Perempuan; Ketika Cinta Tak Selalu Merah Jambu

Cerpen, Fiksi

Perempuan Ketika Cinta Tak Selalu Merah Jambu

“Seharusnya kamu tidak boleh mencintaiku.” Gadis berambut pendek itu menghisap rokoknya dalam-dalam lalu menghembuskannya di depan wajahku.
“Hentikan, merokok itu tidak baik. Apalagi untuk perempuan.” Aku merampas batang rokok dari bibirnya.
“Itu hanyalah konstruksi sosial, aturan-aturan yang dibentuk oleh manusia-manusia egois yang menomorduakan perempuan. Lagipula sekarang kan zaman emansipasi, perempuan dan laki-laki sama saja.”
“Dan kamu tetap perempuan.”
“Mengapa masih saja peduli? Apa kamu tidak lelah terus berada di sampingku? Asal kamu tahu saja, aku tidak akan pernah mencintaimu.” Kini gadis itu menatap tajam padaku. Sepasang bola mata indah terbingkai pada kelopaknya yang sayu.
Cantik, aku sangat menyukainya.
“Itu urusanku, berapa lama aku mencintaimu tak perlu kamu pikirkan.” Aku tersenyum sambil mengacak rambutnya.
Dia paling tak suka kuperlakukan seperti itu. Gadis itu segera menangkap dan memelintir pergelangan tanganku. Dengan sekuat tenaga dia mendorong tubuhku hingga menabrak dinding kamar kosnya.
“Jangan pernah melakukan itu lagi. Aku bukan anak kecil.” Bisiknya lirih masih memiting tanganku.
“Aku akan melakukannya lagi, lagi, dan lagi. Kamu tahu kenapa? Karena kamu memang anak kecil.” Ucapku sambil tertawa keras.
Aku sangat senang mengganggunya, membuatnya marah sampai mengerahkan semua tenaganya untuk menghajarku. Entah mengapa, bagiku, dia terlihat sangat menggoda dalam keadaan seperti itu.
“Kurang ajar, mati kau sekarang.”
Kemarahannya semakin memuncak, dia membalikkan tubuhku hingga berhadapan dengannya, kemudian sebuah pukulan keras mendarat di rahangku. Sakit, sangat sakit. Aku sampai tersungkur di lantai dengan darah segar yang mengalir di sudut bibirku. Aku kembali tertawa. Aku masih belum puas.
“Cuma segitu kekuatanmu?” Aku berusaha berdiri dan menatapnya dengan tatapan meremehkan. Satu hal lagi yang dia benci. “Aku memang benar, pukulan seperti itu adalah pukulan seorang gadis kecil. You know my dear, always like a little girl.”
“Kamu akan mati sekarang!”
Gadis bernama Andra itu menarik kerah bajuku dan kembali mendaratkan kepalan tangannya di perutku. Dadaku langsung terasa sesak, membuatku megap-megap dan mual. Namun tampaknya gadis itu belum puas, ia mengambil ancang-ancang untuk menyerang pipi kiriku. Kali ini aku tak berniat membiarkan wajahku benar-benar babak belur. Aku menangkap tangannya, mengangkat tubuh mungil itu dan membantingnya di tempat tidur. Andra memberontak, berusaha bangkit untuk kembali menghajarku. Namun, aku lebih cepat dari perkiraannya. Tentu saja, tubuhku yang besar dan tinggi membuat dia kewalahan. Aku menangkis pukulannya dan menindihnya.
“Kamu tetaplah seorang perempuan Dra, akui itu.”
Mata indahnya menatapku tajam. Menusuk-nusuk seperti belati. Menghujam hatiku. Satu-satunya tatapan yang seolah sanggup meledakkan dadaku, menjadikannya serpihan tak berbentuk yang rapuh. Sepasang bola mata bak telaga bening yang menggodaku untuk menenggelamkan diri di dalamnya.
“Aku mencintaimu Dra.”
Sebuah ciuman kudaratkan di bibirnya. Bibir lembut yang beku, dingin, dan… sejenak waktu berhenti.

Tahukah kau kapan waktu terhenti?
Saat kau menciumku…

***
“Sampai kapan kamu akan terus mengikutiku? Apa hidupmu begitu tidak menarik sehingga kamu merasa sangat bergairah untuk mengacak-acak hidupku.”
Kami berbaring di lantai kamar kos yang dingin, tanpa alas. Memandang langit-langit yang berwarna kecoklatan. Lantai yang menjadi saksi bisu berapa kali kami bergulat di atasnya. Saksi bisu dimana kami saling menjatuhkan, saling memukuli, saling mencekik, membuat satu sama lain babak belur hingga saling memagut dengan gelora yang menghentak-hentak.
“Aku tidak tahu.”
Jawabku seadanya.
Bukan karena aku menghindar atau malas memberinya jawaban panjang lebar tentang alasanku bertahan di sisinya hampir tiga tahun ini. Bukan, bukan karena aku bosan mengatakan betapa aku mencintainya dan memutuskan untuk tetap mengusik hidupnya dalam batas waktu yang belum kutentukan.
Aku mengatakan itu, karena aku memang tidak tahu mengapa aku tetap di sini. Bertahan dalam hubungan menyimpang yang menentang segala nilai sosial dan moral yang berlaku dalam konstruksi kehidupan makhluk yang dinamakan manusia.
Mungkin Andra benar.
Hidupku mungkin memang sangat tidak menarik.
Atau, mungkin karena aku memiliki begitu banyak waktu luang untuk mengganggu hidup orang lain.
Atau, mungkin karena hidup Andra yang begitu istimewa sehingga membuatku begitu tertarik untuk terlibat di dalamnya.
Andra, gadis cantik yang tahun ini genap berusia 25 tahun. Dia sosok yang unik. Gadis dengan watak kasar dan sembrono. Gadis yang tak menyukai aturan. Gadis pembangkang yang selalu protes karena terlahir sebagai seorang perempuan. Gadis yang memiliki begitu banyak ide-ide cemerlang di dalam kepalanya yang kecil. Gadis yang membawaku memandang dunia dari sisi yang berbeda. Tentang bagaimana seharusnya menjadi seorang manusia.
Dia tidak suka mengenakan rok seperti gadis-gadis kebanyakan. Wajahnya selalu polos tanpa make-up. Rambutnya dipotong pendek seperti anak laki-laki. Selalu mengenakan kaos oblong dan celana jeans belel yang lebih layak dijadikan keset kaki.
Mungkin, itu yang membuatnya berbeda. Segala hal yang bertolak belakang dengan semua tentang wanita yang kuketahui dan kupahami selama ini. Ya, itu yang kusukai darinya. Keberanian untuk menjadi apa yang dia inginkan tanpa pusing dengan aturan yang mendoktrinnya.
“Sudah kuduga, kamu akan menjawab seperti itu,” Andra tertawa, tawa yang renyah. “ya, tetaplah di sini. Mungkin hidupku juga tak akan semenarik ini jika makhluk bodoh macam kamu tidak ada.” Dia mencubit pipiku, aku mengaduh kesakitan. Tawanya semakin keras.
“Tapi suatu saat aku akan pergi.”
“Kenapa?”
Ada luka yang kutangkap dari nada suaranya. Aku memandang wajahnya. Wajah yang kini menegang. Aku tersenyum.
Aku tahu betul dia juga mencintaiku. Mungkin sama dalamnnya dengan cinta yang kurasakan. Hanya saja bedanya dia lebih waras daripada aku. Itu bedanya.
“Kamu sendiri kan yang bilang. Tidak mungkin selamanya aku mengusik hidupmu. Itu tidak adil. Setidakmenarik apapun hidupku, aku tidak berhak terus melibatkanmu dalam ketidakwarasan itu.”
“Aku tidak keberatan.” Andra membalikkan badan. Senyum tersungging di bibirnya. Kini kami berbaring berhadapan. Nafasnya berhembus lembut menerpa wajahku.
Oh Tuhan, betapa aku mencintai gadis ini.
Andai ada satu lagi kehidupan yang boleh kujalani, satu-satunya yang kuinginkan adalah bersamanya.
Andai ada satu lagi kesempatan yang boleh kuambil, satu-satunya yang akan kutempuh adalah memperjuangkannya.
Andai ada sesuatu yang bernama keajaiban, satu-satunya yang ingin kuubah adalah takdir.

“Terima kasih sayang, tapi kamu juga tahu betul keadaanku.” Dengan lembut kubelai rambut hitamnya. “Aku mencintaimu. Itu pasti, tak ada yang bisa kusangkal dari kenyataan itu. Tapi, suatu hari nanti, kamu harus menemukan hidupmu sendiri. Apapun itu, bagaimana pun itu, siapa pun itu, yang kutahu, adalah itu tidak bersamaku dan bukan aku.”
Mata indah Andra berkaca-kaca. Seketika dia kembali menjadi seorang perempuan, perempuan yang cengeng dengan hati yang rapuh. Sekuat apapun dia menentang segala konstruksi sosial dengan berjuta dalihnya, dia tetap tak mampu menentang kodratnya. Dia menangis. Dia perempuan.
Aku meraih tubuhnya, mendekapnya dalam pelukanku. Lagi, waktu terasa terhenti. Setiap detik yang terasa seperti tetesan hujan yang menyentuh hatiku. Detik jarum jam mengalun seperti melodi manis yang romantis.
Aku juga melemah, sekuat apapun menentang kodrat. Rasa perih segera menyergap hatiku tiap kali Andra menangis sesenggukan di dalam dekapanku. Tapi aku harus lebih kuat dari dia, serapuh apapun aku. Aku harus selalu lebih kuat.
“Kapan kamu akan pergi?” Andra mengangkat wajahnya. Menatapku dengan mata berwarna kemerahan dan wajah banjir airmata.

Even when you are crying, you are beautiful too…

“Aku tidak tahu. Tapi kita harus siap setiap saat. Waktu itu bisa datang kapan saja.”
“Aku tidak ingin kamu pergi.”
“Tapi harus.”
“Kenapa?”
Ponselku berdering. Aku segera bangkit dan meraih ponsel di atas meja. Sebuah nama yang selama enam tahun ini lekat dengan kehidupanku. Enam tahun yang pekat bagiku. Enam tahun yang membuatku bernafas terengah-engah. Enam tahun yang melelahkan.
Untung ada Andra, untung kami bertemu.
Tidak, tidak, untung aku menemukannya.
Secara tak sengaja, di sebuah perpustakaan kota. Ketika kami sama-sama menyukai keheningan dari hiruk pikuk dunia. Ketika kami sama-sama mencintai aroma debu buku-buku usang yang menggairahkan. Ketika kami sama-sama jengah dengan hidup yang membosankan. Ketika kami tak sengaja saling bertatapan. Perkenalan singkat yang berlanjut obrolan-obrolan hangat di pagi hari, debat panas di sela makan siang, dan diakhiri dengan gairah tak terbendung di penghujung malam.
“Kenapa tidak dijawab?” Tanya Andra ketika mendapati aku yang hanya diam memandangi layar ponsel yang berkelip-kelip. “Dia?”
Aku mengangguk.
“Angkat saja, nanti dia curiga. Aku mau mandi dulu.” Andra bangkit kemudian melangkah menuju kamar mandi. Lagi, kudapati luka dari suaranya.
***
Wajah Andra tampak jauh lebih cerah setelah mandi. Dia duduk di sampingku. Menyandarkan kepalanya di pundakku. Wangi lavender dari tubuhnya kembali membangkitkan hasratku. Kukecup lembut keningnya.
“Kapan dia menjemputmu?” Tanya Andra. Kali ini bukan luka, tapi kecemburuan. Nafasnya agak memburu.
“Sebentar lagi, sudah di jalan.”
“Kamu mencintainya?”
“Kamu tahu siapa yang aku cintai.”
“Kalau begitu, mengapa kamu tidak meninggalkannya dan bersamaku?”
“Tidak sesederhana itu. Terlalu banyak batas yang harus kita langgar, terlalu banyak hati yang harus kita sakiti.”
“Hatinya?”
“Salah satunya.”
“Aku tidak suka.” Andra menarik tubuhnya menjauhiku.
“Ini sudah pernah kita bicarakan. Hubungan kita penuh dengan konsekuensi yang sama-sama tidak kita suka.”
“Tapi…”
Bibirku menahannya untuk melanjutkan kalimat.
Tahukah kau kapan waktu terhenti?
Saat aku menciummu…

Pintu kamar tiba-tiba diketuk. Sebuah suara tak asing memanggil namaku dari balik pintu. Kami segera mengambil jarak. Andra bangkit menuju pintu dan membukanya. Seorang pria bertubuh tegap berdiri di ambang pintu.
“Hai Ndra.” Sapa pria itu seraya tersenyum, dua buah lesung pipi mempermanis wajahnya.
“Hai.”
“Sorry ya Ndra, hampir setiap hari aku menitipkan Karin di sini. Banyak sekali pekerjaan yang harus kutangani di luar kota. Untung saja ada kamu, kalo tidak, Karin pasti sudah mati karena bosan setiap hari kutinggal di rumah.” Seloroh pria bernama Hanis itu.
Aku segera meraih tasku dan melangkah keluar. Sebatang rokok yang terletak di meja tak luput dari pandanganku. Segera kuambil dan kuselipkan di bibirku.
“Aku pulang dulu Ndra.”
Kami bertatapan, dengan tatapan berjuta makna. Dengan kata-kata yang tak terbahasakan. Entahlah, kapan kami akan bertemu lagi. Jika Mas Hanis tidak ada pekerjaan di luar kota, maka aku dan Andra tidak bisa bertemu dalam waktu yang tak diketahui.
Tiba-tiba Andra merampas rokok yang terselip di bibirku.
“Merokok itu tidak baik. Apalagi untuk perempuan.” Ucapnya lirih.
Itu kata-kata terakhirnya, sebelum aku melangkah menjauh. Memasuki mobil Mas Hanis dan menerobos malam yang dingin. Jauh, semakin jauh. Menatapi bayangan Andra di ambang pintu yang semakin memudar, buram, dan akhirnya hilang.
Di perjalanan, hujan mulai turun. Gerimis kecil yang perlahan semakin deras. Dingin yang beku, dingin yang pilu.
Mas Hanis meraih tanganku, menggenggam erat tanganku dalam tangannya yang hangat.
“Aku mencintaimu sayang.” Ucap Mas Hanis lembut.
“Aku juga mencintaimu, Suamiku.”


Tinggalkan Balasan