Resensi Novel “Sang Guru” karya Gerson Poyk
Identitas Buku
Judul Buku : Sang Guru
Pengarang : Gerson Poyk
Penerbit : PT. Grasindo
Tahun Terbit : 1993
Jumlah Halaman : 162 Halaman
Guru merupakan sosok pahlawan tanpa tanda jasa. Istilah tersebut sering kita dengar dari zaman 80-an sampai sekarang. Istilah pahlawan tanpa jasa bukan berarti tidak menerima imbalan apapun dari hasil mengajarnya, imbalan tetap ada namun tidak sepadan dengan apa yang sudah diberikan.
Setiap hari zaman terasa semakin maju dengan menawarkan berbagai macam teknologi-teknologi canggih. Hal ini seiring dengan kebutuhan manusia akan benda-benda semakin meningkat. Meningkatnya kebutuhan tersebut akan membuat masyarakat khususnya para guru merasa berat menjalani kehidupannya. Terlebih lagi, mereka hanya bertahan hidup dengan mengandalkan gaji yang tak sepadan.
Dewasa ini, sangat banyak terjadi guru-guru yang berprofesi ganda. Ketika pagi mengajar di sekolah kemudian siang, sore, atau di malam hari mereka mengerjakan pekerjaan lain. Hal ini terjadi karena desakan kebutuhan yang semakin memaksa untuk dipenuhi. Kalau hanya mengandalkan pendapatan dari hasil mengajar, hidup hanya akan berada di ambang kemiskinan.
Padahal, profesi sebagai guru merupakan hal yang sangat mulia. Guru membimbing siswa untuk menjadi pribadi yang baik, pintar, dan cerdas. Jadi seharusnya guru mendapatkan kehidupan yang layak di tengah-tengan masyarakat. Tetapi yang terlihat saat ini adalah sebaliknya.
Dalam novel ini, Gerson Poyk menceritakan tentang kehidupan guru yang sederhana bahkan tidak mempunyai apa-apa selain ilmu dan keinginan untuk mengajar. Gerson poyk tidak menceritakan tentang bagaimana proses mengajar si guru di sekolah, namun lebih kepada bagaimana pribadi si guru ketika harus mengalami kehidupan yang jauh dari kehidupan seorang guru pada umumnya.
Novel ini bertemakan kesederhanaan hidup untuk mendapatkan kebahagiaan. Kesederhanaa itu terlihat dari kehidupan tokoh utama yakni Ben. Ben dan ibunya rela tinggal di gudang yang bertempat di sekolah di mana ia mengajar. Ketika permasalahan tempat tinggal sudah ia dapatkan, kini tinggal biaya untuk makanan sehari-hari. Tetapi kebutuhan itu terpenuhi juga karena bantuan Pak Ismail yang merupakan pesuruh sekolah sekaligus pemilik warung yang berada di depan sekolah. Kesederhanaan hidup juga terlihat pada tokoh yang lain, yaitu pada Sofie, Istri Ben dan tokoh yang lain. Alur yang digunakan dalam novel ini adalah alur maju, di mana cerita dimulai sejak Ben tiba di Ternate dan berakhir di Manado ketika Ben menjadi tentara dan petani kopra.
Kelebihan
Penulis mampu mengungkapkan bagaimana kehidupan seorang guru yang sederhana tetapi bisa mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa. Hal seperti ini yang perlu ditanamkan oleh masyarakat secara umum terutama yang berprofesi sebagai guru untuk selalu bersyukur dengan hal-hal kecil. Tempat tinggal bukan segalanya, yang terpenting adalah bagaimana cara mendapatkan penghasilan yang halal tanpa harus menggunakan cara yang haram. Pujian pun bukan sesuatu yang membuat kita puas, namun bagaimana caranya agar orang-orang di sekitar kita merasakan kebahagiaan ketika berada di dekat kita. Selain itu, cerita yang disuguhkan dalam novel ini disajikan dengan gaya bahasa yang menarik dan diisi dengan pembendaraan kata yang cukup banyak sehingga mampu menarik para pembaca untuk membacanya dan memahaminya.
Kekurangan
Kekurangan dari novel ini adalah penulis tidak terlalu banyak memunculkan bahasa khas orang timur. Para tokohnya hanya menggunakan bahasa biasa yaitu bahasa Indonesia dalam komunikasinya. Padahal setting tempatnya berada di daerah Timur yang mempunyai bahasa khas.