Review Film My Salinger Year (2020)
“Menulis menjadikan kau seorang penulis. Tapi Penerbit adalah sebuah perdagangan.” My Salinger Year (2020)
Menonton My Salinger Year seperti menonton Emily in Paris versi New York tahun 1995. Kita akan dimanjakan dengan sinematografis dan artistiknya yang menawan sepanjang film berdurasi 1 jam 41 menit ini. Outfit bernuansa vintage yang dikenakan pemeran utamanya cantik-cantik banget! Tapi lupakan soal outfit karena kita tidak sedang menonton acara fashion show. Film drama Kanada-Irlandia tahun 2020 ini memberikan kita sudut pandang baru, tentang melihat seorang penulis terkenal dari mata agensi dan para penggemarnya.
Yang malas baca, tinggal tonton video ini :
Joanna Rakoff adalah seorang gadis penuh semangat asal London yang bercita-cita menjadi seorang penulis terkenal dan tinggal di New York. Setelah menyelesaikan sekolahnya, ia akhirnya memutuskan untuk tinggal di New York demi mewujudkan mimpinya tersebut.
Baca Juga: Review Drakor Nevertheless – Drama 18+ dengan Konflik Toxic Relationship
Namun, ia malah berakhir bekerja menjadi asisten seorang agensi sastra besar bernama Margaret. Margaret adalah seorang boss yang anti Tekhnologi. Di kantornya bahkan tak ada komputer, semua serba di ketik tangan. Baginya komputer hanya menambah pekerjaan saja. Mesin ketik jauh lebih simpel.
Sebagai asisten Margaret, tugas Joanna sebenarnya sangat sederhana. Ia hanya diminta untuk membaca surat-surat penggemar J. D. Salinger., penulis terkenal Amerika Serikat dengan novel berjudul The Catcher in the Rye, tahun 1951.
Joanna hanya boleh membacanya dan wajib langsung memusnahkan surat-surat tersebut ke mesin penghancur. Tanpa boleh sekalipun menyerahkan surat tersebut kepada J.D Salinger. Salinger, terkenal sebagai penulis penyendiri yang tak pernah mau menerima surat-surat dari penggemarnya.

Tanpa sadar, Joanna larut menjalankan tugasnya sebagai asisten agensi sastra dan melupakan mimpinya sebagai seorang penulis. Ia mulai terlalu menghayati surat-surat dari penggemar J. D. Salinger dan terbawa ke dalamnya. Joanna tak habis pikir, kenapa J. D. Salinger tak pernah mau membaca bahkan menerima surat-surat dari para penggemarnya tersebut.
Padahal, ketika beberapa kesempatan ia berbicara dengan J. D. Salinger melalui telepon, penulis tersebut sangat ramah kepadanya. J. D. Salinger bahkan terus menerus memberikannya motivasi untuk selalu menulis setiap hari.
Lalu Joanna pun terserang banyak sekali konflik batin di dalam dirinya. Apakah ia akan membiarkan surat-surat penggemar J. D. Salinger selalu berakhir di mesin penghancur? Apakah ia akan mengubur mimpinya menjadi seorang penulis dan menekuni dunia agensi sastra tanpa pernah menerbitkan bukunya sendiri?
Hmmm untuk tahu jawabannya, kamu bisa nonton langsung nonton filmnya dan menikmati langsung tiap konflik batin yang dialami oleh Joana.

Film ini bernuansa sangat vintage, sehingga meskipun tergolong film ber-alur lambat. Kita tanpa sadar terus saja menontonnya karena kecantikan sinematografis dan artistiknya. Dan konflik batin yang disuguhkan sedikit demi sedikit, seperti hujan pelan yang awet di sore hari menjelang malam.
Peringatan nih! Film ini harus kita tonton dengan konsestrasi yang cukup karena banyak mengelaborasi konflik batin pemeran utamanya. Jadi saya tidak merekomendasikan untuk ditonton bagi yang sedang diburu deadline atau bagi kamu yang lebih suka menonton film dengan konflik yang tersirat jelas.
Baca Juga : Review Film Cinderella Addiction
Joanna diperankan oleh Margaret Qualley, J. D. Salinger yang tak pernah menampakkan wajahnya tersebut diperankan oleh Tim Post. Sementara Margaret diperankan oleh Sigourney Weaver. Hubungan rekan kerja antara Joanna dan Margaret beserta rekan-rekan kerjanya yang lain benar-benar mengingatkan saya akan drama series Emily in Paris.
Pokoknya, kalau kamu butuh motivasi untuk menulis. Jangan tunda menonton film ini ya.
Selamat menonton!
