Refleksi di Hari Lahir Bahasa Indonesia

Opini

Ahmad Sirulhaq
Direktur LITERASI (Lembaga Riset Kebudayaan dan Arus Komunikasi)

Baru-baru ini, Kepala Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Profesor Mahsun, dan juga Guru Besar bidang Linguistik di Universitas Mataram, dalam kesempatan menjadi Pembicara di Kongres Bahasa Daerah di NTB, bercerita bahwa Malaysia tengah bercita-cita untuk membangun peradaban Melayu yang berpusat di Malaysia. Untuk memuluskan niatan itu, Malaysia mengundang pakar-pakar dari Indonesia, terutama yang berasal dari Sumatera, datang ke Malaysia sebagai justifikasi bahwa tak ada niatan mereka (baca: Malaysia) untuk menelikung Indonesia, yang sudah terlebih dahulu memiliki kemajuan dalam hal perencanaan bahasa yang hingga kini terus dibenahi. Dalam arti itu, pada momentum hari kelahiran bahasa Indonesia yang jatuh pada 28 Oktober, yang bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, kiranya perlu untuk kita refleksikan kembali tegangan-demi tegangan yang terjadi pada metamorfosa Bahasa Indonesia, semenjak berpisah dari induk semangnya, bahasa Melayu.

 

Suatu Metamorfosis

Para ahli Arkeologi dan sejarah berkesimpulan bahwa bahasa Melayu ternyata sudah dipakai di Indonesia sekurang-kurangnya sejak abad ke-7. Hal ini ditandai dengan berbagai prasasti yang di temukan dengan menggunakan bahasa Melayu Kuno. Sumber tertulis tertua mengenai pemakaian bahasa Melayu, seperti prasasti Sojomerto, prasasti Dieng, prasasti Manjusrigrha, prasasti Karang Brahi, dan lain-lain. Bahkan catatan Collins, pakar Melayu dan juga penulis buku Bahasa Melayu Bahasa Dunia, menyebutkan bahwa bukti tertua teks Melayu tercatat digunakan pada 686 Masehi.

Banyak spekulasi mengenai asal mula penutur bahasa Melayu. Dalam bukunya, Collins menyebutkan bahwa bahasa Melayu-Purba, sebagai nenek moyang dari semua penutur bahasa Melayu, telah mendiami daerah khusus yang secara ekologis bertempat di rawa-rawa, tanah basah, delta, dan pantai di Kalimantan Barat. Banyaknya spekulasi menganai awal mula penutur bahasa Melayu melahirkan berbagai tegangan politik di antara negara-negara berpenutur bahasa Melayu, tak terkecuali tegangan yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia. Tegangan dalam arti ini ialah, adanya saling klaim daerah asal penutur bahasa Melayu purba. Dalam pada itu, maklumat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia yang dikomandangkan pada 28 Oktober 1928, pada saat berlangsungnya sumpah pemuda, bisa dianaggap suatu momen politis, bukan hanya dalam arti untuk membangun solidaritas keindoneisaan sebagi semangat untuk mengusir penjajah kala itu, namun secara tidak langsung—kelak— menyiapkan kiparah atas bahasa Indonesia dalam dinamika dan tegangan yang dialaminya justeru dalam hubungannya dengan penutur yang sama dari negara yang berbeda.

Memang, negara-negara yang merasa memiliki nenek moyang bahasa Melayu ini telah membentuk Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia (MABBIM) 9 Desember 1972. Namun, perlu dicatat bahwa sejak Ejaan Melindo (Melayu Indonesia) pada 1959, bahasa Indonesia (bukan bahasa Melayu) sudah jauh berbenah dengan Ejaan Yang Disempuernakan (EYD) pada 1972. Dari segi jumlah lema atau kosa kata, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diterbitkan pertama kali tahun 1988 oleh Balai Pustaka hanya memuat 62.100 lema, terbitan keempat tahun 2008 memuat lebih dari 90.000 lema, dan diperkirkan pada 2013 mengalami penambahan kurang lebih 2000 lema. Artinya, bahasa Indoensia yang diturunkan dari induknya (bahasa Melayu) telah mengalami perkembangan yang demikian pesat dan bisa dianggap sebagai bahasa yang sudah siap menjadi bahasa Internasional, jauh berbeda dari bahasa Melayu dalam arti yang semula.

 

Menuju Bahasa Dunia, Usaha dan Dilema                                               

Secara teoretis, lingusitik diakronis, khususnya yang dikenal dengan istilah mutual intelligibility (teori pemahaman timbal balik), varian suatu bahasa yang digunakan oleh dua atau lebih komunitas yang berbeda namun masih saling memahami maka masih dianggap bahasa yang sama. Per definisi ini, bahasa Indonesia dan bahasa Melayu sejatinya adalah sama karena penutur bahasa Indonesia di Indonesia memahami penutur bahasa Malaysia di Malaysia, dan sebaliknya. Namun, dimaklumatkannya bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia sejak 28 Oktober 1928, mau tidak mau menjadikan bahasa Indonesia yang sudah lepas dari induknaya—secara metaforis bisa dikatakan berkembang menjadi pribadi yang jauh lebih dewasa dibanging ibu kandungnya, bahasa Melayu.

Pada awal tahun 2004, sebagaimana tercatat dalam Wikipedia (2011), Dewan Bahasa dan Pustaka (Malaysia) dan Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia (MABBIM) berencana menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi dalam organisasi ASEAN, dengan memandang lebih separuh jumlah penduduk ASEAN mampu bertutur dalam bahasa Melayu. Rencana ini belum pernah terealisasikan, namun ASEAN sekarang selalu membuat dokumen asli dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa resmi masing-masing negara anggotanya.

Kenyataan di atas memperlihatkan, secara tidak langsung, perjuangan Indonesia untuk mengusung bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi pergaulan dunia, pertama-tama, akan mengalami hambatan justeru dari negara ASEAN lainnya yang berpenutur bahasa Melayu, seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei, Timor Leste, Thailand, dan lainnya. Hal ini disebabkan karena faktor gengsi dan identitas suatu negara yang bersangkutan. Bukankah, hingga saat ini, sebagaimana dituturkan oleh Kepala Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kemendikbud pada kesempatan Kongres Bahasa Daerah beberapa minggu lalu, hingga saat ini pihak Kerajaan Malaysia berusaha untuk mengajak Indonesia untuk membangun dan merajut kembali kejayaan bahasa Melayu sebagai bahasa yang perlu dimunculkan dalam pergaulan internasional. Namun, usha Malaysia itu tidak digubris pihak Indonesia, di bawah kendali Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kemendikbud, bahkan sepertinya Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia (MABBIM) yang terbentuk pada 1972 rencananya, oleh pihak Indonesia, akan ditinjau ulang.

Alih-alih bisa bermesraan kembali, pada akhir tahun 2010 Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia bahkan secara terbuka mengusulkan agar bahasa Indonesia menjadi salah satu bahasa resmi ASEAN. Langkah politis/diplomatis yang dilakukan oleh pihak Indonesia cukup beralasan mengingat beberapa kali Indonesia harus menelan kepahitan jika menyangkut hubungan politik, budaya, mupun teritori dengan Malaysia. Mulai dari mencapolokan pulau Sipadan dan Ligitan, pengklaiman produk seni-budaya, dan lain-lain. Di tengah-tengah usaha untuk mengajak Indonesia berdiplomasi mengenai upaya mengusung bahasa Melayu menjadi bahasa pergaulan dunia, dugaan bahwa Malaysia hendak membangun peradaban Melayu di Malasyisa yang diharapkan disokong dari bahasa Indonesia yang sudah lebih dewasa tadi, jangan-jangan benar adanya. Jika memang demikian maka bahasa Indonesia sebagai salah satu identitas nasioanal tentunya akan tenggelam, dan ini tidak bisa dianggap sebagai isu yang sepele.

 

Catatan Penutup

Sebagai warga negara Indonesia, yang berpenutur bahasa Indonesia, kiranya sudah saatnya kita sejenak untuk merefleksi kembali, sejauh mana kita menghargai buah karya sang founding fathers yang telah meletakkan dasar-dasar nasionalime yang melekat dalam meklumat salah satu butir sumpah pemuda, kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Namun, rupanya, alih-alih kita menjunjung tinggi bahasa Indonesia, kita malah,—meminjam istilah Remy Sylado (2002)— terutama para politisi, adalah orang-orang yang gemar bersolek. Sylado menyinggung sikap kita karena hampir di setiap dialog politik dan juga artis-artis ibukota yang kita saksikan di televisi memperlihatkan kecendrungan penggunaan bahasa Inggris yang dicampur kode dengan bahasa Indonesia secara belebihan dan tidak karuan. Kecendrungan yang demikian juga terlihat pada judul atau laruk-larik lagu, judul film, bahkan nama program acara televisi.

Fakta di atas menjadi kontraproduktif dengan usaha yang susah payah yang dilakukan pihak-pihak yang masih peduli untuk mengankat martabat bahasa Indonesa di tengah usaha pihak-pihak asing mencoba menarik nostalgia bahasa Indonesia sebagai bahasa Melayu. Sikap kita menunjukkan sebaliknya, menempatkan bahasa Indonesia pada martabat yang rendah, yang tidak gaya kalau tidak dicampur bahasa Inggris. Saya jadi ingat tentang sebuah cerita tentang pertanyaan mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia Universitas Bonn, Jerman, kepada dosennya, mengenai ihwal (potensi) bahasa Indonesia. Mendengar pertanyaan itu, Sang dosen, Damsausher namanya, pun membesarkan hati mahasiswanya yang tengah belajar bahasa Indonesia dengan mengatakan, bahasa Indonesia ialah bahasa yang berpotensi menjadi bahasa dunia. Baik, selamat hari lahir bahasa Indonesia.

(dimuat di Suaran NTB 28/10/14; dimuat lagi di sini untuk kepeluan diskusi)


Tinggalkan Balasan