kebohongan 1

Paradoks Kebohongan: Dari Dann Brown hingga Epimenides

Editor Picks, Opini

Ahmad Sirulhaq   :   Direktur Lembaga Riset Kebudayaan dan Arus Komunikasi (LITERASI)

Saya tidak percaya presiden tega merendahkan kenangan istri saya dengan kebohongan keji ini. Demikian senator Amerika, Sedgewick Sextion, yang telah ditinggal mati istrinya itu, bicara dalam konfrensi pers dengan kemarahan yang luar biasa, saraya mata tajamnya memandang kamera media yang memperlihatkan sebuah tatapan terluka. Sebelumnya, Sang Presiden (incumbent) menuduhnya telah memiliki hubungan gelap dengan asisten pribadinya sebagai bentuk kampanye hitam. Penampilan Sang Senator yang begitu meyakinkan di depan media bahkan membuat Gabrille Ashe (sekretaris sekaligus gadis simpanan Sextion) seakan-akan percaya bahwa mereka tidak pernah tidur bersama. Dann Brown melukis kisah perebutan kekuasaan di Amerika itu dalam sebuah fiksi Decepction Point. Di akhir cerita, Sang Senator yang pandai berdusta di hadapan media, akhirnya tak bisa berkutik lagi. Tadinya, di hadapan media, ia bermaksud hendak memperlihatkan foto-foto kekeliruan proyek NASA, yang disokong oleh presiden incumbent, tetapi, apa lacur, Sang Senator tidak tahu kalau foto-foto yang diperlihatkan ke hadapan media sudah diganti oleh gadis simpanannya, yang sudah kecewa, dengan foto-foto bukti skandal pribadi mereka. Baiklah, ini hanya fiksi.

Lima tahun lalu, di Batu Tulis, Brabowo dan Megawati pernah menandatangani kesepakatan untuk membangun koalisi besar dan menandatangani suatu perjanjian yang disebut dengan Perjanjian Batu Tulis. Pada butir ketujuh Perjanjan Batu Tulis itu disebukan, Megawati Soekarnoputri mendukung pencalonan Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada Pemilu Presiden tahun 2014. Belakangan, kita ketahui bahwa bukannya Prabowo yang didukung Megawati, melainkan Jokowidodo. Waktu lima tahun barangkali cukup untuk membuat kita lupa bahwa pernyataan Megawati sudah dilupakan orang. Sebenarnya, bukan lupa atau tidak lupa, tapi dalam politik, kita telah saksikan, sesungguhnya bahasa (tanda) telah mati.

Kematian tanda adalah suatu momen ketika suatu ucapan tidak lagi menemukan referensi yang ostensif (rujukan sesungguhnya). Bahasa, dalam hal ini, memiliki nasib yang merana, maknanya senantiasa berada dalam kondisi menyedang, tidak pasti, berubah-ubah seiring waktu. Suatu waktu, Jusuf Kalla mengatakan, Indonesia akan hancur jika Jokowi jadi presiden. Referensi yang ostensif (ketat) menurut kacamata awam akan mengatkan bahwa ‘memang Indonesi akan hancur jika Jokowi jadi presiden’. Hari ini, bukan itu maksud Jusuf Kalla, ia mengklarifikasi berulang-ulang, bukan itu maksudnya. Seiring waktu, karena makna bahasa selalu tertunda—sebagaimana yang  dikatakan Derrida dalam teori dekonstruksinya—seorang politisi bisa bermain-main dengan bahasa.

Tapi, bagaimana sang politisi bisa tahu bahwa makna bahasa bisa yang ia ciptakan sesuai selera mereka, sehingga tidak peduli dengan apa yang mereka katakan hari ini, karena toh (maknanya) bisa diperbaiki kemudian hari? Mereka tahu dari dunia yang mereka lakoni, dunia politik, dunia  tempat tidak ada makan siang gratis. Traktat hermeneutika Paul Ricoeur setidanya menganjurkan kita untuk memahami teks dengan terlebih dahulu mengembalikan teks pada orientasi dunia-nya, dalam hal ini dunia politik.

Kalau begitu, apakan semua ini kebenaran atau dusta? Jauh-jauh hari kita telah diingatkan oleh salah seorang pakar semiotika terkemuka, kritikus sastra, bahkan seorang sastrawan, Umberto Eco. Jika diringkas, sebagaiman juga telah dimaklumatkan oleh Eco: bahasa atau semiotika adalah sebuah teori tentang dusta. Katanya juga, jika bahasa hanya alat untuk mengatakan kebohongan maka, pada saat yang sama, ia pun tidak bisa digunakan untuk menyapaikan kebenaran. Dari teori sampai praksis, rasa-rasanya, bahasa sudah dikutuk untuk tidak bisa menyampaikan apa-apa.

Lalau, pertanyaan kita berikutnya, apakah dunia politik adalah dunia para pendusta? Bisa ya bisa juga tidak. Sebab, lagi-lagi, kita akan berhadapan dengan sesuatu yang tak pasti. Konon, dalam anekdotnya yang kelasik, ada suatu pertanyaan, dari mana seorang politisi itu bisa diketahui bahwa ia berdusta? Jawabannya, dusta seorang politisi bisa diketahui apabila dia mulai menggerakkan bibirnya. Lho! Kok begitu? Itu artinya dari apa yang dia katakan tidak ada yang benar. Atau dia sedang berusaha menunjukkan kebenaran dengan cara menyembunyikan sesuatu yang lain. Lagi-lagi, paradoks ini sedikit membingungkan kita.

Paradoks ini mengingatkan saya tentang suatu kisah yang pernah diceritakan oleh Richard L. Kricham—seorang Guru Besar Filsafat asal Georgia State University—tentang orang-orang Kreta, dalam bukunya tentang teori kebenaran. Suatu hari, Epimenides yang berasal dari Kreta mengatakan, jangan percaya pada kata-kata yang diucapkan oleh orang Kreta karena apa-apa yang mereka sampaikan itu adalah dusta. Tapi, karena dia sendiri adalah orang yang berasal dari Kereta, berarti kata-katanya juga tidak benar; kalau kata-katanya benar, berarti dia sedang berdusta. Baik yang disampaikan oleh Epimenides ialah  benar maupun tidak benar, kesimpulannya bahwa ia adalah pendusta, karena ia berasal dari Kreta.

Lalu, politisi kita tentu bukan berasal dari Kreta, tapi mereka berasal dari suatu dunia, yaitu dunia politik sebagaimana yang kita bicarakan tadi, dunia tempat tidak ada makan siang gratis. Kalau tidak ada makan siang gratis, berarti tidak ada pula koalisi gratis. Pendek kata, tidak ada koalisi tanpa syarat. Barangkali, pernyataan Jokowidodo benar, bahwa koalisi yang dibangunnya tanpa syarat. Tapi, karena Jokowi adalah politisi yang berasal dari dunia politik, dengan sendirinya apa yang dia katakan berarti juga belum tentu benar. Kebenaran atau kedustaan ini bisa kita buktikan sendiri nantinya. Sekurang-kurangnya, di jejaring sosial tiba-tiba kita melihat distribusi mentri dalam kabinet Jokowi-JK. Lagi pula, karena dalam dunia politik, tanpa syarat tentu juga besa berarti dengan syarat (yang disembunyikan).

Begitu pula yang kita lihat pada kubu Prabowo. Mahfud MD berasosiasi bahwa kalau Prabowo dianggap pelanggar HAM, tentu Soekarno, Soeharto, dan juga Megawati, juga bisa dianggap pelanggar HAM sebab dalam pemerintahan mereka pernah terjadi pelanggaran HAM. Kata Mahfud, Mari kita mulai dari tahun 1965. Terjadi pelanggaran HAM besar-besaran ketika ratusan ribu orang yang dituding PKI itu dibantai, dan itu yang bertanggung jawab Pak Harto. Sebelum G-30 S PKI terjadi, ada juga pelanggaran HAM. Umat Islam banyak yang dibantai, jenderal-jenderal banyak yang dibantai, itu yang bertanggung jawab adalah Bung Karno sebagai Presiden. Pernyataan ini kemudian dikutip oleh banyak media dan dengan cepat menyebar di jejaring sosial. Reaksi keras berdatangan dari sana sini, terutama dari keluarga besar Soekarno (kecuali reaksi dari kubu Prabowo-Hatta). Belakangan, Mahfud pun mengklarifikasi, bukan maksudnya hendak mengatakan Soekarno pelanggar HAM. Barangkali, secara intensioanl (makna sebagaimana yang dimaksud oleh Mahfud), memang Mahfud tidak bermaksud demikian, tapi karena Mahfud berasal dari dunia politik, bisa jadi maksud Mahfud juga bermakna demikian.

Kita berharap dunia politik kita hari ini bukanlah dunia orang Kreta, tempat asal Epimenides, orang-orang pendusta. Tapi, setidaknya, dengan memahami bahwa dunia politik serupa tapi tak sama dengan dunia asal orang-orang Kreta, ada baiknya kita mengikuti garis irama yang diingatkan oleh Eco, sebagaimana kita bahas di awal. Bahasa (politik dan politisi) tidak kuat untuk memikul beban sebagai penyampai kebenaran, atau bahasa politik hanya senjata yang digunakan untuk berdusta. Dengan begitu, kita tidak ikut terseret dalam permainan paradoks kedustaan ini.

Percayalah, kita sudah punya iman (pilihan) masing-masing. Percuma menyampaikan sumpah serapah, sebagaimana para politisi itu menyampaikan sumpah serapah antar-meraka. Lebih baik energi itu kita gunakan untuk saling bertukar pikiran, ide, dan gagasan untuk Indonesia ke depan yang lebih baik. Artikulasi gagasan-gagasan calon pemimpin dalam dialog-dialog intelektual, lebih memberikan harapan akan nasib bangsa ke depan daripada sibuk saling mencaci-maki. Dengan harapan, sekurang-kurangnya mereka yang tadinya golput bisa jadi tidak bisa tidur karena memikirkan tanggal 9 Juli nanti. Sebaliknya, jangan hentikan langkah mereka yang sudah menentukan pilihan hanya karena antipati atas sikap kita yang saling serang (dengan kata-kata negatif dan dusta) di jejaring sosial. Atau, jangan-jangan—siapa tahu—kita adalah orang Kerta yang terlahir di Indonesia, yang diceritakan dalam legenda Epimenides. Salam tiga jari, peace!

(Pernah dimuat di Suara NTB 25/06/14, dimuat ulang di sini untuk keperluan pendidikan)


Tinggalkan Balasan