Resensi Novel dan Film A Man Called Ove
A man Called Ove Lelaki Pemarah yang Jatuh Cinta Sepanjang Hidupnya.
Kalau kamu mau ketawa lepas karena komedi satir yang menggelitik, kamu bisa baca novelnya.
Tapi kalau kamu mau perasaan melankolis yang penuh cinta, kamu bisa nonton filmnya.Entah kamu lebih suka membaca novel atau menonton film (atau keduanya) A Man Called Ove sama-sama akan mengantarkan perasaan hangat ke dalam hatimu.
***
A man Called Ove adalah novel tahun 2012 yang ditulis Fredrik Backman, seorang kolumnis, blogger, dan penulis Swedia. Sementara filmnya dirilis pada tahun 2015, disutradarai dan ditulis oleh Hannes Holm.

Sinopsis Singkat
Ove adalah karakter laki-laki tak banyak bicara paling romantis yang pernah saya baca. (Bacanya ove ya! Jangan op atau of, tapi ove seperti pelafalan bahasa Indonesia, dengan huruf “e” dibaca seperti e pada buah apel).
Ia adalah seorang kakek tua yang hobi marah-marah, sangat suka keteraturan, dan benci banget sama kemajuan teknologi digital. Alih-alih disebut pemarah, Ove lebih memilih disebut laki-laki berprinsip.
Diusianya yang ke 59 tahun dia dipaksa berhenti dari pekerjaannya karena kemajuan zaman yang serba digital. Ove dipecat, waktu dia lagi kesepian-kesepiannya ditinggal meninggal isterinya, Sonja (perempuan paling beruntung di dunia).
Karena kesepiannya itu, Ove menyusun berbagai rencana bunuh diri untuk segera menyusul isterinya. Sialnya, semua rencananya harus gagal karena tetangga barunya. Sebuah keluarga heboh dan nyebelin dari Iran yang tak disangka-sangka masuk ke dalam hidup Ove.
Baca Juga
Resensi Film 5 CM Resensi Novel Negeri 5 Menara
Perbandingan Novel dan Film A man Called Ove
Well, saya gak bakalan cerita lebih jauh. Kamu bisa baca atau nonton sendiri. Tapi saya bakalan kasi sedikit perbedaan antara novel dan filmnya.Keduanya sama-sama bagus. Sinematografi dan penceritaan dalam filmya sangat indah dan romantis. Elaborasi kisah cinta Ove dan Sonja lebih ditonjolkan dalam film ketimbang komedi satir yang menurut saya lebih banyak di tampilkan di dalam novelnya. Gak heran teman saya, Tjak Lan, menyebut Ove sebagai lelaki yang jatuh cinta sepanjang hidupnya pada ulasan singkat filmnya.

Perbedaan bagian yang ingin ditonjolkan antara film dan novelnya ini cukup jelas dilihat dari pembukaan ceritanya. Kalau di novel cerita dibuka dengan pertengkaran Ove di toko komputer, di filmnya cerita dibuka dengan pertengkaran Ove di toko bunga saat ia hendak membelikan buket bunga untuk makam Sonja. Tapi bukan berarti di novelnya, kisah cinta Ove dan Sonja tidak berkesan loh ya. Tapi komedi satir di novelnya benar-benar segar dan menyindir banyak hal. Semua itu bisa dinikmati baik dalam percakapan Ove maupun tingkah lakunya dalam narasi.

Memang, cerita dalam novelnya lebih kaya dan mendetail, tapi menurut saya filmnya berhasil membawakan cerita utuh di dalam novel ke dalam sebuah film. Meskipun ada beberapa cerita dalam novel yang tidak masuk dalam film (karna film tentu saja bukan novel ya), tapi filmnya indah banget dan penuh haru. Idk karna emang sayanya yang lagi melow, saya nangis haru di menit-menit awal filmnya.
Intinya, novel ini sangat layak untuk kamu beli dan simpan di deretan buku koleksimu.
Sekian review singkat novel dan film A Man Called Ove dari saya, hehe. Jadi sudah putuskan mau nonton dulu atau mau baca dulu nih?