Resensi Novel ibu Kita Raminten Karya Muhammad Ali tulismenulis.com.jpg

Resensi Novel “Ibu Kita Raminten” Karya Muhammad Ali

Buku, Non Fiksi, Resensi

Identitas Novel

Judul Novel : Ibu Kita Raminten
Penulis : Muhammad Ali
Penerbit : Sinar Harapan, Aggota IKAPI Jakarta
Tahun Terbit : 1982 (Cetakan Pertama)
Jumlah Halaman : 140 Halaman
Harga : 2500

Sinopsis

Novel “Ibu Kita Raminten” menceritakan tentang Raminten yang hidup bersama suaminya, Markeso yang hanya menjadi pengamen. Kehidupan mereka pas-pasan dan tidak pernah berlebih, memaksa mereka untuk menyerahkan kedua belas bayi mereka pada orang-orang yang ingin mengasuhnya atau menjadi orang tua angkat. Namun mereka tetap ingin mengasuh anaknya sendiri dengan penuh kasih sayang, lantaran Markeso akhirnya sadar bahwa nantinya ia dan Raminten akan menjadi tua dan tentunya butuh seorang anak untuk merawat dan menjaga mereka. Selain itu Markeso juga sadar bahwa setiap anak memiliki rezekinya masing-masing, sehingga mereka berusaha untuk mempunyai anak lagi. Setelah lahir, anak tersebut diberi nama Stambul. Kedua belas kakaknya tumbuh dalam didikan dan asuhan orang tua angkatnya masing-masing yang hidup berkecukupan sehingga mereka dapat mencapai cita-cita yang diharapkan. Sementara Stambul justru tumbuh menjadi anak yang liar, kurang ajar dan berperangai buruk karena pegaulannya dengan para penjahat. Usia Markeso dan Raminten semakin bertambah, namun kesehatan Markeso memburuk dan kemudian meninggal. Sebelum meninggal Markeso pernah berobat di salah satu klinik praktik dokter di kampungnya. Yang ternyata dokter tersebut yang memeriksa dan mengobati Markeso adalah anaknya yang telah diadopsi bernama Ningsih.
Sejak itu Stambul semakin tidak dapat dikendalikan. Berlaku kasar dan tidak sopan pada ibunya sendiri, bahkan meminta ibunya sendiri agar menjadi gundik Babah Wong yang ternyata seorang laki-laki tua impoten. Tubuh Raminten digigitinya dengan beringas. Raminten pun berhasil kabur. Stambul yang melihat ibunya kesakitan pun menjadi kasihan dan marah pada babah Wong sampai membununhya. Raminten dibawanya ke rumah Insinyur Ibnu Zaiki, tapi petugas menangkap mereka. Sebelum Raminten meninggalkan rumah insinyur, ia sempat bertatapan mata dengan istri tuan rumah. Keduanya merasakan ada getaran lain dalam hatinya. Yang ternyata instri insinyur tersebut adalah salah satu anaknya yang telah diadopsi bernama Dewi. Raminten dan Stambul pun disidang. Dan yang menjadi hakim ketua pada saat persidangan itu juga adalah salah satu kakak dari Stambulatau anak Raminten yang telah diadopsi bernama Ningrum. Ia adalah saudara kembar dari dokter Ningsih. Dalam memberikan keterangan, Raminten menyebutkan kedua belas anaknya beserta orang tua angkat masing-masing. Mereka semua pun dipertemukan oleh hakim dan berkumpul, berangkulan penuh haru hingga detak jantung Raminten semakin lemah kemudian terjatuh, tak ingat apa-apa lagi di depan anak-anaknya. Namun Stambul tetap mendapat hukuman lima tahun penjara.

Kelebihan Novel

Novel “Ibu Kita Raminten” karya Muhammad Ali ini memiliki kelebihan yakni mampu mengoyak-ngoyak emosi pembaca. Pembaca akan terbawa suasana dan emosi yang terdapat dalam novel tersebut. Seperti ketika Stambul, anak ketigabelas Raminten dan Markeso yang berperangai begitu buruk, kurang ajar, durhaka, dan tidak pernah memiliki belas kasihan terhadap kedua orang tuanya. Begitu kita membaca novel tersebut, ketika penulis menggambarkan tokoh Stambul dengan segala tingkah laku kurang ajarnya terhadap kedua orang tuanya, tentu kita akan ikut geram dibuatnya. Penulis begitu lihai dan pandai dalam menggambarkan tokoh Stambul dan menceritakan setiap detail sikap dan perangai buruknya.
Begitu pula ketika penulis menceritakan pertemuan Raminten dengan salah satu anaknya yaitu Ningrum yang berprofesi sebagai hakim ketua. Mereka bertemu dipenjara atau di dalam sel tahanan, yang mana Raminten ditahan karena diduga telah bersekongkol dengan Stambul untuk membunuh seorang tua bernama Babah Wong. Ningrum mengunjungi Raminten bukan karena telah mengetahui bahwa Raminten adalah ibu kandungnya. Melainkan karena merasa iba kepada Raminten, karena Ningrum yakin wanita seperti Raminten tidak mungkin tega untuk menghabisi nyawa seseorang. Oleh karena itu, Ningrum datang mengunjunginya dengan maksud mendapat informasi yang sebenar-benarnya. Namun ketika Ningrum datang dan memasuki sel di mana Raminten ditahan, Raminten merasa ada yang aneh. Ia merasa pernah melihat sosok wanita muda di depannya. Ternyata ia sadar bahwa wanita muda di depannya begitu mirip dengannya. Ketika itu Raminten bertanya asal-usul Ningrum secara detail, dan akhirnya Raminten tahu bahwa Ningrum adalah salah satu anaknya yang telah ia berikan kepada orang lain.
Hal yang juga dapat menguras emosi pembaca ketika membaca novel “Ibu Kita Raminten” adalah saat sebelum dijebloskan ke penjara Stambul meminta maaf dan ampun kepada ibunya dengan bersujud di kaki ibunya. Dan hal itu untuk pertama kali dilakukannya setelah selama ini ia begitu durhaka terhadap kedua orang tuanya. Juga ketika Raminten dipertemukan dengan kedua belas anaknya yang telah diberikannya kepada orang di ruang persidangan. Suasana begitu mengharu biru, mereka berkumpul dan berangkulan setelah semenjak kecil tidak pernah bertemu dengan ibu kandung mereka.

Kelemahan Novel

Kelemahan pada novel “Ibu Kita Raminten” karya Muhammad Ali tersebut terdapat pada bahasa yang digunakan untuk menggambarkan tokoh atau untuk menjelaskan hal-hal lain. Bahasa yang digunakan terlalu berbelit-belit sehingga pembaca akan merasa bosan. Terkadang hal utama yang dibicarakan dapat dijelaskan kembali dengan bahasa yang agak sedikit berbeda bahkan terkadang dengan bahasa yang sama yang membuatnya terkesan berbelit-belit. Bahkan dalam novel tersebut terdapat satu paragraf yang isinya satu kalimat saja. Begitu panjang dan hanya dijeda oleh satu tanda koma saja. Dan hal yang dijelaskan hanya satu dan juga berbelit-belit. Bahkan itu tidak biasa dikatakan sebagai paragraf karena hanya terdiri atas satu kalimat saja (jika dilihat dari unsur kebahasaan).
Kelemahan lain pada novel tersebut yakni terdapat bahasa-bahasa yang mungkin familier di zaman dahulu, karena novel tersebut menceritakan kisah tahun 40-an sampai 60-an. Namun jika bahasa-bahasa seperti itu dibaca oleh pembaca yang hidup di tahun 2000-an seperti saat ini, mungkin akan sedikit membingungkan dan mengurangi pemahaman. Memang pada halaman terakhir novel tersebut diberikan semacam glossary untuk menjelaskan kosa kata yang kiranya sulit dipahami tadi. Namun, sebagai pembaca saya merasa alangkah lebih baiknya jika pada setiap kata aneh tersebut diberikan catatan kaki dan langsung dijelaskan arti kosa katanya agar pembaca dapat langsung mengerti dengan apa yang dimaksud.


Tinggalkan Balasan