Perbandingan Madzhab dan Hukum oleh Imam Malik

Artikel, Non Fiksi, Religi & Spiritual

Perbandingan Madzhab dan Hukum oleh Imam Malik

Imam Malik  Perbandingan Madzhab dan Hukum (Imam Malik)

 Pengertian Madzhab      Secara bahasa kata madzhab memiliki dua pengertian, yang pertama kata madzhab berasal dari kata : ذهب-يذهب-ذهبا-ومذهبا (سار, مضى, متى  yang berarti telah berjalan, telah berlalu, telah mati, sedangkan pengertian yang kedua, yaitu : mempunyai arti sesuatu yang diikuti dalam berbagai masalah disebabkan adanya pemikiran, oleh karena itu bisa berarti ia mengikuti madzhab.  Sedangkan secara istilah menurut para ahli fikih, adalah sebagai berikut :

1. Wahbah az-Zuhaili, memberi batasan “madzhab” sebagai segala hukum yang mengandung berbagai masalah, baik dilihat dari aspek metode yang mengantarkan pada kehidupan secara keseluruhan maupun aspek hukumnya sebagai pedoman hidup.

2. Qadri Azizy, medefinisikan “madzhab” dengan mengikuti madzhab tertentu dalam pengambilan hukum islam menuju pengembangan madzhab.

3.  Moenawar Cholil, mendefinisikan “madzhab” dengan mengikuti sesuatu yang dipercaya. Batasan lain dalam madzhab adalah dasar pemikiran yang diturut karena telah dipercayai. Dari pengertian diatas sudah jelas bahwa pengertian madzhab itu sendiri secara umum adalah mengikuti pendapat atau cara penetapan hukum para ulama madzhab, yang mungkin tidak menutup kemungkinan antara ulama yang mengikuti cara penetapan hukum salah satu pendapat ulama madzhab berbeda, karena melihat dari situasi, kondisi dan dari segi mana seorang ulama tersebut, dalam melihat suatu persoalan hukum. Karena yang dibahas dalam makalah ini adalah salah satu ulama madzhab yaitu Imam Malik, jadi yang dibahas disini adalah biografi, pendapat, cara penetapan hukum, pemikiran Imam Malik, beserta sesuatu yang berhubungan dengannya.

Biografi Imam Maliki. Beliaulah pendiri Madhzab Maliki. Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 93 H/712 M dan wafat tahun 179 H/796 M. Berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Malik  , adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ilmu’ yang sangat terkenal. Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama hadis terpandang di Madinah. Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya. Kendati demikian, dalam mencari ilmu Imam Malik rela mengorbankan apa saja.

Menurut satu riwayat, sang imam sampai harus menjual tiang rumahnya hanya untuk membayar biaya pendidikannya. Menurutnya, tak layak seorang yang mencapai derajat intelektual tertinggi sebelum berhasil mengatasi kemiskinan, menurut beliau kemiskinan adalah ujian hakiki seorang manusia. Apabila kita melihat hal tersebut tidak menjadi suatu keanehan apabila beliau menjadi ulama besar. Karena keluarganya ulama ahli hadis, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadis kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi’in ahli hadis, fikih, fatwa dan ilmu berdebat, juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.

Setelah beliau mengerti dan memahami serta menguasai dasar-dasar ilmu pengetahuan agama islam khususnya masalah fikih dan hadis, maka beliau melakukan pengembangan pemikirannya dengan cara mendatangi para ulama di masjidil haram, mengadakan forum diskusi di madinah maupun di kediamannya bersama murid-muridnya dan kegiatan lainnya yang bersifat diskusi atau bertukar pendapat dengan para ulama-ulama terkenal pada masa itu. Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma’mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang. by fadlie.web.id Pola Pemikiran Imam Malik. Imam malik adalah seorang mujtahid dan ahli ibadah sebagaimana Imam Abu Hanifah. karena ketekunan dan kecerdasannya, imam malik tumbuh sebagai seorang ulama terkemuka, terutama dalam bidang ilmu hadis dan fikih, beliau juga mengajar dan menulis kitab Muwaththa, beliau merasa memiliki kewajiban untuk membagi pengetahuannya kepada orang lain yang membutuhkannya. Imam Malik sangat teguh dalam membela kebenaran dan berani menyampaikan apa yang diyakininya.dalam menetapkan hukum beliau sangat berhati-hati, sebagaimana diriwayatkan, bahwa beliau pernah berkata, ”saya tidak pernah memberikan fatwa dan meriwayatkan suatu hadits,sehingga 70 ulama membenarkan dan mengakui”.

Dalam menetapkan suatu hukum Imam Malik berbeda dengan Imam Abu Hanifah hal ini dikarenakan Imam Malik lahir di Madinah yang dikenal dengan daerah hadis dan tempat tinggal para sahabat nabi, dimadinah ini pun tempat dimana nuansa kehidupan sehari hari dengan sederhana dan menjadikan al-Qur’an, hadis dan ijma sahabat dijadikan sebagai dasar hukum. Disamping itu kota madinah menjadi ibukota Daulah Islamiyyah sejak masa Rasul sampai pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, kemudian pada kekhalifahan Bani Umayyah , ibukota Daulah Islamiyyah dipindahkan ke Damaskus. hal ini jelas apabila Imam Malik cenderung menguasai hadis dan kurang menggunakan rasio dibandingkan Imam Abu Hanifah.

Dalam riwayat hidup Imam Malik ada satu hal yang tidak boleh dilupakan yaitu penghormatan beliau terhadap hadis nabi, ketika beliau hendak menyampaikan hadis nabi atau mengajarkannya disertai dengan cara yang istimewa dengan tujuan untuk menghormati hadis nabi tersebut. Dalam bidang aqo’id beliau tegas memegang prinsip beliau menolak segala macam akidah yang ditimbulkan dari partai-partai islam dan mengenai akidah beliau berpegang kepada apa yang ditunjuki nash. mangenai qadar beliau berdiri seimbang,dalam bidang politik Imam Maliki tidak banyak bicara.beliau tidak ingin mencampuri persengketaan dan perselisihan.menurut Imam Maliki apabila seseorang yang merebut kekuasaan, tetapi berlaku adil dan masyarakat senang menerimanya, maka kita tidak boleh memberontak terhadapnya, kita harus mentaatinya.dan mengenai bid’ah Imam Malik sangat keras, sebagai mufti besar dan sebagai alim juga ahli hadis, beliau tidak pernah mengajarkan atau memberikan pimpinan kepada muridnya supaya mengekor (bertaqlid) terhadap pendapat atau buah penyelidikan beliau, bahkan beliau sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukum halal dan haram dan sangat melarang orang bertaqlid buta.

Metode Imam Malik Dalam Menetapkan Hukum Islam. Dengan melihat sikap kehati-hatian dan ketelitian Imam Malik dalam melakukan penetapan terhadap hukum islam, Imam Malik selalu berpegang teguh pada hal-hal sebagai berikut :

1. Al-Qur’an.  Dalam memahami al-Qur’an sebagai dasar dalam penetapan hukum, Imam Malik mendasarkannya atas dhahiri nash al-Qur’an secara umum, dan ini meliputi mafhum mukhalafah dan mafhum aulawiyah dengan memperhatikan pada illatnya.

2. As-Sunnah.  Dalam hal ini Imam Malik mengikuti pola yang dilakukannya yang berpegang teguh pada al-Qur’an yang artinya “ jika dalil syara itu menghendaki adanya penta’wilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti ta’wil, jika pertentangan antara ma’na dhahir al-Qur’an dengan makna yang terkandung dalam hadis, maka yang didahulukan adalah makna dhahir al-Qur’an, akan tetapi jika makna yang terkandung dalam hadis tersebut dikuatkan dengan ijma ahlu madinah maka yang diutamakan untuk diambil adalah makna yang terkandung dalam hadis daripada makna dhahir al-Qur’an baik mutawattir maupun mashyur dan hadis ahad”.

3. Ijma al Madinah.Yang dimaksud dengan ijma ahlu madinah adalah.” Ijma’ ahl madinah yang asalnya dari naql”, yang artinya “kesepakatan bersama yang berasal dari hasil mereka mencontoh Rasul”. Bukan dari ijtihad mereka, seperti mud dan sha’, penentuan suatu tempat seperti tempat mimbar nabi dan penentuan tempat dilakukannya amalan-amalan rutin seperti adzan dan iqamah, oleh sebab itu maka dikalangan Madzhab Maliki menyatakan bahwa ijma ahlu madinah itu lebih diutamakan daripada khabar ahad.

4. Fatwa Sahabat. Maksudnya adalah ketentuan hukum yang telah diambil oleh sahabat besar berdasarkan pada naql, sebab mereka tidak akan memberikan fatwa kecuali atas dasar apa yang sudah difahami mereka dari Rasulullah. Sekalipun demikian, tetap harus tidak bertentangan dengan hadis marfu, oleh sebab itu fatwa sahabat menurut Madzhab Maliki lebih didahulukan daripada Qiyas dan bisa dijadikan hujjah.

5. Khabar Ahad dan Qiyas. Masalah Khabar Ahad Imam Malik tidak mengakui keberadaannya sebagai suatu yang datang dari Rasul, kecuali keberadaannya benar-benar sudah dipopulerkan dikalangan masyarakat Madinah, jika tidak maka hanya dianggap sebagai petunjuk bahwa Khabar Ahad ini tidak benar berasal dari Rasul sehingga tidak dapat dijadikan sebagai dasar pengambilan hukum, karena itu Imam Malik mendahulukan Qiyas dan Maslahah pada Khabar Ahad.

6. Istihsan. Yang dimaksud istihsan menurut Imam Malik adalah menentukan hukum dengan mengambil maslahah sebagai bagian dalil yang bersifat menyeluruh dengan maksud mengutamakan Istidhlalul Mursah daripada Qiyas, sebab menggunakan Istihsan itu, tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, tetapi mendasarkan pada Maqasid al-Syariyyah secara keseluruhan.

7. Al Mashlahah al Mursalah. Yang dimaksud dengan Maslahah al-Mursalah adalah maslahah yang ketentuan hukumnya dalam nash tidak ada. Para ulama bersepakat bahwa Mashlahah al-Mursalah bisa dijadikan sebagai dasar pengambilan hukum dengan memenuhi persyaratan diantaranya, pertama, Maslahah itu harus benar-benar Mashlahah yang pasti menurut penelitian, bukan hanya sekedar perkiraan sepintas kilas. Kedua, Mashlahah harus bersifat umum untuk masyarakat dan bukan hanya berlaku pada orang tertentu yang bersifat pribadi. Ketiga, Mashlahah itu harus benar-benar yang tidak bertentangan dengan ketentuan Nash atau Ijma.

8. Saad ad Zara’i. Yang dimaksud dengan Saad ad-Zira’i adalah menutup jalan atau sebab yang menuju kepada hal-hal yang dilarang. Dalam hal ini Imam Malik menggunakannya sebagai salah satu jalan pengambilan hukum, sebab semua jalan atau sebab yang bisa mengakibatkan terbukanya suatu keharaman, maka sesuatu itu jika dilakukan hukumnya haram.

9. Istihsab. Yang dimaksud dengan Istihsab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah berlaku dan sudah ada pada masa lampau, maka apabila sesuatu yang sudah diyakini adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang diyakini adanya tersebut, maka hukumnya sama seperti hukum yang pertama, yaitu tetap ada begitu juga sebaliknya.

10. Syar’u man Qablana. Prinsip yang dipakai oleh Imam Malik dalam menetapkan hukum adalah kaidah dan prinsip ini dijadikan sebagai salah satu dasar pengambilan hukum oleh Imam Malik.  Karya-Karya Imam Malik. Al-Muwatta’ adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadis-hadis pilihan. Santri mana yang tak kenal kitab yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer.

Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadis dan fatwa sahabat . Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya Al-Muwatta’ tak akan lahir bila Imam Malik tidak dipaksa Khalifah Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah Al-Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan hadis dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik tidak mau melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah Al-Muwatta’. Ditulis di masa Al-Mansur (754-775M) dan baru selesai dimasa Al-Mahdi (775-785M).

Dunia Islam mengakui Al-Muwatta’ sebagai karya pilihan yang tak ada duanya. Menurut Syah Walilullah, kitab ini merupakan himpunan hadis paling shahih dan terpilih. Imam Malik memang menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadis. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadis. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Selain Al-Muwatta’, Imam Malik juga menyusun kitab Al-Mudawwanah al-Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.

Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan Mazhab Fikih di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al-Muwatta’, kitab-kitab seperti Al-Mudawwanah al-Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al-Fiqh al-Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al-Madarik Syarh Irsyad al-Masalik fi Fiqh al-Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as-Salik li Aqrab al-Masalik (karya Syeikh Ahmad as-Sawi), menjadi rujukan utama Mazhab Maliki.

Di samping sangat konsisten memegang teguh hadis, mazhab ini juga dikenal sangat mengedepankan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Secara berurutan, sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah Saw, amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al-Madinah), qiyas (analogi), dan al-Maslahah al-Mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu).  Murid-murid Imam Malik Kecintaan dan minatnya yang mendalam terhadap ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan, tidak kurang empat Khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Harun Arrasyid dan Al Makmun pernah jadi muridnya, bahkan ulama ulama besar sekaliber Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu darinya. Menurut sebuah riwayat disebutkan bahwa murid Imam Malik yang terkenal mencapai 1.300 orang.

Di antara mereka yang sangat terkenal adalah Ishaq bin Abdullah bin Abu Thalhah, Ayyub bin Abu Tamimah As Sakhtiyani, Ayyub bin Habiib Al Juhani, Ibrahim bin ‘Uqbah, Isma’il bin Abi Hakim, Ibnul Mubarak, Al Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah dan Ismail Ibnu Muhammad bin Sa’ad. Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, ketentraman dan rasa hormat murid terhadap gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur keras murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam marah dan berkata, ”Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi.” Demikian pula, Imam Malik lebih menghormati ulama dan cendekiawan dari apapun, hatta kepada khalifah sekalipun. Mencium tangan khalifah apabila menghadap di baliurang telah menjadi tradisi yang tertanam, namun Imam Malik tidak pernah sekalipun melakukannya. Namun sebaliknya, ia sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan tempat duduknya sendiri kepada Imam Abu Hanifah yang mengunjunginya.

Kepada murid-muridnya, beliau juga menanamkan kecintaan kepada ilmu dengan memberikan penghormatan dan pemuliaan terhadap ilmu. Diriwayatkan, dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, yang saat itu Khalifah Harun Al Rasyid, tertarik mengikuti kajian kitab al Muwaththa’ (himpunan hadis) yang diadakan Imam Malik. Karena khalifah ingin diajari seorang diri, maka ia mengutus orang untuk memanggil Imam. Namun Imam Malik menolak, dan memberikan nasihat kepada Khalifah Harun melalui utusannya, ”Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormati ilmu, tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia yang mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan mencari manusia.” Khalifah pun akhirnya bersedia menemui Imam Malik, namun meminta agar para jamaah meninggalkan ruangan tempat kajian itu diadakan. Namun, permintaan itu kembali tak dikabulkan Imam Malik. Beliau berkata, ”Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.” Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.

Perkembangan Madzhab Maliki Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini menyusut. Mayoritas penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini satu-satunya Negara yang secara resmi menganut MazhabMaliki.

DAFTAR PUSTAKA

Buku : – Ma’sum Zein, Muhammmad ( Arus Pemikiran Empat Madzhab Studi Analisis Istinbhat    Para Fuqoha,) , Darul-Hikmah, Jatim, 2008. – Dedi Supriyadi.M.Ag, Perbandingan Madzhab Dengan Pendekatan Baru, CV Pustaka Setia, Bandung, tahun 2008. – Drs. Muhammad Ma’sum.M.A, Arus Pemikiran Empat Madzhab, Darul Hikmah, Jatim, tahun 2008.

Internet : –  http://www.taghrib.ir/indonesia/index.php?option=com. – http://www.bravoteens.com/index.


Tinggalkan Balasan