Sutan Mudo yang dianggapnya sebagai ayah angkat. Hingga akhirnya dia ditangkap pasukan Paderi yang tengah patroli saat Jauhar menuju Payokumbuah untuk mengantarkan ganja. Dia terancam hukuman gantung. Inilah rentetan musibah yang melingkupi dirinya; terusir dari kampung, batal menikah dengan Nilam, neneknya meninggal dan kini terancam digantung pula.Namun Jauhar akhirnya selamat dari jerat hukum itu, dan berhasil membongkar jaringan parewa yang telah menjadikan dirinya sebagai “kudo palajang bukik” (kurir) ganja.
Jauhar yang sedari awal memang kader Paderi, akhirnya bergabung penuh ke pasukan Paderi di Kamang pimpinan Tuanku Nan Renceh setelah sebelumnya sempat diajak Sutan Sinaro. Dan dengan anak Sutan Sinaro pula dia akhirnya menikah, setelah dia mengetahui bahwa Imam Mudo membatalkan “menjemputnya” dan memilih Salim sebagai calon suami Nilam.
Perang pecah ketika Belanda akan menyerang kaum Paderi di Kamang. Kaum Paderi pimpinan Tuanku Nan Renceh bermaksud menghadang Belanda di Tanjuang Alam dengan menyiapkan pula pasukan dari Baso pimpinan Angku Malin Basa dan pasukan dari Padang Lua guna memukul 800 pasukan kompeni yang dikomandoi Letkol Raff. Jauhar, Sutan Sinaro dan istrinya, serta Rafiah (istri Jauhar) turut bergabung berjuang sebagai syuhada. Dapat ditebak, kedua mertuanya dan istrinya itu wafat, sedangkan Jauhar terluka parah ketika menyelamatkan Tuanku Nan Renceh dari serangan perwira Belanda. Paderi menang, walau Jauhar harus kehilangan segalanya.
Jauhar akhirnya menikah dengan Nilam, lantaran Salim tewas diracun oleh orang-orang Johan yang masih berkeinginan mempersunting wanita cantik itu. Dendam Johan menjadi-jadi kepada Jauhar yang berhasil memiliki Nilam dan menjadi tokoh Paderi berpengaruh di Matua. Hasan, anak sulung Jauhar dan Nilam tewas terperosok ke dalam lubang yang dibikin orang suruhan Johan. Untuk menghadapi Jauhar dan pendukungnya, Johan berkhianat dengan menjadi antek-antek Belanda yang meloloskan pasukan penjajah itu untuk melewati Matua guna mencapai Bonjol buat menyerang pasukan Tuanku Imam Bonjol yang masih bertahan.
Itulah…, rangkaian cerita itu tak sampai di situ. Akan ada ending lain, yang di luar dugaan pembaca. Dari segi tema dan alur cerita yang disajikan, sungguh sederhana dan nyaris serupa dengan tema yang diangkat sastrawan pujangga lama. Untuk sekedar menyebut saja, jalinan ceritanya hampir mirip dengan “Sengsara Membawa Nikmat” karya Tulis Sutan Sati, namun berbeda secara latar yang beranjak dari sejarah gerakan Paderi. Di sinilah letak keunggulan novel Syaiful A Imam yang menyajikan cerita di balik sejarah yang belakangan ini menjadi trend dalam dunia susastera Indonesia. Seperti halnya novel “Glonggong” milik Junaedi Setiyono yang mengangkat latar sejarah Perang Jawa di era Pangeran Diponegoro.
Di balik bagusnya cerita yang diangkat, dalam novel ini juga ditemukan banyak kesalahan, terutama kesalahan ketik yang betul-betul mengganggu kenyamanan membaca. Bahkan kesalahan itu pun berakibat fatal dalam hal penyebutan nama atau lokasi. Untuk sekadar menyebutkan saja, coba lihat di halaman 49. Di situ tertulis “Ya, yang diincarnya adalah si Nilam. Bukankah si Nilam itu mamak dari si Nilam?…” Harusnya Imam Mudo adalah mamak si Nilam. Lalu di halaman 94 disebutkan bahwa yang terbunuh adalah Bujang. Sementara di halaman 102 dan 108 disebutkan nama Buyung. Tidak ada penjelasan pengarang bahwa Buyung adalah panggilan Bujang. Kalaupun dikatakan Buyung sebagai sapaan pengganti nama anak-anak laki yang biasanya dipakai di ranah Minang, juga kurang pas lantaran Bujang juga biasa dipakai sebagai nama sapaan kecil laki-laki.
Selain itu di halaman 127 juga terjadi kesalahan penulisan nama. Dituliskan, “Amak dan Ayah Jauhar mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh guru surau itu.” Harusnya adalah amak dan ayah Nilam, karena yang tengah berdiskusi ketika itu adalah mereka berdua dengan Imam Mudo, bukan ayah dan amak Jauhar yang notabene telah meninggal dibunuh orang. Lalu di halaman 171 hal ini kembali berulang, di mana nama Sutan Ameh dituliskan Sutan Sinaro yang merupakan 2 sosok yang berbeda. Terus ada lagi di halaman 280 dan 290 yang menuliskan Surau Baru, padahal harusnya Surau Tangah atau yang ada itu hanya Surau Batu seperti diceritakan di awal-awal kisah. Dan terakhir di halaman 323 yang menuliskan nama Nilam untuk Rafiah.