Resensi Novel Moga Bunda Disayang Allah
RESENSI NOVEL MOGA BUNDA DISAYANG ALLAH
- IDENTITAS BUKU
Judul : Moga Bunda Disayang Allah
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Jumlah Halaman : 306
Tahun : 2006
Tempat terbit : Jakarta
- Riwayat pengarang
Tere Liye merupakan nama pena dari seorang novelis yang diambil dari bahasa india yang berarti “Untukmu”. Tere Liye lahir dan besar di pedalaman Sumatera, pada tanggal 21 Mei 1979, dia anak keenam dari tujuh bersaudara. Dia terlahir dari keluarga petani, Tere Liye menyelesaikan masa pendidikan dasar sampai SMP, di SDN2 dan SMN2 Kikim Timur, Sumatera Selatan, kemudian melanjutkan ke SMUN 9 Bandar Lampung, setelah itu ia meneruskan ke Universitas Indonesia dan mengambil jurusan Ekonomi.
Karya-karya Tere Liye sangatlah menyentuh hati, bila kita membaca novelnya, contohnya saja novel Moga Bunda Disayang Allah, kita bisa mengetahui bagaimana rasanya jika kita tidak bisa melihtai dan mendengar. Pasti akan sangat tersiksa.
Berikut karya-karya Tere Liye yang lain :
- Daun yg Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
- Pukat
- Burlian
- Hafalan Shalat Delisa
- Moga Bunda Disayang Allah
- Bidadari-Bidadari Surga
- Sang Penandai
- Rembulan Tenggelam Di Wajahmu
- Mimpi-Mimpi Si Patah Hati
- Cintaku Antara Jakarta & Kuala Lumpur
- Senja Bersama Rosie
- ELIANA ,serial anak-anak mamak
- Berjuta Rasanya
- Sepotong hati yang baru
- Sinopsis
Dalam Novel ini diceritakan seorang anak berumur 6 tahun bernama Melati yang memiliki keterbatasan dalam hidupnya, ia menderita buta,tuli dan bisu semua keterbatasan yang dialami oleh melati suadah snagt membuat ia frustasi ia tak dapat mengenal siapa tuhanya, alam serta isinya,semua rasa keingin tahuanya akan segalahal membuatnya semakin frustasi dan akhirya tak dapat dikendalaikan, sering kali melati mengamuk dan melempar-lempar benda-benda jika ia disentuh ia akan langsung merota-ronta melawan. Kedua orang tuanya tuan HK dan istrinya hampir putus asa akan kesembuhan melati ,dokter dari luar negri sudah beberapa kali mencoba menangani namun hasilnya tetaap sama tidak ada perubahan. Hinga akhirnya pak guru karang yang suka mamabuk dan terpuruk akan kehidupan lah yang datang menolong melati agar dapat mengenal tuhan, dunia dan seisinya, sudah beberapa kali bunda melati mengirimkan surat bahakan mengujungi karang langsung ke rumah ibu gendut dimana karang tinggal utuk meminta bantuan agar mau membantu melati, awalnya karang tak ada minat sedikitpun utuk membantu melati karna rasa berslah dan frustasi yag masih terbayang dibenaknya yang menewaskan 18 anak didiknya di taman bacaan ketika terjadi kecelkaan tengelmnya kapal, hal itu masih terbayang di benak karang karna tak dapat menyelamatkan mereka, namun karna bujukan ibu gendut dan kecintaan karang terhadap anak kecil ia akhirnya berubah pikiran mau membantu melati lepas dari segala frustasi dan rasa keingitahuanya yang sudah lama membuncah dalam benknya utuk mengenal dunia dan seisinya. Karang berusaha semampunya mengajari melati mengenal benda mengajari ia tata kerama makan dan lain sebgaianya, yang tadinya melati amat sanagt susuah makan dengan sendok akhirnya ia bisa walau harus berulangulang kali gagal, melti sudah bisa duduk di atas kursi jika ia makan, hampir rasa putus asa itu timbul dalam diri karanga namun secara bertahap kebesaran tuhan sudah mulai terlihat dalam diri melati walau banyak kendala yang dialami oleh karang kerap bebrapa kali ia ingin diusir dari rumah mewah itu karna dianggap tak ada hasil atau perkembangan dalam diri melati,namun pada suatu ketika melati tak dapat lagi membendung rasa keingin tahuanya akan benda yang dingin dan sanagat mnyenagkan baginya itu ia keluar berjlan merba-raba menuju taman, bediri dibawah rintikan hujan meraskan benda yang sanagat ia sukai, Lalu keajaiban datang ketika air mancur membasuh lembut telapak tangan Melati. Melati merasakan aliran air di sela jemarinya. Saat itulah untuk pertama kalinya Karang melihat Melati tertawa. Karang akhirnya mengerti, melalui telapak tangan itulah karang menuliskan kata Air, dan meletakkan telapak tangan Melati kemulutnya dan berkata A-I-R. Melati akhirnya mengerti benda yang menyenangkan itu bernama air. Melalui telapak tangan Melati, air mancur yang mengalir di tangan dan sela-sela jarinya berhasil mencukilnya. Melalui telapak tangan itulah semua panca indera disitu. Akhirnya dunia Melati tidak lagi gelap. Dia bisa mengenali orang tuanya, dia bisa mengenali kursi, sendok, pohon dan sebagainya.
- Kelebihan :
.Dalam novel ini benar-benar terasa adanya tiga tokoh utama yang memiliki kedudukan sama sebagai agen penderita, agen perubahan, dan agen pencerahan. Menyadarkan kita bahwa manusia dalam kedudukannya sendiri-sendiri sebenarnya sedang melakoni peran penting dalam kehidupan nyata. Cerita ini menyuguhkan perjuangan hidup yang tidak mudah yang dialami oleh anak-anak. Baik itu Karang yang yatim piatu maupun Melati dengan segala kekurangannya. Namun ada satu kesamaan antara mereka, anak-anak selalu punya janji masa depan yang lebih baik.Penulis berulang kali mengungkapkan kalimat yang mengingatkan pembaca untuk bersabar dan bersyukur “Hidup ini adil, sungguh Allah Maha Adil, kitalah yang terlalu bebal sehingga tidak tahu dimana letak keadilanNya, namun bukan berarti Allah tidak adil”.
- Kekurangan :
Cerita ini ditulis dalam gaya bahasa sehari-hari yang tidak baku. Penggunaan berulang-ulang kosakata yang tidak baku serta kalimat tambahan yang tidak perlu mengganggu kenyamanan dalam membaca. Seperti penggunaan kata “ibu-ibu gemuk” yang artinya menunjuk pada seorang ibu yang bertubuh subur.Pilihan penulis dalam penempatan setting dan kegiatan pendukung dalam novel terasa kurang tepat. Dalam novel semua tokoh digambarkan sebagai orang-orang muslim dengan segala aktivitas dan atribut mereka, namun pada ending cerita penulis menciptakan suasana pesta kembang api yang dirayakan pada tahun baru Imlek oleh masyarakat termasuk para tokoh novel. Secra tidak langsung menyebutkan secara jelas kota atau negara terjadinya peristiwa dalam novel, sejak awal penulis hanya menyebutkan tempat-tempat semu: “rumah di atas bukit”, “daerah jauh dari ibu kota”, “Tuan dan Bunda HK”. Jadi tidak terlihat jelas keberagaman budaya atau mayoritas budaya penduduk yang ada di daerah tempat tinggal tokoh Melati, sehingga kurang ada alasan tepat jika penulis dengan tiba-tiba memasukkan salah satu kegiatan tahunan keluarga Melati adalah merayakan tahun baru China dan tidak sesuai dengan karakter tokoh yang beragama muslim lalu merayakan tahaun baru cina.