Perempuan yang Hilang
SUDAH seminggu Sila meninggalkan rumah. Ia tinggal di rumah sahabatnya. Teman sedari ia masih SMP. Ia tahu bahwa orang tuanya pasti sibuk mencarinya. Walau tidak diiklankan di koran tentang anak hilang. Ia yakin orang tuanya tidak akan melakukan hal itu karena ia sangat menyadari keluarganya sangat tertutup dalam urusan keluarga. Bahkan tetangga pun tidak pernah mendengar kemelut yang ada pada keluarganya. Ibunya tidak seperti tetangga-tetangga yang selalu ngerumpi ketika bertemu di kios atau di depan pagar rumah. Juga ayahnya. Sepulang kerja langsung istirahat. Sorenya menyiram halaman. Kebiasaan mereka sangat dihapal oleh Sila. Kelurga yang sangat tertutup. Begitupun dengan bibi dan pama-pamannya. Ibunya sering berpesan untuk jangan terlalu terbuka dengan orang lain. Walau sudah seminggu di rumah Ratih tapi Sila tidak menceritakan masalahnya pada Rati. Sila berbohong kepada ratih, ia mengatakan bahwa orang tuanya ke luar daerah selama satu minggu, dan ia disuruh untuk menunggu rumah tetapi karena merasa takut sendiri ia memilih untuk menginap di rumah Ratih. Ratih percaya saja kepada Sila karena ia tahu sendiri sila selama ini tidak pernah neko-neko dalam bersikap. Hanya saja untuk kali ini Ratih merasa ada sesuatu yang terjadi pada Sila. Karena tidak biasanya Sila sampai menginap selama hampir satu minggu di rumahnya. Sebelumnya Sila memang sering menginap, tetapi paling lama dua hari, itupun kalau malam minggu dan kalau ada tugas. Suatau ketika Ibu Sila menelepon Ratih, saat itu Sila ada di samping ratih
“ Halo… ini nak Ratih.”
“ Iya Bu.” Sila langsung bertanya kepada Ratih
“ Siapa.”
“ Ibumu.” sambil menutup handphon yang ada di tangan kirinya
“Bilang aku tidak ada.” dengan nada agak ditekan. kembali Ratih menempelkan HP di telinganya.
“ Ada apa Bu.”
“ Apa Sila ada di rumahmu.”
“ Eeee eee, Tidak ada Bu!”
“ Ibu kira dia ada di rumahmu. Dia belum pulang sejak siang tadi.” Ratih jadi bingung dengan komunikasi yang dialaminya, bagaimana bisa ibu Sila mengatakan bahwa anaknya belum pulang sejak tadi siang padahal Sila sudah satu minggu di rumahnya. Tentu ada sesuatu yang terjadi pada Sila dan keluarganya. Ditempat tidur sila dan ratih seperti patung yang sedang berpandangan, sepertinya Ratih tidak mau kalau kemudian ia disalahkan karena membiarkan Sila dirumahnya tanpa alasan yang jelas. Ratih bertanya kepda Sila tentang apa sesungguhnya yang terjadi.
***
“ Iya..iya itu bisa diatur, bukankah kita sudah sepakat dari dulu Bang. Istriku pasti bisa mengatasinya. Tenang saja. Tidak perlu terlalu khawatir. Jadi kapan Abang kemari.? Siap Bang. Nanti kita atur pertemuannya. Iya..iya.. Abang tidak perlu menjelaskan itu bukankah ini sudah tradisi keluarga kita. Iya Bang… iya. Waalaikum salam” dengan wajah yang tampak bahagia, pak Ramli menjatuhkan tubuhnya di sofa, matanya seperti kilau mutiara, barangkali seperti ekspresi pengangguran yang baru mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup besar.
“ Bu…bu… sini, cepatlah kemari” sang istri melangkah seperti orang yang keheranan
“ Bapak kok bahagia sekali. Ada apa?” kemudian duduk di samping suaminya
“ Ardian sudah menyelesaikan sekolahnya.Ia kemudian masuk TNI dan lulus dengan mulus.”
“Ardian anaknya bang Rudi maksud Bapak.”
“ Ia siapa lagi. Sudah dua minggu ini dia pulang dari Bali untuk menyelesaikan diklatnya dan kabarnya dia ditugaskan di Bima. Dia bukan anggota TNI yang sibuk gotong royang atau perajurit biasa, tapi dia ada di bagian dalam. Tentara kantoran, kira-kira begitulah.” sang ibu hanya melongok mendengar cerita suaminya.
“ Lalu apa hubungannya dengan kita!”
“ Nah inilah yang bapak ingin sampaikan kepada Ibu. Jadi seperti yang sudah biasa terjadi dan menjadi tradisi di keluarga kita, supaya jika senang- senang bersama dan jika sedih kita pun merasakannya bersama. Abagku baru saja menelepon, dia akan datang minggu ini ke rumah kita bersama Ardian. Bapak memang belum pernah cerita sama ibu bahwa dulu kami pernah berjanji untuk menikahkan Ardian dengan Sila. Dan sekarang rupanya abangku ingin mewujudkan itu. Karena memang sudah saatnya Ardian untuk menikah.”
“ Jika begitu ibu juga setuju, bukankah Ardian sudah kerja, tapi bahaimana dengan anak kita?”
“ Nah itulah tugas ibu.”
“ Baiklah pak.”
***
“ Sila katakanlah apa sebenarnya yang terjadi”
“ Sepulang dari kampus aku masih merasa bahagia. Sungguh sedikitpun aku tak merasa akan ada sesuatu yang akan menimpaku. Terang saja aku merasa seperti itu. Aku terus ingat kepada Herman. Kau tahukan maksudku, kami sudah seminggu baru jadian. Hati kami seolah-olah seperti bunga yang sedang mekar. Kami sangat bahagia. Sudah lama sesungguhnya kami menyimpan rasa ini, entah karena kami merasa malu atau apa, Selama ini sedikitpun tidak pernah membicarakan perasaan kami. Kami menjalani saja peristiwa kebersamaan itu. Aku yakin Herman tahu tentang perasaan ku dan aku pun tahu tentang perasaan Herman. Selama empat bulan kami bersama baru seminggu yang lalu kami baru bisa mengutarakannya. Karena itu kami telah berjanji untuk sebisa mungkin untuk hidup bersama.
“ Tapi tidak seperti ini caranya menyelesaikan masalah. Aku mengerti apa yang kau rasakan.” Mata Ratih terus memandangi Sila walau di dalam hatinya ia merasa kasihan dan dari matanya tampak seperti sebuah patamorgana.
“ Aku tidak tahu harus berbuat apa.” wajah Sila menunduk dalam. Sila diam. Diam dengan goncangan batin yang kuat. Airmatanya membanjiri pipinya. Suara tangis yang begitu dalam. Sesekali menghela nafas. Dadanya terasa sesak.
“ Apa kau sudah membicarakan hubunganmu dengan Herman kepada orang tuamu.” Kata Ratih sambil turut membersikan air mata Sila.
***
“ Bu sepertinya itu suara sepeda motor sila, cepatlah kau buka, jangan ajak bicara dulu. Biarkan dia istirahat dan sajikan makanan yang enak.”
“ Baiklah pak.” Pak Ramli masuk kamar sambil tersenyum pada istrinya, ibu bergegas menuju pintu depan. Langkahnya sedikit tergesa.
“ Baru pulang.”
“ Iya Bu”
“ Tampakknya kau senang sekali, memangnya ada apa. Tumben-tumbennya anak ibu pulang sambil senyum-senyum. Tidak biasanya.”
“ Ibu juga tumben-tumbennya menyambut Sila dengan sangat bahagia. Kenapa?”
“ Tidak ada apa-apa.” berjalan sambil memegang tangan anaknya. Lalu mereka duduk di sopa tepat dimana mereka sebelumya membuat rencana. “sudahlah kau istirahat dulu, nanti ibu siapkan makan siang.” tentu saja Sila merasa termanjakan dan merasa menjadi seseorang paling spesial hari itu. Sila masuk kamar. Ia lemparkan tubuhnya pada kasur yang tertata rapi, pandangannya menuju ke langit-langit rumah. Matanya berkilau, rambutnya yang lebat dan lembut tergerai memenuhi bantal. Ia terus saja tersenyuam. Bayangan Herman muncul di matanya, segalanya menjadi indah. Ia ingat saat siang sebelum pulang berjalan bersama Herman. Ia ingat tangannya yang terus digenggam. Ia ingat Herman sesekali mengalungkan tangannya di pinggang. Ia ingat semuannya. Usai magrib di meja makan semua terlah tersaji, buah kesukaan Sila juga ada disitu. Kali ini tumben pak Ramli tidak ke masjid, tidak seperti biasanya. Sila keluar kamar dengan wajah yang riang. Ia langsung ke meja makan, melahap beberapa buah kesukaannya. Pak Ramli bersama istrinya menyusul. Mereka kemudian duduk di kursi meja makan. Ibu berhadapan dengan Sila. Seperti strategi yang telah direncanakan. Ibulah yang akan mengatakan rencana itu. Pak Ramli hanya diam. Namun sesekali menguatkan pendapat.
***
“ Apa kau tidak mengatakan hal yang sebenarnya?” kata Ratih seperti tidak sabar ingin tahu sikap Sila pada orang tuanya.
“ Aku tidak berani mengatakannya.”
“ Tapi kau harus mengatakannya!”
“ Bagaimana bisa aku mengatakannya, untuk mengangkat wajah saja aku tak mampu. Ayahku selalu mengatakan bahwa pertunangan ini telah diatur sudah lama. Dan ini merupakan tradisi keluarga.” Ratih diam sejenak. Suasana di kamar itu menjadi tegang. Hanya isak. Mereka berpelukan. “ Aku hanya mencintai Herman. Kami telah berjanji untuk hidup bersama.” kalimat ini terus saja terucap dari mulut Sila. Sila tak mampu melawan tradisi keluarganya yang begitu kuat, walau ia tahu bahwa ibunyapun pada mulanya tidak menyukai bapaknya, tapi seiring dengan waktu ibu mulai terbiasa dan memilih untuk belajar mencintai bapaknya. Hingga pada akhirnya mereka saling menerima. Pengalaman perasaan inipun sering dijadikan nasehat oleh ibunya.
Sila lebih dulu bangun, pagi itu. Ia merapikan beberapa bajunya. Mendengar suara sedikit gaduh, Ratih merasa sedikit terganggu sehingga ia terbagun walau matanya masih terasa berat. “ Kau mau kemana sila?” Sila terdiam, Sila hanya tersenyum walau terlihat perih. Matanya lebam karena semalam ia terus menangis. “ kau akan pulang?” kata Ratih kembali. Sila hanya terdiam. Ia terus saja merapikan baju dan buku-bukunya untuk kemudian dimasukkan ke dalam rangsel.
“ Ratih terimakasih atas semuanya. Maafkan aku jika selama ini aku tidak mengatakan masalahku padamu, dan pada akhirnya melibatkanmu. Maafkan aku Ratih.” Ratih memeluk sahabatnya itu.
“ Hati-hatilah. Selesaikan masalahmu, jangan dibiarkan berlarut-larut”.
“ Terimakasih Ratih. Sekali lagi terimakasih.” Sila pun beranjak dari rumah itu, bersama sepeda motornya ia menghilang pada tikungan yang menuju jalan raya.
***
“ Halo…” Kali ini suara perempuan itu seperti orang yang sudah lelah menangis. Suaranya serak.
“ Iya Bu.”
“ Apa Sila ada ditempatmu” Ratih agak lama menjawab. Ia merasa bersalah karena pernah tidak jujur. Lama ia baru bisa menjawab.
“ Sila tidak ada di rumah saya Bu. Apa dia belum pulang?” Kami sudah lelah mencarinya. Sudah hampir sebulan ia tidak pulang bahkan memberi kabar. Kami merasa bersalah dengan Sila, kami terlalu keras saat itu. Saat itu Sila mengatakan kalau dia tidak mau menikah dengan Ardian. Mendengar kalimat itu, membuat ayah Sila menjadi geram. Karena segala alasan dan nasehat yang disampaikan olehku dan ayahnya tidak didengarkan. Ia hanya diam dan hanya menggelengkan kepala. Saat itu ayahnya melempar makanannya dan seketika memukul meja lalu mengatakan “ Anak tidak tahu diuntung, ini untuk masa depanmu. Ardian itu anak baik. Dia sudah punya pekerjaan. Dia seorang pegawai negeri. Kamu tahu sendiri banyak sekali sarjana yang tidak bisa menjadi pegawai negeri. Masa depanmu akan enak. Apalagi yang kamu cari. Apa lagi.” Sila hanya diam, sedikit pun ia tidak berani mengangkat wajahnya. Dan puncak dari kemarahan ayahnya ketika Sila mengatakan bahwa ia tidak menyukai Ardian dan tidak setuju dengan perjodohan itu. Paginya saya melihat pintu kamarnya terbuka dan motornya tak ada, ku pikir ia pasti berangkat kuliah. Ku pikir siang nanti pasti dia pulang seperti biasanya. Dan sekarang ia menghilang. HPnya tidak aktif, semua sahabatnya tidak ada yang tahu.” Suara perempuan itu terhenti yang terdengar hanya suara isak tangis. Tapi bukan itu sepenuhnya yang ada dipikiran Ratih tiba-tiba saja Ratih teringat tentang seorang perempuan yang satu minggu lalu menjatuhkan diri dari jembatan gantung dan langsung tewas. Kemudian bicara sendiri. “ Apa mungkin itu Sila?”
TAMAT
Tanjung, 8 Nopember 2014