Resensi Novel Dramaturgi Dovima : Rekaan Hidup Watawati Muda dalam Balutan Metropop
IDENTITAS BUKU
Judul : Dramaturgi Dovima
Pengarang : Faris Rachman-Hussain
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta
Tebal : 232 halaman; 20 cm
Harga : Rp. 40.000
Rilis : Juni 2013 (cetakan pertama)
ISBN : 978 – 979 – 22 – 9528 – 3
Rekaan senja itu masih miliknya…
Dibuka dengan kisah hidup seorang wartawati muda bernama Dovima Sahid. Putri seorang Seruni Sahid, seorang wartawati senior yang dikenal dingin, berpengalaman, dan suka mengkritik.
Vima yang menjalankan profesinya sebagai calon reporter di sebuah media massa nasional Kala, masih saja dibayang-bayangi nama besar ibunya yang pernah bekerja sebagai contributor surat kabar New York Times dan majalah Times. Dibumbui dengan kisah asmara antara Vima, Kafka dan Imadji Dasin membuat letupan-letupan berbeda dalam novel ini. Tidak hanya itu, drama kehidupan Vima juga ditambah dengan Seruni Sahid yang sedang dilanda sakit dan ayah kandungnya yang terlibat masalah yang juga menambah dramatis fragmen kehidupan Vima.
Pada saat pertama kali melihat novel ini (2013 lalu) di toko buku, saya mulai tertarik dengan synopsis novel ini. Sebenarnya saya bukan penikmat novel metropop, dan ini novel metropop pertama saya. Yang membuat saya tertarik untuk membaca novel ini dikarenakan baru kali ini saya temukan novel metropop yang mengangkat kisah kehidupan wartawati muda yang sebelum saya baca sudah terngiang cerita dalam novel ini akan menginspirasi saya.
Yang menarik juga, setahu saya ini merupakan novel metropop pertama seorang Faris Rachman-Hussain. Dan benar saja, novel ini banyak tampil serius dalam bagiannya. Memang kisah cinta segitiga dalam novel ini menjadi letupan berbeda dalam penyampaian isi cerita yang banyak mengisahkan tentang kehidupan wartawan yang penuh dengan kasus-kasus pelik. Belum lagi gaya hidup hedonis dari keluarga Kafka (terutama ibunya) sedikit melekatkan kembali genre metropop pada novel ini.
Dari segi penokohan, saya pribadi sangat suka denga karakter tokoh utama yaitu Vima, seorang wanita metropolitan yang dingin, cuek, dan cendrung suka menyendiri, sangat mirip memang dengan ibunya, Seruni Sahid.
Di balik menariknya novel ini, saya sedikit bingung dengan penggunaan sudut pandang yang digunakan penulis. Secara keseluruhan, pengarang memang menggunakan sudut pandang orang ketiga. Tapi pada beberapa reka cerita, pengarang juga menggunakan sudut pandang orang pertama. Sebenarnya sah-sah saja, ditambah ketika menggunakan sudut pandnag orang pertama, pengarang memiringkan huruf (italic). Tapi yang menjadi permasalahan menurut saya, penggunaan sudut pandnag orang pertama ini sedikit terasa dipaksakan. Cerita menjadi sedikit gamblang karena pengarang mulai melepas sisi-sisi yang tersembunyi pada tokoh. Perasaan tokoh menjadi gamblang, dan kisah menjadi mudah terbongkar. Belum lagi, ada beberapa kalimat yang menggunakan sudut pandnag orang pertama yang harus dimiringkan hurufnya, justru tidak dimiringkan.
Dari segi cetakan, penggunaan kata ganti “aku” dan “saya” juga tidak konsisten (halaman 81). Terdapat juga beberapa kesalahan typo dalam novel ini, salah satu contohnya pada halaman 127, kalimat “pria berambut plontos” seharusnya ditulis “pria berkepala plontos”, karena yang plontos kepala bukan rambut.
Di luar kekurangan-kekurangan dari segi percetakan, novel ini sangat saya rekomendasikan untuk para penikmat novel genre metropop, karena ini bisa dikatakan novel metropop yang “unik” karena dilapisi cerita yang sedikit serius dalam pengemasannya.