Olimpiade Rasa Ala Hujan
Hujan sedang berlomba mencapai bumi. Kali ini pesertanya jauh lebih banyak dibanding hari biasa. Ramai sekali.
Sorak-sorai halilintar mewarnai persaingan butir-butir air dari se-antero kota. Ada yang terhempas mengenai atap bangunan sehingga berhamburan, ada juga yang terpaksa harus keluar lintasan karena terkena angin kencang.
Ada yang datang dari penghulu sungai, ada yang berduyun-duyun dari gang-gang sempit disamping selokan. Semua beramai-ramai mendaftarkan diri kepada perkumpulan awan hujan, untuk kemudian menunggu aba-aba dari Tuhan. Tujuannya satu, secepat mungkin turun ke daratan sebagai garis finish, menyampaikan jawaban dari doa-doa manusia. Sesudah itu kembali lagi merangkak naik, dan berlomba lagi, begitu seterusnya.
Bulan-bulan antara Oktober dan Maret memang lazim dikenal sebagai musim Olimpiade Hujan. Dan, kota Bandung sudah pasti menjadi tuan rumah favorit, selain Bogor tentunya. Tapi sejak negara api menyerang–yang serangannya kita sebut sebagai global warming–perkumpulan awan hujan nampaknya kasian melihat penduduk bumi kepanasan, jadilah olimpiade itu diadakan hampir setiap bulan.
Aku, Jepri, cowo tulen–anak SMA yang masih penasaran kenapa diberi nama demikian–terduduk heran menyaksikan olimpiade hujan. Bersama Alif, Rangga, dan Indra, teman satu kelompok saat belajar bersama di bimbel Karisma ITB. Seperti hujan, kami pun sedang berlomba, mencapai prestasi tertinggi di sekolah. Setiap hari Selasa dan Kamis sore, kami berkumpul di koridor timur masjid Salman ITB untuk memperdalam pemahaman pelajaran, khususnya mempersiapkan Ujian Akhir Semester yang tinggal menghitung hari.
Kami dibimbing oleh pengajar dari Karisma ITB. Namanya kak Melati. Mahasiswi jurusan kimia, angkatan 2011. Kakak pengajar yang satu ini sudah cantik, shalihah pula. Tak pernah kegiatan belajar kami dimulai, kecuali beliau bertanya: “Sudah Shalat Ashar belum?” yang pasti kami jawab dengan saling menyaingi suara, “Sudah, Kak!”
“Alhamdulillah, bagus… jangan sampai telat shalatnya yah, biar belajarnya juga berkah,” kemudian dijawabnya sambil mengembangkan senyum yang merekah.
Hal itulah yang kemudian membuatku penasaran: apa semua mahasiswi ITB secantik dan seshalihah ini?
Kalau benar begitu, aku tak sabar ingin jadi mahasiswa–kalau bisa jurusan kimia–, agar bisa ketemu kak Melati setiap hari. Eh, iya, dia udah punya pacar belum ya?
Sekarang giliran pelajaran biologi, tentang tumbuhan dan perkawinan silang. Aku sudah sering mendengar perkawinan silang antara dua suku yang berbeda, seperti misalnya Jawa dan Sunda. Dari mana lagi kalau bukan dari cerita keluarga? Konon katanya aku terlahir sebagai anak Janda, alias Jawa-Sunda. Ayahku yang asli Jawa bertemu dengan Ibu, mojang gulis dari tanah Sunda.
Perkawinan silang antar manusia memang lebih mengherankan dibandingkan tumbuhan. Kalau tumbuhan cukup dikawinkan di satu tempat begitu saja, kalau manusia tidak begitu, harus sama-sama sepakat dan disaksikan banyak orang. Ada adat istiadat yang harus diikuti, lengkap dari A sampai Z. Kalau tidak dipenuhi salah satunya, bisa batal. Benar-benar rumit.
Tak terbayangkan, bagaimana kalau itu terjadi dalam dunia tumbuhan. Mereka, kan dari varian yang berbeda-beda. Apa kemudian juga punya adat istiadat yang bermacam-macam? Kebayang kalau tumbuhannya menolak dikawinkan, atau tata cara kawinnya tidak disetujui keluarganya, gimana ya? Ah, kok jadi mikir ke mana-mana.
“Ya, sekarang kita buka bab Perkawinan Silang. Kemarin sudah kita bahas tentang percobaan Mendell. Nah coba ada yang masih ingat? Kasih contoh hasil perkawinan silang antara dua galur murni?”
“Melati merah, Kak, cantik, berani juga wangi,” kata Alif penuh semangat, sambil iseng memejamkan mata dan mengenduskan hidung, mencoba meresapi wanginya dengan penuh imajinasi. Dia bisa dibilang paling pintar soal biologi, semua nama-nama latin yang ada di buku, dia hafal di luar kepala.
Ah, tak perlu membayangkannya terlalu jauh, karena melati itu sudah ada di depanku. Seperti kakak, yang cantik dan wangi dalam balutan gamis merah. Mungkin hasil perkawinan silang antara Jepang dan Korea.
“Eh, ada gitu melati merah?”
Indra bertanya, setengah tidak percaya. Karena yang ia tahu, di mana-mana melati itu warnanya putih, tidak ada warna lain.
“Ada, melatinya selingkuh sama mawar merah kali, haha!,” celetuk Rangga.
“Hus, kamu ini… jangan asal ngomong! ada tahu, namanya ‘Frangipani Merah’, atau nama latinnya Plumeria Rubra. Itu memang jarang ditemukan di Indonesia, spesies langka. Kebanyakan ada di benua Amerika dan India,” terang Alif membantah pernyataan Rangga tentang perselingkuhan bunga melati.
“Iya, langka, kaya gigi kamu yang juga jarang-jarang, haha!,” balas Rangga sambil tertawa.
Kami berempat cekikikan. Sedang Alif, cemberut dan kemudian menutup sebagian mulutnya dengan tangan kanan.
“Hmm.. iya, bol…leeh… terus, yang lain?” kak Melati nampak geli, matanya menyipit sambil menundukkan kepala, sesekali nampak giginya menyeringai. Khas sekali, dengan lesung pipit yang semakin membuatnya nampak cantik, bagaimanapun ekspresinya.
“Jadi, boleh nih, Kak?” tanyaku iseng. Maksudku, bolehkah seorang Jepri jadi pacar kak Melati? Begitu, tadinya….
“Eh, boleh apa maksudnya?” kak Melati bertanya heran. Untunglah, beliau tidak menanggapinya serius.
“Ngga kok, Kak. Tidak apa-apa. Si Jepri mah sok bercanda…,” kilah Indra. Dia tahu, aku sudah lama naksir kepada kak Melati, sejak semester pertama.
“Dasar, kalian ini.. udah ayo fokus lagi! Besok Kamis jadwalnya Matematika, kalau hari ini ngga selesai, bisa jadi dilanjut Biologi lagi nanti,” tegur kak Melati sambil membuka-buka lembaran buku paket.
“Yah, jangan lah kak, biasanya suka ada PR buat hari Jum’at, ntar kalau ngga bisa gimana. Persamaan-persamaan itu loh, masih bingung,” kata Indra memelas. Dia paling tidak suka matematika, karenanya dia selalu membawa PR nya ke sini, untuk dibantu dikerjakan oleh kami.
“Nah, makanya… sekarang belajarnya yang serius, biar besok bisa bahas soal persamaan Matematika,” sambung kak Melati.
“Iya, Kak,” jawab kami berempat serempak.
Kak, dari dulu kakak ngajarin aku membuktikan kebenaran persamaan matematika. Kapan kakak ngajarin aku ngebuktiin persamaan rasa antara kita? Aku bisa, yakin bisa, Kak.
**
Waktu semakin senja, harum wangi melati mulai berganti harumnya bunga kaos kaki, rasanya mau mati. Ditambah lagi dengan semilir angin sepoi-sepoi beraroma keringat, sepertinya Rangga lupa mandi tadi pagi.
Namun orang-orang di sekitar nampaknya tak peduli, mereka masi kuat bertahan. Tidak sepertiku yang menderita karena sibuk menutup hidung, mereka sibuk menonton olimpiade hujan yang entah kapan berhentinya.
“Sebentar ya, kakak mau ambil fotokopian soal-soal dulu…,” kata kak Melati beberapa saat yang lalu.
“Oke, Kak…,” serempak kami menjawab. Semua penjelasan tentang fenotipe, genotipe, dan tipe-tipe lainnya hilang terbawa angin, seraya kami memandangi kepergiannya. Satu-satunya tipe yang masih teringat adalah tipe wanita idaman para pria, yaitu kak Melati.
Kulihat HPnya tergeletak di bawah meja. Syukurlah, setidaknya masih tersisa aroma melati di sana. Akupun penasaran dan mengambilnya pelan-pelan. Nampak ada satu pesan yang belum terbaca.
“Heh, pri! Ngapain maneh?? (‘Heh, Pri! Ngapain kamu??’,red),” melihat tindakanku, Indra menegur sambil menusukkan pulpennya ke punggung, membuatku mengerang kesakitan.
“Aduh! Sakit tahu!”
Untung saja mata penanya sedang disarungkan. Kalau tidak mungkin ceritanya akan berbeda.
“Mau ngapain kamu? pegang-pegang HP punya orang, ngga sopan!”
Ia nampak seperti lawan tanding yang curiga bila aku berbuat curang. Diam-diam, mungkin dia juga menaruh hati pada kak Melati.
“Nggaaa… cuman mau liat aja, itu HP kakaknya bagus,” kataku berkilah. Memang aku belum sempat melakukan apa-apa, hanya menyentuh casingnya yang bermotif bunga-bunga. Seperti hatiku saat pertama kali bertemu dengan si pemiliknya.
“Ah, alibi maneh, bilang aja mau ngeliatin isinya (ah, alibi kamu, bilang aja mau melihat isinya)”
“Ya, kali aja ada fotonya, iya teu? Hehe”, lagi-lagi Rangga dengan ide gilanya yang kadang sedikit “nakal”.
“Ih ari maneh, niat belajar apa ngeceng?” jawab Alif, mempertanyakan keseriusan Rangga.
“Sueer, aing mah keur belajar, samber gledek geura lamun bohong mah! (Sueer, aku tuh mau belajar, sambar petir deh kalau bohong!, red),” Rangga berusaha meyakinkan, meskipun aku tahu dari tatapan matanya, ia memyimpan sebuah niatan lain.
DARR!! JDARRR!!
Tiba-tiba petir menggelegar, menegur kami dengan keras karena bercanda di tengah lomba. Keras sekali hingga jendela di dekat kami pun ikut merinding, takut disambar.
“Astaghfirullah.. astaghfirullah!!,” Alif dan Indra terperanjat, kemudian mengelus dada cepat-cepat. Komat-kamit baca istighfar.
“Astaga! An**ing!,” lain halnya dengan Rangga, dzikirnya amat berbeda, mirip sih, tapi tetap saja beda.
“Eh, kalau ngomong hati2.. bukannya istighfar. Kebiasaan nih pasti!,” Aku, Indra, dan Alif ramai-ramai menceramahi Rangga. Kadang bicaranya memang agak sulit diatur.
“Iya maap.. habis petirnya kenceng banget. Kaya emak-emak lagi main petasan. Kayanya mah persis di atas masjid. Sieun urang (takut saya, red)…”
“Tuh, kan! Ketahuan bohongnya!,” kembali kami menghujani Rangga dengan kata-kata.
“Yee.. hati-hati percaya sama mitos, ga ada hubungannya kali petir ama sumpah, kali aja kebetulan kan, namanya juga lagi hujan pasti banyak petir, dong!,” Rangga berkelit. Padahal jelas-jelas dia sendiri yang tadi bersumpah dengan perantara petir.
“Iya ya… percaya yang anak ustad…,” kata Indra.
Sejenak kami melihat keadaan sekitar. Ternyata, tidak cuma kami yang terkejut dengan petir barusan. Beberapa kelompok belajar yang lain pun ikut ramai, terutama para perempuan. Beruntung tidak ada yang pingsan.
“Ngomong-ngomong kak melati kemana yah?” tanyaku pada yang lain. Sudah hampir setengah jam kak Melati tidak juga kembali.
“Iya, kok lama banget?” rupanya Indra merasakan hal yang sama.
“Samperin aja gih ke fotokopian, Pri! Kamu kan ketua kelompoknya!,” usul Rangga. Benar juga, tapi aku sama sekali tidak berani.
“Kamu aja ah, Lif, malu ntar dikira modus,” kataku menolak. Meskipun sebenarnya juga penasaran, dan ini adalah kesempatan yang tepat untuk mendekati kak Melati. Haruskah aku pergi menghampirinya?
**
Ketika hujan, ujung jalan di samping Gedung Sayap Selatan—lorong kecil tempat berjajarnya kios-kios yang disewakan, termasuk kios fotokopi langganan kak Melati—ibarat air terjun, terbuka tanpa pelindung. Tentu saja orang lebih memilih melewati jalan di samping kantin—satu belokan dari situ—, memutarinya.
Di sana banyak orang mondar-mandir, gelisah menungu aba-aba Tuhan untuk mengakhiri perlombaan hujan. Beberapa kemudian berhenti—mungkin karena lelah—, duduk di kursi-kursi panjang yang berderet di pinggiran tembok. Temboknya tidak terlalu tinggi, cukup nyaman untuk berpangku tangan sambil mengambil foto, menikmati semangkuk bakso hangat, atau menunggu antrian untuk memesan makan. Jam-jam istirahat seperti ini, antrian pengunjung kantin penuh sesak, hingga tumpah sampai ke jalan. Apalagi kalau hujan sedang turun, mereka tak punya banyak pilihan. Sama sepertiku, yang gara-gara kalah hompimpa, terpaksa harus menghampiri kak Melati di tempat fotokopian.
Saat kulewat, ada pemandangan yang tak biasa. Orang-orang berkerumun, memandangi seseorang yang belum diketahui siapa gerangan. Yang jelas dia perempuan, nampak dari jilbab merah dan rok panjang yang hampir menutupi kaus kakinya. Aku pun mencoba mendekat, menyelusup ke dalamnya.
Seketika aku terdiam, tak percaya apa yang kulihat. Rupanya wanita itu adalah kak Melati. Ia sedang terduduk lemas, nafasnya tersengal-sengal. Jantungku pun berdegup kencang, penasaran. Apa yang sudah terjadi?
“Kak, kak melati kenapa??” tanyaku panik. Orang-orang seketika bingung melihat ke arahku yang tiba-tiba datang dan bertanya macam orang kesetanan.
“Tadi dia kaget gara-gara petir trus kepleset, kena kursi. Tuh liat kursinya sampai patah,” kata pak Bukhori, petugas kebersihan masjid Salman, menunjuk ke arah kursi yang kini teronggok seperti gading patah.
“Astaghfirullah… trus ga kenapa-kenapa kan kak??” tanyaku lagi, memastikan kak Melati baik-baik saja.
“Alham..dulillah.. ngga papa.. Jep..,” kata kak melati setengah menghela nafas, aku tahu pasti sangat berat rasanya. Tidak biasanya petir menyambar kencang seperti sore ini.
“Kok bisa sampai jatuh sih, Kak?” aku tidak habis pikir, bisa-bisanya ada kejadian seperti ini.
“Iya.. jep.. tadi gak sengaja kepleset..” jawab kak Melati. Lagi, matanya menyipit. Nampaknya sedikit menahan sakit di bawah pinggangnya.
“Udah, kakak istirahat aja ya? Kita bisa belajar sendiri kok, kak..,” aku kasihan melihatnya, tidak mungkin pelajaran hari ini diteruskan, kalau begini keadaannya.
“Iya, ini… fotokopiannya, soal-soal latihan buat UAS minggu depan,” ucapnya lirih sambil menunjuk sebungkus plastik berisi kertas-kertas di sampingnya. Hampir tak terdengar. Salah seorang dari kerumuman membantunya mengambilkan bungkusan itu.
“Sekalian tolong bawakan HP kakak ke sini, secepatnya ya, penting. Makasih Jepri…”
“Siap, kak. Tunggu sebentar, ya!” kataku sambil bergegas hendak menghampiri teman-teman di kortim.
Baru setengah jalan, aku memperlambat langkah, ada sesuatu yang terlupakan.
“Oh iya, HPnya kan dari tadi ada di saku? Kenapa tidak aku kasih langsung saja ya?” pikirku, tak menghiraukan orang yang menunggu tepat di belakang. Mengendus.
Semakin lama langkahku makin berat, rasa bersalah pun datang ketika akhirnya berhenti di sudut belokan, depan ruang petugas kemanan. Perlahan kukeluarkan HP dan kutimang-timang.
Haruskah aku mengatakan bahwa sedari tadi HPnya sudah kubawa? Tidak mungkin, pasti kak Melati curiga. Lantas, bagaimana?
Ah, iya. Berhenti saja sebentar di selasar hijau, sambil minum teh. Soal-soalnya titipkan dulu di penitipan sandal. Nah, sekalian ambilin air untuk kak Melati, biar kelihatan perhatian gitu. Yakin kagum deh kak Melati sama aku.
Benar, sempurna!
Setelah minum teh beberapa gelas, aku mengambil cangkir dan mengisinya dengan air hangat untuk kak Melati. Sambil mengingat-ngingat teh yang tadi tiba-tiba terasa wangi dengan sendirinya.
Lima menit kemudian, aku kembali ke lorong Kantin Salman. Untungnya ada teh gratis, jadi kalaupun aku harus lari-lari demi menggendong kak Melati yang pingsan, tidak perlu takut kehausan.
“Kak, ini diminum dulu, biar agak enakan,” kataku menawarkan segelas air yang ingin sekali kubacakan mantra cinta atasnya.
“Wah, makasih Jepri, kamu baik banget.” jawabnya dengan senyum termanis yang pernah kulihat. Duh, hampir aku lupa kalau yang diambil tadi adalah air biasa, bukan teh manis.
“Oh iya. Ini, Kak, HPnya…” kataku sambil perlahan merogoh saku celana.
Kok, HP nya ngga ada??
Ya ampun, aku lupa, ternyata HP itu masih jelas-jelas kupegang.
“Tolong pencetkan nomor telponnya ya, jari kakak lemas, susah megang HP. Tekan nomor 1, trus ditahan agk lama ya, sampai muncul nomernya.” untung saja kak Melati tidak menyadari.
“Layarnya kekunci, kak” kuperlihatkan 9 bulatan putih yang tersusun 3×3.
“Gini, Jep…” Kak Melati memainkan jarinya di udara, membentuk huruf “J”. Kukira mau menghipnotis, ternyata itu kuncinya. Terbukalah layarnya.
Seperti yang diminta, segera kutekan angka 1, agak lama. Muncul sebuah nomor dan nama yang tidak kusangka. Ayang Jefri, tulisan yang muncul di layar persegi itu.
Ayang Jefri? Sebentar, ini bukan nomer hapeku kan, kak? Haha. Bercanda kamu, Jep. Gak mungkin lah.
“i..ini, kak, sudah ditelpon, tinggal ngomong aja,” kembali kusodorkan HP itu kepadanya. Aku curiga, jangan-jangan HP-ku bergetar di ujung sana. Semoga saja Indra dan Rangga tidak iseng mengangkatnya.
Lorong ini pun hening beberapa saat. Sementara di dalam kepalaku bermunculan suara-suara yang menggema, tertawa-tawa geli: “Ayang Jefri, Ayang Jefri, Ayang Jefri…”
Satu menit berlalu. Tidak ada jawaban.
Jelas saja tidak ada yang mengangkat, kan orangnya di sini kak, hihi. Kakak ini gimana toh…
Sepuluh detik.
Wajahnya berubah, kelopak matanya mekar bercahaya.
“Bi, abi cepat ke Salman ya! Umi barusan jatuh di depan Kantin Salman, takut kenapa-kenapa,” katanya sambil menggenggam HP dengan kedua tangan, sedikit gemetaran, “Ditunggu ya, Bi. Hati-hati…”
Abi? Maksudnya, suami? Atau “Abi” yang dimaksud adalah ayahnya? Tidak mungkin, kan beliau bukan orang Bandung asli? Jadi, kak Melati sudah…??
Riuh penonton Olimpiade Hujan pun perlahan mereda, nampaknya sudah sampai putaran terakhir. Tinggal menunggu pengumuman juara, namun aku tahu bahwa bukan akulah pemenangnya.
Aku masih mematung, pura-pura bodoh. Sedang mengamati bunga Melati yang menunggu pangeran kumbang menjemputnya. Cemas. Sejak saat itu, aku tak pernah lagi bisa membayangkan indahnya Melati, sebab kelopak-kelopaknya terguncang hebat kemudian layu berguguran.
Tangga Menuju Langit, 5 Desember 2014