PEMILU BORJUASI JELAS AKAN MELAHIRKAN REZIM PROPASAR BEBAS DAN ANTIRAKYAT

Non Fiksi, Opini

PEMILU BORJUASI JELAS  AKAN MELAHIRKAN REZIM PROPASAR BEBAS DAN ANTIRAKYAT

Berbicara pemilu yang terjadi di Indonesia maka tidak ada satupun yang bisa membantah bahwa pemilu Indonesia adalah pemilu elit borjuasi. Ketika berbicara permasalahan atau kondisi hari ini maka kita akan berbicara dan membaca apa yang terjadi kemarin.  ‘Tahun 2014 merupakan tahun politik’ itulah yang dikatakan banyak kalanagan di negeri ini. Di mana tahun 2014 kemarin menjadi tahun pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) nasional Indonesia. Pelaksanaan pemilu tidak bisa kita pandang terpisah dari situasi ekonomi dan politik yang bergejolak, demikian pula dengan pelaksanaan pemilu pada tahun kemarin tentunya sangat berkaitan erat dengan situasi yang terjadi. Hal yang paling penting untuk kita tinjau adalah bagaimana situasi ekonomi nasional prapemilu maupun pasca pemilu berlangsung. Pasca krisis global pada tahun 2008, kita dihadapkan dengan situasi penyelamatan krisis global. Penyelamatan krisis tersebut dijalankan dengan skema agenda kompetis pasar bebas (globalisasi) di seluruh kawasan di dunia. Skema globalisasi dijalankan melalui skema liberalisasi dalam tiga aspek yaitu liberalisasi modal, liberalisasi pasar dan liberalisasi tenaga kerja. Di kawasan asia tenggara sendiri skema tersebut dilakukan dengan merealisasika pasar bebas antar negara di kawasan tersebut. Misalnya kesepakatan pasar bebas AC-AFTA, AIFTA, yang mengantarkan Indonesia  ke dalam situasi keruntuhan kedaulatan ekonomi. Pada tahun 2015 nanti kita akan dihadapkan pada pengesahan persaingan bebas antar kawasan ASEAN melalui kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC). MEA merupakan turunan dari berbagai kesepakan internasional yang gencar dilakukan pada akhir 2013. Beberapa pertemuan internasional tersebut diataranya pertemuan WTO, APEC, G-8, G-20, dan sejenisnya. Dengan alibi kerjasama ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi nasional, mereka menawarkan obat mujarab dari krisis, yaitu pembukaan pasar bebas, liberalisasi arus modal dan liberalisasi pasar dan liberalisasi tenaga kerja. Sebagai negara yang sudah dicengkaram dan tunduk terhadap kepentingan kapitalisme Indonesia seperti anak yang patuh dan sangat penurut dengan terlibat cukup aktif antusias dalam menjalankan skema yang  penuh dengan kepentingan kapitalisme tersebut. Sikap patuh Indonesia dilakukan dengan langsung menurunkan program paket kebijakan percepatan pertumbuhan ekonomi dalam program MP3EI yang sarat liberalisasi. Bahkan ketika nilai tukar rupiah anjlok pada pertengahan tahun 2013 akibat liberalisasi pasar modal dan fundamental ekonomi nasional yang keropos, rezim harus berpikir keras dan makin patuh dengan mekanisme pasar bebas melalui menciptakan iklim infestasi yang ramah bagi investor asing, memberi keringanan pajak bagi pengusaha, memberlakukan swastanisasi di semua sektor, pemotongan subsidi sosial dan mempraktekkan politik upah murah untuk menjamin kesediaan tenaga kerja murah. 

Pemilu 2014 sejatinya merupakan panggung pesta para elit borjuasi. Dalam pelaksanaan pesta demokrasi elit tersebut, akan memberikan pengaruh pada pelaksanaan skema pasar bebas. Rezim yang lahir dari pemilu borjuasi 2014 pasti akan melaksanakan kebijakan propasar bebas melalui kebijkan untuk menciptakan iklim investasi ramah di Indonesia, mebuka ruang pasar yang sebesar-besarnya bagi multi nasional, menyediakan tenaga kerja murah melalui politik upah murah dan pasar tenaga kerja dalam skup global, memangkas subsidi sosial untuk menstimulus infestasi pada sektor publik. Hal itu dikarenakan sistem demokrasi liberal yang dijalankan dalam demokrasi borjuasi 2014 membuka ruang terhadap demokrasi transaksional yang dapat mengakomodir kepentingan pemodal. bisa kita lihat kemarin, sebelum pilpres maupun pemilu legeslatif (pileg), Indonesia sudah kebanjiran investasi hampir Rp 500 Triliun yang diprediksi akan terus bertambah di sektor industri, seperti industri otomotif, elektronik dan jasa selain sektor pertambangan (melalui penerapan UU Minerba pada tahun 2014). Interfensi kaum modal terhadap pesta demokrasi Indonesia terlihat jelas dengan adanya dukungan dan respon positif dari internasional terhadap elit politik borjuasi dalam pemilu 2014 (kemarin). Interfensi itu dibuktikan dengan adanya pernyataan Bank Dunia, bahwa pemimpin Indonesia selanjutnya bertugas untuk menaikkan harga BBM, tariff dasar listri (TDL) dan sektor transportasi (misalnya kereta api) dengan mencabut subsidi pada sektor public tersebut (terbukti). Maka apa dan siapapun yang akan dihasilkan oleh pemilu borjuasi 2014 pasti akan terus melanggengkan program Liberalisasi (ACFTA, MEA, AIFTA,) yang tentunya akan semakin menjerumuskan Bangsa Indonesia ke dalam cengkraman kapitalisme.

Ambang Keruntuhan Kedaulatan Ekonomi Nasional

Ditengah situasi ekonomi Indonesia yang belum mapan dan kokoh secara fundamental ekonomi nasonalnya ajang persaingan bebas dalam MEA akan meruntuhkan ekonomi nasinal Indonesia. Beberapa situasi keruntuhan ekonomi Indonesia yang labil dan sensitive terhadap perubahan ekonomi global, yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini, mencerminkan bahwa fundamental ekonomi nasional belum memiliki basik ekonomi yang mapan. Sementara dalam cetak biru MEA, ada 12 sektor prioritas nantinya yang akan diintegrasikan. Sektor tersebut terdiri dari tujuh sektor barang yakni industri agro, elektronik, otomotif, perikanan, industri berbasis karet, industri berbasis kayu, dan tekstil. Sisanya adalah lima sektor jasa yaitu transportasi udara, pelayanan kesehatan, pariwisata, logistik, serta industri teknologi informasi (e-Asean). Sektor ini nantinya akan diimplementasikan dalam bentuk pembebasan arus barang, jasa, investasi, dan juga tenaga kerja terampil. Bentuk kerja sama ini bertujuan agar terciptanya aliran bebas barang, jasa dan tenaga kerja terlatih, serta aliran investasi modal yang lebih bebas, disebut bebas karena 4 komponen tersebut (barang, jasa, tenaga kerja dan modal) baik yang berasal dari luar negeri maupun dalam negeri akan diperlakukan sama. Dari 12 sektor prioritas tersebut Indonesia belum memiliki satu sektorpun yang kuat dan siap bersaing dengan negara lain di kawasan Asia. Dengan skema tersebut, maka ekonomi Indonesia akan runtuh dan karena dominasi kekuatan ekonomi negara ASEAN lainnya yang lebih mapan dan memiliki basik yang kuat.

Ancaman bagi Sektor Tenaga Kerja

Proses liberalisasi tenaga kerja melalui mekanisme pasar tenaga kerja labour market fleksibelity akan menjadi ancaman serius bagi tenaga kerja di Indonesia. Dibandingkan dengan tega kerja di beberapa negara ASEAN Indonesia merupakan penyedia tega kerja yang kalah jauh kualitasnya dengan tenaga kerja dibeberapa negara ASEAN lainnya. Dengan jumlah usia produktif/angkatan kerja sebasar 121,19 yang didominasi oleh lulusan SD kebawah sebanyak 56,67 juta (46,7%), SMP 22,1 juta (18,25%), SLTA 11,03 juta (9,10%), Diploma 3,41 juta (2,81%) dan lulusan universitas 8,36 juta (6,90%). Sementara sebelum pemberlakuan MEA tenaga kerja asing di Indonesia berjumlah 68.957 orang (18,70%) pada tahun 2013 dibandingkan dengan jumlahnya pada tahun 2009 jumlah tenaga kerja asing hanya sebesar 58.091 orang. Artinya kualitas tenaga kerja kita masih sangat rendah dibandingkan dengan kualitas tenaga kerja di negara lain di kawasan Asia Tenggara.

Jika dilihat dari indikator produktifitas kualitas tenaga kerja Indonesia menempati urutan ke enam dari 10 negara angota ASEAN. hal ini bisa dilihat dari PDB per kapita, Posisi pertama diraih oleh Brunai Darussalam dengan PDB per kapita sebesar US$ 92,3 ribu, Singapura dengan PDB per kapita sebesar US$ 92,0 ribu, Malaysia dengan PDB per kapita sebesar US$ 33,3 ribu, Thailand dengan PDB per kapita sebesar 15,4 ribu, Indonesia dengan PDB per kapita sebesar US$ 9,5 ribu, Filipina dengan PDB per kapita sebesar US$ 9,2 ribu, Vietnam dengan PDB per kapita sebesar US$ 5,5 ribu, Laos dengan PDB per kapita sebesar US$ 5,0 ribu, Kamboja dengan PDB per kapita sebesar US$ 3,6 ribu, dan Burma dengan PDB per kapitas sebesar US$ 3,4 ribu. Situasi yang lebih kritis lagi akan diahadapi oleh pekerja dengan adanya rencana pengesahan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang upah. RPP upah ini menghendaki bahwa penentuan upah pekerja akan dilakukan berdasarkan negosiasi antara pekerja dan pengusaha (bipartid) dan melepaskan tanggungjawab negara terhadap penentuan upah. Disamping itu keinginan untuk menjaga kestabilan (situsi kondusif) bagi iklim investasi, pemerintah menginginkan bahwa penentuah upah akan dilakukan secara periodic dua tahun sekali. Gagasan yang dimandatkan dalam RPP upah tentunya merupakan satu instrument untuk menghadapi pasar bebas. Baik periodesasi penentuan maupun mekanisme penentuan upah dengan bipartid merupakan persiapan untuk pasar tenaga kerja yang makin terbuka dan bebas.

Ancaman Represifitas dan Kriminalisasi

Dengan masifnya agenda pasar bebas dan fungsi negara sebagai penyamin stabilitas keamanan dan kenyamanan dalam menjalankan agenda tersebut, pasti negara akan menggunakan alat negara sebagai pengaman. Penggunaan aparatur negara dalam menjamin situasi yang kondusif tersebut, akan semakin mempertajam tingkat represif negara terhadap musuh internal yaitu rakyat. Setelah belajar dari pengalaman dalam menjalankan system kerja outsourching dan kontrak, politik upah murah, pengambil alihan tanah untuk kepentingan pembangunan infrastruktur, dan berbagai kebijakan liberalisasi lainnya, yang memunculkan perlawanan rakyat. Maka dalam menjalankan skema pasar bebas yang akan lebih memasifkan agenda liberalsasi di semua sektor represifitas dan kriminalisasi negara pasti akan lebih massif pula. Penggunaan alat negara tersebut telah dilegalisasi oleh berbagai regulasi/peraturan yang telah disiapkan sebelumnya. Misalnya Inpres No. 9 Tahun 2013, tentang pelibatan aparat keamanan dalam menyelesaikan sengketa hubungan industri dan mengawal proses penetapan upah minimum, , UU Keamanan Nasional,UU Penanganan Konflik Sosial, UU Intelijen, UU Ormas dll.

Alat Politik Alternative Sebagai Solusi bagi Rakyat

Dalam situasi negara di bawah kekuasaan kelas borjuasi (elit politik borjuasi) sudah menjadi kebutuhan yang mendesak bagi rakyat untuk menyatukan diri dalam satu alat plitik alternative. Alat politik alternative yang diusung dan dibentuk dari keinginan dan kebutuhan rakyat secara murni berdasarkan kesadaran dan prespektif politik maupun ideologis rakyat. Menjadi alat yang akan memperjuangkan kepentingan rakyat (buruh, buruh tani, nelayan, kaum miskin kota, mahasiswa dll) yang siap berhadap-hadapan dan tampa kompromi melawan elit politik borjuasi. Berdasarkan perspektif dan kesadaran politik maupun ideologisnya tidak akan mau berkolaborasi atau menitipkan nasibnya kepada elit politik, namun dengan alat politik tersebut rakyat menentukan takdir dan nasibnya sendiri. Bagi saya, ketika kita mampu merumuskan suatu permaslahan yang terjadi dengan analisa yang jelas yaitu Indonesia dikuasai oleh elit-elit borjuasi yang propasar bebas dan antirakyat, maka mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus membangun alat politik alternative yang hanya berbicara kepentingan rakyat, karena kita tidak akan mau lagi menitipkan nasib kita pada tangan-tangan mereka (elit borjuasi).


Tinggalkan Balasan