RANTAI PERSAHABATAN
Waktu berlalu sangat cepat. Tinggal beberapa bulan lagi, aku akan lulus dari sekolahku ini. Oh ya, perkenalkan namaku Shania Junianatha. Teman-temanku memanggilku Shania. Aku duduk di kelas 9C SMP Negeri 1 Salatiga. Baru kali ini aku tidak sekelas dengan ketiga sahabatku, yaitu Beby Chaesara biasa dipanggil Beby, kelas 9G, Jessica Veranda biasa dipanggil Vera, kelas 9G juga, dan Cindy Yuvia biasa dipanggil Cindvia, kelas 9D. Aku sedih sekali tidak satu kelas dengan mereka. Walaupun begitu, persahabatan kami tidak boleh putus. Kami biasa berkumpul saat istirahat dan pulang sekolah. Dengan begitu, persahabatan kami pun tetap berjalan. “KRING KRING KRING!!!” terdengar bunyi alarm, yang menandakan aku harus bangun dari tidurku. Hari ini aku tidak bisa bangun siang, karena hari ini aku sudah kembali masuk sekolah. Hari Senin tanggal 6 Januari 2014, hari pertama di semester 2. Aku segera beranjak dari kasurku yang empuk. Setelah itu, aku mengambil handuk dan segera menuju ke kamar mandi. Selesai mandi, aku memakai seragam OSISku. Lalu, aku merapikan rambut dan menuju ke ruang makan untuk sarapan. Di ruang makan sudah terlihat mamaku yang sedang menyiapkan sarapan, papaku yang sedang membenahi dasi dan kedua adikku yang sibuk membicarakan idola mereka masing masing. “Selamat pagi semua…” sapaku dengan senyuman. “Selamat pagi Kak.. Kak Shania tahu JKT48 kan? Hari ini mereka konser loh kak.” kata adikku yang bernama Kevin. “Iya tahu. Ih pagi-pagi udah ngomongin JKT48” ejekku ke adikku yang duduk di kelas 4 SD ini. “Kak, nanti tolong anterin aku ke toko buku ya, Kak. Aku mau beli buku asli nya 1D.” oceh adikku yang duduk di kelas 6 SD, Thalia. “Iya, Thalia cantik. Kakak nanti anterin kamu. Ini juga pagi-pagi udah ngomongin 1D. Mendingan beli buku “Detik-Detik menjelang UN” Kamu kan udah mau UN juga kayak kakak.” ucapku. Mereka berdua langsung tertawa bersama. Setelah selesai sarapan, aku, kedua adikku, dan papaku berangkat naik mobil. Kedua adikku diantar duluan. Setelah itu baru mengantarku. “Shania sekolah dulu ya, Pa.” pamitku ke papaku sambil mencium tangannya. “Iya, Kak. Sekolah yang baik ya. Ingat, udah semester 2. Sebentar lagi udah mau UN. Semangat belajarnya ditambah.” kata papa menasihatiku. “Siap, Pa” kataku sambil mengacungkan jempol. Aku keluar dari mobil dan berjalan menuju kelasku, kelas 9C. Setelah meletakkan tas, aku mengambil topi upacara dan bergegas menemui ketiga sahabatku, Beby, Vera, dan Cindvia. Saat di kelas 9D, aku meminta izin masuk ke kelas itu. Setelah diizinkan masuk, aku langsung menuju ke tempat duduk Cindvia. “Hai, Cindvia.. Kamu tumben nggak dikucir dua?” tanyaku kepada Cindvia. “Halo, Shan. Iya. Nggak apa-apalah. Semester baru, penampilan juga baru dong. Hahaha” kata Cindvia sambil tertawa. “Hahaha.. Tapi tetep cantik kok, Cind. Eh, ayo kita nyamperin Beby sama Vera!” ajakku. “Ayo!” jawab Cindvia bersemangat. Kami berdua berjalan ke kelas Beby dan Vera, kelas 9G. Sesampainya di kelas 9G, Cindvia langsung memanggil Beby dan Vera. “Beby! Vera!” panggil Cindvia. “Iyaa, sebentar Cind.” Kata Vera dari dalam kelas. Tak lama kemudian, Vera keluar dari kelasnya. “Loh, Ver. Beby mana?” tanyaku. “Biasa, Shan. Masa nggak tahu?” kata Vera. “Ohh, iya aku tahu kok, Ver. Pasti belum dateng ya?” tebakku. “Hahaha, tahu aja sih kamu” jawab Vera sambil tertawa. “Hai kalian bertiga. Kok udah pada dateng sih?” tanya Beby tiba-tiba. “Yah, Beb. Kamu aja yang datengnya siang!” kata Cindvia. “Iya, Beby. Lagian ini udah jam 7 kurang 10, Beb.” kataku. “Huuu, calon ketua kelas apa itu? Datengnya aja jam 7 kurang 10” kata Vera mengejek. “Ih, Vera.” kata Beby. Beby segera masuk ke kelasnya untuk meletakkkan tasnya, dan mengambil topi upacara. “Ayo ke lapangan upacara!” ajak Beby sambil memakai topinya. “LETS GO!” ucapku, Vera, dan Cindvia bersamaaan. Saat di lapangan upacara, kami harus berpisah. Beberapa menit kemudian, upacara pun dimulai. Setelah upacara itu selesai, barisan pun dibubarkan dan kami kembali ke kelas masing-masing. Seperti biasa, untuk kembali ke kelas, aku berjalan bersama ketiga sahabatku. Di depan kelas 9C, aku melambaikan tangan pada ketiga sahabatku. Itu tandanya, kami harus berpisah untuk sementara, dan akan bertemu nanti saat istirahat atau pulang sekolah. Karena hari ini adalah hari pertama di semester 2, jadi hari ini kami belum ada pelajaran. Kegiatan hari ini hanya pemilihan pengurus kelas baru, membersihkan kelas, dan mengumpulkan dana untuk program “Peduli Pendidikan.” Bel sekolah berbunyi tiga kali. Waktunya murid SMP Negeri 1 Salatiga untuk pulang ke rumah masing masing. Wah, ternyata hari ini pulang lebih awal. Setelah berdoa dan mengucapkan salam pada guru, aku langsung keluar kelas dan melakukan kegiatan rutinku. Ya. Menemui ketiga sahabatku. Setelah kami bertemu, kami pun pulang bersama. Keesokan harinya, Beby tidak masuk sekolah. Entah dengan alasan apa dia tidak masuk sekolah. Dia pun tidak memberitahu kami bertiga. “Ver, kamu tahu alasan Beby nggak masuk sekolah?” tanya Cindvia saat istirahat pertama. “Nggak tahu, Cind. Nggak ada suratnya.” jawab Vera. “Dia juga nggak ngasih kabar ke aku.” kataku dengan lesu. Saat pulang sekolah, aku mengambil telepon genggamku. Terlihat ada satu pesan singkat entah dari siapa. Aku langsung membaca pesan singkat itu. Ternyata, pesan itu dari Beby! Pesan itu isinya: “Shan, maaf hari ini aku nggak masuk sekolah. Soalnya… Maafin aku, Shan. Hari ini papaku dipindah kerjanya jadi di Jakarta. Jadi aku harus pindah ke Jakarta! Maafin aku, nggak ngasih tahu kamu dari kemarin-kemarin. Papa mamaku juga ngasih tahu nya mendadak. Maaf ya, Shan. Semoga kamu maafin aku dan persahabatan kita tetap berjalan ^_^ ~Beby Chaesara~” Setelah aku membaca pesan itu dari Beby, air mataku sudah mengalir ke pipi. “Beby! Kamu jahat! Kamu jahat, jahat, jahat!” kataku dalam hati. Aku segera memberitahukan hal ini kepada Vera dan Cindvia. Ya, ternyata mereka juga dapat kabar yang sama dari Beby. Keesokan harinya saat sekolah, kami kembali berkumpul, tentunya tanpa Beby. “Hey, Shania. Gimana kemarin perasaanmu waktu dapet SMS dari Beby, soal pindahannya?” tanya Vera tiba tiba. “Yah, gitu deh, Ver. Beby jahat banget sama kita! Dia nggak ngasih tahu kita dari awal, kalau dia mau pindah ke Jakarta.” kataku ketus. “Iya, Shan. Aku setuju sama kamu! Ternyata, seorang Beby Chaesara kayak gitu!” kata Cindvia menimpali perkataanku. “Hus, kalian nggak boleh gitu sama si Beby. Yang penting kan dia udah ngasih kabar ke kita. Daripada nggak sama sekali.” kata Vera menasihatiku dan Cindvia. “Ah, sekali jahat tetap jahat!” kataku sambil berjalan menuju ke kelasku. Vera yang melihatku hanya menggelengkan kepalanya. Saat pulang sekolah, aku ditemani dengan langit biru yang bertaburan dengan kapas putih yang indah, bagiku itu adalah langit gelap dengan kapas hitam yang sangat tidak enak di hati. Kepergian Beby ke Jakarta memang membuatku jengkel, marah, sedih tercampur aduk bagaikan adonan roti yang siap dimasukkan ke oven. Sesampainya di rumah, aku langsung mengganti pakaianku. Di ruang keluarga, terdapat piano yang dibelikan oleh papaku. Aku langsung menuju ke piano tersebut dan langsung memainkan piano itu. Aku memainkan piano itu sambil menyanyikan lagu JKT48 yang berjudul “Pembatas Buku Sakura” yang dimana lagu itu menceritakan tentang seseorang yang berpisah dengan sahabatnya. Lagu itu pas sekali dengan perasaanku hari ini. Tak terasa, lagu itu sudah ku mainkan dua kali. Aku menuju ke kamarku dan melihat beberapa album foto. Album foto itu berisikan foto fotoku dengan ketiga sahabatku. Tak berapa lama kemudian, aku menutup album foto itu. “Beby, kamu jahat banget sama kita! Kamu ninggalin persahabatan kita, Beb!” kataku pelan. Hari demi hari berlalu. Minggu demi minggu berlalu. Ku jalani hari-hariku tanpa satu sahabatku, Beby. “Beb, aku belum bisa maafin kamu…” kataku dalam hati sambil berjalan menuju sekolah. “Shania! Shania!” seseorang berteriak memanggil namaku. Aku langsung menengok ke belakang. Tak kusangka! Beby lah yang memanggilku. “Beb.. Be.. Be.. Beby?!” ucapku terbata-bata. “Iya Shan, hari ini papaku libur. Jadi aku main ke Salatiga.” ucap Beby tersenyum. Aku menarik napasku. “Beb! Kamu jahat banget sama kita! Kamu ninggalin kita dengan kabar yang mendadak! Kamu jahat, Beb. Jahat!” kataku berteriak sambil berlari meninggalkan Beby. “Shan…” kata Beby terdiam di tempat. “Beb, maafin aku. Aku belum bisa maafin kamu” ucapku dalam isak tangisku sambil berlari. Sesampainya di sekolah, aku masih mengingat kejadian tadi pagi. Aku menceritakan hal ini kepada Vera dan Cindvia. “Iya, Shan. Memang dia hari ini ke Salatiga” kata Vera memberitahuku. “Beby ngapain ke Salatiga? Dia udah jahat sama kita kok. Nggak usah dimaafin!” kata Cindvia. “Ya ampun, Cind. Kita nggak boleh gitu sama sahabat sendiri. Lagian juga dia udah jauh jauh dari Jakarta, Cuma buat nemuin kita kok. Dia masih sayang sama kita, dia masih mau persahabatan ini berjalan.” kata Vera dengan bijak. Cindvia hanya tertunduk. Bel masuk pun berbunyi. Sepanjang pelajaran hari ini, aku tidak bisa berkonsentrasi. Aku terus menerus memikirkan kejadian tadi pagi. Setelah semua pelajaran selesai, aku dan Cindvia diajak ke taman kota oleh Vera. Kami pun melangkah menuju taman kota. Akhirnya, kami pun sampai di taman kota. “Beby!” teriak Vera memanggil Beby. Aku dan Cindvia tersentak kaget. “Haaa?! Beby? Vera, jadi kamu ngajak kita kesini untuk ketemu sama Beby?” tanyaku dengan nada sedikit marah. “Tahu gitu, tadi aku langsung pulang aja! Buang-buang waktu, Ver!” ucap Cindvia. Beby melangkah mendekati kami dengan wajah tertunduk. “Shan, Cind. Kalian dengerin penjelasan Beby dulu. Shania Junianatha dan Cindy Yuvia yang aku kenal, nggak kayak gini sikapnya!” ucap Vera untuk membela Beby. “Untuk apa dengerin penjelasan si pengkhianat?” tanyaku ketus. “Udahlah, aku mau pulang saja!” teriakku sambil meninggalkan Vera, Beby, dan Cindvia. “Aku juga! Aku ada urusan yang lebih penting!” teriak Cindvia. Tiba-tiba, Beby berlari ke arahku dan Cindvia. Dia menarik tangan kami. “Shan! Cind! Please, dengerin penjelasanku dulu.” kata Beby dengan mata nya yang sudah berkaca-kaca. “Beb, untuk apa? Semua udah jelas! Kamu ninggalin persahabatan ini! Aku tahu kamu ikut papamu pindah ke Jakarta. Tapi kalau kamu ngasih kabarnya nggak mendadak, aku nggak akan kecewa dan marah sama kamu, Beb.” kata Cindvia panjang lebar. “Cind, aku nggak bermaksud ninggalin persahabatan kita ini. Lagipula kita masih bisa berkomunikasi.” ucap Beby dengan air matanya yang sudah terlinang. “Hey! Kita ini sahabat, jangan berantem terus. Memang, kadang kala persahabatan itu ada masalahnya. Tapi masalah itu jangan terlalu banyak! Kayak makanan. Makanan itu rasanya hambar kalau nggak ada bumbunya. Tapi kalau bumbunya terlalu banyak, rasanya juga bakal nggak enak! Ya, kan?” ucap Vera tiba-tiba. Dia berhenti sebentar. “Coba kalau kalian ada di posisi Beby, kalian juga akan ngelakuin hal yang sama kayak Beby, kan? Aku ngajak kalian ke sini itu, biar kalian sadar kalau kalian itu salah paham soal Beby! Aku nggak mau persahabatan kita putus gara-gara hal ini.” kata Vera melanjutkan perkataannya. Ya. Jika aku ada di posisi Beby, aku juga melakukan hal yang sama. Aku berlari menuju Beby yang masih mengalirkan air matanya. Aku langsung memeluknya dan meminta maaf padanya. “Beb! Maafin aku. Aku salah paham soal kamu, Beb! Maafin aku tadi pagi marah ke kamu. Maaf, Beb!” kataku dalam posisi masih memeluk Beby. “Iya, Shan. Nggak apa-apa. Lagipula aku yang salah kok, bukan kamu. Aku ngasih kabar ke kamu mendadak banget. Jadi, kamu marah deh sama aku. Maafin aku juga ya, Shan.” kata Beby dengan tangisannya. “Beby!! Maafin aku juga ya, Beb.” kata Cindvia sambil berlari dan memeluk kami. “Iya, Cind. Maafin aku juga ya, Cind.” kata Beby. Vera yang melihat itu pun, langsung memeluk kami. “Vera, makasih ya buat semuanya. Maafin aku ya, Ver” ucap Beby kepada Vera. “Sama-sama, Beby. Udah, lupakan aja masalah itu. Yang penting, sekarang persahabatan kita udah nyambung lagi.” kata Vera tersenyum. Akhirnya, persahabatanku, Beby, Vera, dan Cindvia tersambung kembali. Berkat ucapan Vera yang menyadarkanku dan Cindvia, untuk bisa memaafkan Beby. Sekarang aku tahu arti persahabatan yang sesungguhnya. Terkadang dilanda masalah, tetapi cepat atau lambat, masalah itu akan hilang seperti kabut di pagi yang dingin. Persahabatan kami akan seperti rantai, yang selalu tersambung satu sama lain dan tidak akan pernah putus