Novemberku yang Kelam
Malamku tlah berganti pagi, aku tak jua beranjak dari tempat tidurku yang sudah usang terkena debu halaman. Beberapa kali aku beangkit, namun kembali lagi aku merebahkan tubuhku diatas tempat tidur. Aku melihat keluar jendela, langit masih juga dikerumuni awan tebal yang pekat. Aku jadi semakin merasakan betapa pedihnya November ini, ketika aku harus lalui hari-hariku tanpa sosok sepertinya. Aku kesepian, dan serasa duniaku hancurlah sudah.
Beberapa kali aku mencoba untuk berpaling dan mencari penggantinya, dan sebanyak itu pula aku gagal merajut cinta. Hanya karna aku masih saja dihantui bayang-bayang wajahnya. Tiap kali aku melihat sepasang kekasih yang sedang memadu cinta di taman yang pernah aku kunjungi bersama, serasa sesak dadaku, sakit sekali. Rasanya aku ingin menangis keras! Tapi aku selalu berusaha tetap tegar dan mencoba untuk membiarkan orang lain memiliki hati ini.
Satu hal yang membuatku belum bisa melupaknnya sampai detik ini: Aku belum sepenuhnya ikhlas, merelakan dia dipelukan orang lain sedang dengan aku? Aku harus mengelus dada sembari berkata “Tuhan akan memberikanmu pengganti yang lebih baik”. Aku bukannya tidak sabar akan tibanya sosok pengganti yang baik itu, tapi apa aku harus dan selalu menjadi budak-budak cinta?.
“Sesekali kamu pergi berlibur! Untuk menghilangakn rasa sedihmu itu”. Saran ibuku, tiap kali dia mendapati aku sedang menangis. Namun aku selalu menolak dengan berbagai alasan untuk membuat ibuku percaya kalau aku baik-baik saja. Tapi ibu mana yang tidak peka terhadap perasaan anaknya, apalagi anak gadisnya.
“Apa air mata ini tidak mampu membuatku lupa terhadapnya?”. Tanyaku dalam hati “Apa salahku? Kenapa dia menyia-nyiakan aku dengan cintaku? Aku sudah memberikan seluruh cintaku untuknya, tapi kenapa? Alasan jarak, dia pergi meninggalkan aku sendiri tanpa sepatah katapun. Tuhan kenapa kau tidak membiarkan dia mencintai aku? Selayaknya Romeo dan Juliet yang saling mencintai sampai penghujung usia”. Aku kembali menitikkan air mata di penghujung kalimatku.
Lidahku serasa kelu, tak mampu kuucap sepatah katapun dari mulutku. Tiap kali dia hinggap dalam pikiranku. Aku bukannya menyalahi takdir, kemudian aku membenci takdirku yang tidak adil terhadap kehidupanku. Tapi aku marasa manjadi wanita yang paling sial di dunia ini. Dengan seribu alasan aku mencaci maki dia, untuk membuatku tenang. Namun yang ada, dia membuatku semakin cinta.
Aku melihat ke arah jam deker yang aku teruh di meja disamping tempat tidurku. Jam sudah menunjukkan pukul 9:23. Tubuhku masih juga serasa berat untuk bangkit. Sekedar keluar untuk makan, aku masih berfikir untuk keluar.
“Zulia!” ibu memanggilku setengah teriak dari luar kamar. Namun tak jua membuatku bangkit. Semakin erat aku memeluk bantal gulingku. Aku mendengar langkah kaki mendekati kamarku. Tapi aku yakin itu ibuku, karena aku tak menyahutnya. Pintu kamarku dibuka lebar dan melihat aku masih saja tertidur, lalu ibu mendekatiku dan berkata, “Perjalananmu masih panjang nak. Apa kamu akan terus menjadi pemalas seperti ini?” Ibu mengelus rambutku lembut. Dari caranya aku sudah tau dia ingin aku bangkit, tapi aku butuh waktu. “Ibu juga pernah muda, pernah jatuh cinta, ibu juga pernah patah hati. Tapi hal itu tidak membuat ibu menjadi pemurung. Berfikirlah nak! Dia bahagia dengan wanita lain diluar sana. Sedang denganmu? Kamu murung dan terus-terusan mengurung diri hanya karena dia meninggalkanmu, kamu kehilangan arah hidup. Mana Zulia Dewa Nanda? putri ibu yang dulu selalu ceria. Apa ibu tidak cukup kuat untuk membuatmu bangkit nak?”. Tanya ibu lembut.
Aku menoleh kearahnya dan berusaha untuk tidak menitikkan air mata lagi. Kali ini ibu mampu membuatku berbicara. “Aku benar-benar hancur ibu”. Nadaku pelan menatapnya. “Aku tulus mencintainya, ibu. Aku salah apa? Sehingga dia pergi. Bagiku jarak bukan masalah. Disini aku setia menunggunya. Beribu alasan aku menolak setiap kali ada laki-laki yang berusaha mendekati aku. Tapi kenapa dengannya begitu mudah untuk berpaling dariku. Kesetiaanku disia-siakan ibu. Itulah kenapa aku belum ikhlas menerima ini semua.”
Ibu memelukku sembari mengelus kembali rambutku yang msaih terurai berantakan. “Akan ada laki-laki yang menggantikannya. Bahkan lebih baik darinya. Belum tentu juga dia mendapatkan wanita yang lebih baik darimu. Percayalah nak! Akan ada balasan dari tiap tetes air matamu. Sekarang bangunlah! Baiknya kita sarapan dulu. Kakak-kakakmu sudah sarapan duluan, mereka takut telat bekerja. Bapakmu masih menunggu diluar, katanya dia mau makan bersama anaknya yang cantik”. Rayu ibuku melepas pelukannya.
Dengan sedikit malas aku menuruti ibuku dari belakang mengikutinya ke dapur untuk makan bersama bapakku. Melihatku keluar bapakku tersenyum, kemudian berkata. “Putri bapak yang cantik akhirnya mau juga makan”.
“Ussstt” kata ibuku cepat menyambar kata-kata bapakku. “tidak usah bilang gitu pak, sudah untung Zulia mau makan. Ibu tidak mau melihat anak kita kenapa-napa. Bukannya ibu tidak mau repot kalau anak kita sakit. Ibu akan mengurusnya. Cuma ibu tidak rela kalau anak kita sakit gara-gara laki-laki yang tidak bertanggung jawab pak!”.
Bapakku hanya menggangguk mengiyakan perkataan ibuku, sambil memilit-milit kumisnya yang lumayan panjang hampir beruban itu. Kemudian bapak menyiapkan aku tempat duduk disamping kananku, dengan ibu disamping kiriku. Meskipun aku sedang makan dengan orang tuaku, serasa aku belum juga mampu melayagkan senyuman. “Apa salah mereka?” Tanyaku dalam hati sembari menguyah makanan dalam mulutku. “Mereka sama sekali tidak salah”. Jawabku dalam hati. “aku yang tidak becus jadi anak. Kurang perhatian apa mereka? Semua terkabul hanya dengan sekali ucap”. Aku masih saja membatin dalam hati, aku mendangar dalam kamarku ponselku menerima pesan entah dari siapa. Aku mendorong kursi kebelakang dan beranjak ke kamar, namun kedua orang tuaku tidak bertanya atau apa. Dia membiarkan aku pergi begitu saja. Aku mengambil ponselku dan membuka pesan singkat itu. Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat orang yang mengirimi aku pesan ternyata dia. Dia yang telah menyakiti aku. Pelan aku menekan tombol ponselku dan membuka pesan itu.
“Hai gadis cantik pencuri hatiku!”
Mataku terbelalak melihat pesannya. Aku marah sekaligus kecewa. Dia merasa tak bersalah setelah meninggalkan aku begitu saja. Rasanya ingin aku remas-remas jantungnya, lalu aku lempari ke binatang yang paling hina yang ada di muka bumi ini. Aku masih ragu untuk membalasnya, aku berfikir sejenak. Akhirnya setelah beberapa menit kemudian aku memberanikan diri untuk membalas pesannya. “Kamu sudah tidak penting lagi dalam hidupku, enyahlah kamu sebelum aku benar-benar membencimu”.
Sepersekian detik dia membalas pesanku lagi, dengan kata yang lebih membuatku merasa benar-benar dipermainkan. “Bencilah aku! Aku tetap dengan pendirianku. Aku akan berusaha mendapatkanmu lagi”.
Kata-katanya membuatku menjadi benar-benar naik pitam. Aku tidak membalas pesannya yang ini. Karena aku yakin, kalau diladenin dia semakin menggila. Karena sebagai lelaki dia tak mampu bertanggung jawab terhadap perbuatannya.
Lagi-lagi ponselku berdering, tapi aku malas sekedar membuka isi pesannya.
“Kamu jangan sombong dech! Aku sangat mencintaimu. Aku baru sadar kalau kamulah wanita yang mampu membuatku merasa cinta itu benar adanya”.
Rasanya aku ingin menampar wajah liciknya itu setelah membaca pesannya. Dia benar-benar laki-laki yang paling aneh yang pernah aku kenal. Dia tidak sadar, kalau dialah orang yang membuat duniaku hancur. Dan sekarang tanpa rasa bersalah dia menginginkan aku kembali. Aku butuh berfikir seribu kali untuk permintaannya itu, atau mungkin aku tidak perlu berfikir, langsung saja aku tolak!. Namun aku berusaha untuk menerima kata-katanya via sms, dan membalasnya meski terbersit rasa tidak tulus dalam hatiku.
“Kamu terlambat menyadari. Aku sudah tidak ingin kenal dengan orang sepertimu lagi. Cintailah wanita pilihanmu. Wanita yang dulu kamu bangga-banggakan didepan wanita yang tulus mencintaimu. Apa kamu tidak puas menyakitiku?”.
Lagi-lagi dia membalas pesanku dengan kata-kata yang amat meyakinkan, bahkan membuatku benar-benar jengkel. “Aku salah! Aku minta maaf. Tapi aku benar-benar ingin menjalin hubungan denganmu, lagi”.
Sesegera mungkin aku membalas pesannya, dengan kata ketus supaya dia sadar “Ya, aku tlah memaafkanmu! Tapi bukan berarti aku harus menerimamu kembali. Jujur saja, aku mencintaimu, tapi itu sudah berlalu seiring tetes air mataku yang hampir kering karenamu”.
“Aku janji, aku akan menjadi lebih baik! Tapi berikan aku kesempatan dulu”.
Jelas aku tidak membalas pesannya yang terakhir aku baca. Menurutku dia tidak pantas menerima kesempatan itu. Aku terlalu sakit dibuatnya.
Belum saja aku keluar pintu, aku terkejut dengan ibuku yang berada tepat di depan pintuku. Diam-diam ternyata ibuku mengintip. Aku hanya menundukkan kepala menunjukkan raut wajah tak bersemangat.
“Apa kamu berhubungan dengan dia lagi?”. Tanya ibuku.
“Ya ibu” jawabku singkat.
Ibu menatapku berusaha memendam amarahnya, kemudia berkata. “Pokoknya ibu tidak mau kalau kamu berhubungan dengannya lagi, Zulia. Kali ini ibu melarangmu! Aku tidak mau dia menyakitimu lagi”.
“Aku tau ibu! Aku sudah tidak mengharapkannya lagi. Sekalipun dia harus mati, aku tidak peduli. Aku tetap memilih untuk tidak mengenalnya lagi. Cukup sekali, ibu”.
Ibu tersenyum lega mendengar ucapanku, kemudian mengarahkan aku untuk kembali melanjutkan sarapan sekaligus makan siang yang sempat tertunda.
***
Sekarang aku merasa nasib baik sedang berpihak padaku. Ahmad Syafei Husairi. Laki-laki yang pernah menaykiti aku, kini mengemis-ngemis untuk membuatku jatuh cinta lagi padanya. Tapi bukan berarti aku berbangga diri dengan keadaan ini. Justru aku risih, karena tiap aku keluar rumah, aku selalu bertemu dengannya kemudian aku menghidarinya tapi dia mengejarku. Serasa menjadi seorang maling yang kedapatan lagi mencuri, kemudian dikejar-kejar sampai keringat bercucuran.
Sampai pada suatu ketika aku harus dengan terpaksa melihat wajahnya, bertatapan muka ditempat umum. Hal ini terjadi karena aku tidak memperhatikan pejalan kaki yang lalu lalang di trotoar dekat taman. Dia memegang tanganku erat, dan tidak mau melepaskanku.
“Kali ini aku sudah mendapatkanmu, aku tidak akan melepaskanmu”. Nadanya kesal, setelah berbula-bulan aku menjadi buronannya.
Aku tetap berusaha melepaskan tangannya yang semakin erat dia pegang. Niatnya aku berteriak, tapi tidak mungkin. Aku takut menanggung malu dilihat oleh pejalan kaki yang lalu lalang. Meski tidak semua aku kenal, tapi taman ini tetap milik publik, bukan milikku pribadi.
“CUKUP!”. Teriaknya kasar, tanpa memperdulikan orang yang ada disekitar kami. Beberapa orang sempat berhenti dan melihat kami berdua, kemudian jalan kembali. “Aku tidak akan rela kamu jatuh ketangan orang lain, sekarang kamu harus ikut bersamaku!”
Dengan tubuh diseret ke arah jalan aku berusaha melawan dan berkata “Aku lebih tidak rela kalau aku jatuh ketanganmu lagi”. Jawabku ketus.
Dia semakin marah mendengar ucapanku barusan. Kali ini dia menyeretku ke arah taksi yang dia hentikan tepat ditengah jalan. Dia memaksaku masuk, mendorongku hingga terjatuh ke dalam taksi. Aku bukannya tidak berusaha untuk melawan, tapi apalah daya aku dibandingkan dengan tenaga lelaki.
Sesampainya di tempat, dia membayar taksi kemudian memaksaku keluar. Aku tidak begitu saja mengikuti keinginannya. Namun dia menarik pergelangan tanganku keras. Kembali lagi dia membopong aku masuk ke sebuah rumah. Aku tidak tau dimana aku berada dan siapa pemilik rumah itu?. Sesampainya di depan beranda rumah, dia melepaskan aku pelan. Begitu aku turun aku langsung menampar wajahnya. Jelas wajahnya memerah seketika. Tapi dia tidak marah atau melawan.
“Berlakulah sesuka hatimu! Sebentar lagi kamu akan jadi milik Ahmad Syafei Husairi. Inilah garis yang di takdirkan tuhan untuk kita. Sekarang kamu harus menerima kenyataan ini”. Katanya memperlihatkan aku wajah kemenangan.
Aku meludahi wajahnya dengan penuh amarah setelah mendengarkan kata-katanya yang membuatku benar-benar ingin mencoret wajahnya dengan pisau. Tapi aku tidak mungkin melakukannya. Pertama aku takut dosa, kedua aku tidak ingin mngotori tanganku sekedar melukainya.
“Aku pernah bilang! Aku pasti akan mendapatkanmu kembali. Dengan cara apapun”.
“Bunuhlah aku! Aku tidak sudi menjadi milikmu. Aku lebih baik tidak laku, dari pada harus bersanding di foto pengantin denganmu. Aku tidak sudi!”. Ulangku lagi. Namun kata-kataku tidak mampu merubah niatnya. Dia hanya membalasku dengan tawa puas.
Beberapa menit kemudian, keluarlah seorang wanita paruh baya dari pintu depan rumah. Aku menatap wajah itu lumayan lama dan menerka-nerka siapa wanita itu. Setelah beberapa menit baru aku tau, itu ibunya Syafei. Mungkin dengan adanya aku disana, dia tau niat putranya itu. Dengan isyarat tubuh dia menyuruh Syafei dan aku masuk. Langkah kakiku agak berat ketika aku dipaksa lagi untuk masuk. Tapi aku terpaksa harus menurutinya karena terus saja dia menarik tanganku, kali ini aku tidak melawan. Di dalam aku melihat beberapa tetua keluarganya berada di ruang tamu depan.
Betapa terkejutnya ketika aku mendegar salah seorang keluarganya berkata padaku. “Jadi ini ya calon istri yang sering kamu bicarakan Syafei” tunjuknya ke arahku “cantik, pantas saja kamu tergesa-gesa ingin menikahinya” lanjutnya lagi.
Mendengar kata itu aku segera membalasnya. “Aku tidak sudi dinikahi olehnya, dia menculikku. Apa kata orang tuaku nanti kalau mereka tau aku disini”.
Aku bergegas keluar, melihat kakiku melangkah ke arah pintu, Syafei langsung menarik tanganku dan membawaku ke dalam kamar kemudian melepaskanku.
“Jangan pernah kamu mengatakan hal itu lagi” ancamnya menunjuk ke arah wajahku.
“dan jangan pernah kamu memaksaku untuk dinikahi oleh laki-laki bejat sepertimu” balasku dengan cepat.
“Heh” ketusnya menampakkan wajah angkuhnya “selama aku masih hidup, kamu tidak akan bisa menjadi milik orang lain. Sekarang aku semakin dekat dengan pernikahan, dan betapa bahagianya aku mendapati calon mempelaiku adalah sosok bidadari bernama Zulia Dewa Nanda. Nama yang cantik, secantik wajahmu”.
Die berusaha menyentuh wajahku, namun sesegera mungkin aku menepis tangannya. Namun aku tau dia bukan tipikal laki-laki yang mudah menyerah. Gagal, dia pasti akan mencoba lagi, sampai apa yang dia inginkan tersampaikan.
Beberapa hari kemudian segala persiapan menjelang pernikahan hampir selesai. Semakin dekat pernikahan itu, semakin banyak pula air mata yang aku teteskan. Aku bukannya pasrah-pasrah saja dengan keadaan ini. Aku sudah berusaha kabur berkali-kali, tapi dia tetap saja mendapati aku. Begitupun dengan orang tuaku, yang tadinya dengan amarah yang menyala-nyala ketika dia tau aku dinikahi oleh laki-laki yang dulu menyakiti aku. Tapi keluarganya berhasil meyakinkan kedua orang tuaku dan saudaraku dengan niat baik Syafei. Aku semakin tidak berdaya dengan restu kedua orang tuaku. Apalagi ibuku, dia banyak menasehati aku, agar aku lebih menghormati calon suamiku. Aku hanya mengiyakannya. Bukannya aku anak yang tidak penurut. Tapi aku punya alasan kenapa aku bertahan dengan sikap acuh tak acuhku ini.
Aku tidak pernah membantu persiapan pernikahan yang tidak aku harapkan ini. Adat orang sasak menikah, calon pengantin harus bantu-bantu masak dan mencuci. Tapi aku sedikitpun tak bergerak, aku hanya tidur dikamar kemudian berteriak memanggil Syafei untuk menyiapkan aku makanan. Mulai dari sarapan sampai makan malam menjelang aku tidur. Namun dia tidak pernah berontak dengan prilaku ku, dia hanya mengiyakan setiap keinginanku.
Sampai pada suatu hari aku dengan terpaksa memperhalus bicaraku padanya selayaknya sepasang calon pengantin yang sedang berbahagia.
“Syafei…”. panggilku pelan, melihat dia pergi ketika aku melemparinya dengan air cuci tangan yang dia sediakan. Karena menyesal aku berusaha minta maaf.
Dia menoleh kearahku, namun dia tak berkata sepatah katapun. Kali ini aku mendekatinya kemudian berkata “alangkah bahagianya aku sekarang ini, jika saja kamu tidak pernah melukai hati ini. Hati yang dulu tulus yang kamu balas dengan dusta. Aku kecewa padamu.”
Karena merasa bersalah, Syafei memegang tanganku. Dia menatap mataku penuh cinta. Lalu perlahan terdengar suaranya “Inilah karmaku Zulia, aku terlalu menyakitimu. Orang tuamu pernah mengatakan hal itu padaku, namun aku tidak cukup kuat untuk meyakinkan mereka. Karena itu, keluargaku yang pergi untuk meyakinkan niat tulusku untuk menikahim. Aku mencintaimu Zulia Dewa Nanda”. Nadanya pelah diakhir kalimatnya ketika menyebut namaku.
“sekarang kamu pergilah keluar!” suruhku dengan nada yang masih pelan.
Kemudian dia pergi tanpa membantahku. Diam-diam aku memperhatikan langkahnya yang dia percepat. Aku hanya bisa tertawa kecil melihat tingkahnya. Lucu, setelah dia menyia-nyiakan aku, akhirnya dia sadar kalau aku begitu berarti dalam hidupnya. Tapi aku membiarkan pernikahan yang tidak aku harapkan ini terjadi. Aku pikir ada baiknya aku berdamai dengan keadaan. Percuma aku berontak, toh keluargaku sudah merestui. Jadi aku rasa aku harus mengikuti keinginan orang banyak.
***
Pernikahan ini seperti mimpi bagiku, mimpi buruk yang tak kunjung usai. Namun aku bisa berdamai dengan keadaanku setelah kehadiran Boby Guinefa Alenzha, putra ku yang pertama dari pernikahanku dengan Ahmad Syafei Husairi. Dia anak yang tampan, persis seperti bapaknya. Tapi aku berharap kelak dia akan menemukan jodoh yang terbaik, tidak seperti ibunya.